Hanya ada 3 Polisi yang tak bisa disuap, Patung Polisi, Polisi Tidur dan Hoegeng. Gus Dur
Demikian lah tulisan dalam foto yang dijadikan sebagai pembuka buku. Ini bukanlah buku tentang Hoegeng yang pertama, namun apa yang tertulis disini melengkapi puzzle tentang beliau. Dalam buku ini, buku-buku lain tentang Hoegeng juga dijadikan sebagai referensi oleh Suhartono seperti karya duet Abrar Yusra - Ramadhan KH serta duet Ery Sutrisno - Aris Santoso. Mantan wartawan yang kini menjadi editor di Kompas ini juga menjadikan salah satu sekretaris Hoegeng sebagai nara sumber yakni Soedharto Martopoespito (Selanjutnya kita sebut Dharto).
Berbeda dengan buku tentang Hoegeng yang lain, Dharto lebih banyak menyoroti masa kerja Hoegeng sebagai Menteri/Sekretaris Presidum Kabinet. Meski cuma bekerja sebagai sekretaris Heogeng selama lima bulan, namun sangat banyak dan mendalam kesan yang ditimbulkan oleh hubungan tersebut. Namun sayang saat Hoegeng, Ali Sadikin dkk mengikuti Petisi 50, hubungan silaturahim Dharto menjadi sedikit renggang.
Ada banyak cerita mengenai karakter Hoegeng mulai dari menolak mobil dinas, memilih untuk menjual sepatu bekasnya ke pasar loak untuk tambahan uang belanja, menolak hadiah dari pengusaha setempat dimana beliau bertugas, menutup toko bunga istrinya karena kuatir dibeli orang dengan maksud tertentu, menegur keras anaknya yang menggunakan mobil dinas kapolri untuk belajar, menolak untuk dikawal dan berbagai hal lainnya. Semua hal itu mencerminkan kejujuran, kesederhanaan sekaligus kewibawaan beliau.
Kata pengantar yang ditulis Abraham Samad, semakin menambah bobot buku ini sekaligus mengingatkan saya akan Abdullah Hehamahua, salah satu tokoh KPK yang juga memiliki integritas mirip dengan Hoegeng. Samad juga menulis betapa ironi kepolisian yang yang baru saja tercemar dengan kasus Djoko Susilo dan disinyalir merugikan keungan negara sampai 121 Milyar.
Integritas Hoegeng tergambar dari hal yang paling sederhana sekalipun, misalnya genggaman eratnya saat menjabat tangan seseorang, seperti pernah dikisahkan oleh Jusuf Kalla. Kesehariannya seperti yang diingat Dharto diantaranya adalah hobinya untuk berangkat kantor sepagi mungkin, menjawab berbagai surat dengan pulpen beraneka warna, mengunjungi rumah bawahan-nya dan bertemu dengan keluarganya, serta selalu menerima tamu di tempat terbuka di lokasi kantor.
Juga beberapa cerita lucu tentang beliau misalnya saat diledek oleh Soekarno yang meragukan nama Hoegeng, dan menduganya Sugeng, serta permintaannya Soekarno untuk mengganti namanya dengan yang lebih berbau Jawa seperti Soekarno. Namun Hoegeng berkeras dan menolak nama seperti Soekarno yang dia katakan secara canda sebagai nama pembantunya di rumah. Soekarno hanya bisa melotot, tertawa ngakak dan berkata "Kurang ajar kamu ya". Dalam buku ini juga terungkap rasa humor Hoegeng dan sesekali tindakan usil dibalik penampilan serius-nya.
Hal unik lainnya adalah, hobi Hoegeng untuk tidak menulis nama Iman Santoso. Bagi beliau, dirinya masih dalam proses untuk menjadi Iman Santoso, dan dia merasa tidak pantas menyandang nama itu. Namun saat beliau akhirnya berpulang ke rahmatullah 14/7/2004, Didit putra beliau menyatakan "Kini, setelah ayah saya mampu menjaga iman-nya, tetap teguh sampai akhir hayatnya, saya nyatakan bahwa nama lengkap ayah saya adalah Hoegeng Iman Santoso". Sebagian besar pelayat terharu dan meneteskan air mata saat saat menghadiri peristiwa itu.
Buku ini juga membahas keluarga beliau, istrinya Meriyati Roeslani dan ketiga anak2nya. Beberapa pendapat anak beliau juga dikutip untuk memperkaya pemahaman kita akan karakter sederhana beliau. Bagaimana Didit putra Hoegeng harus jualan koran, lalu Reni yang berjualan kue kue seperti lemper di Cikini. Begitu juga saat Hoegeng menolak membuat surat pengantar / persetujuan ke Angkatan Udara saat Didit melamar sebagai taruna. Atau beliau menolak membuat katebelece bagi Reni untuk masuk ke ITB. Sungguh seorang tokoh panutan yang sangat layak menjadi inspirasi kita.
No comments:
Post a Comment