Buku ini menyoroti munculnya algojo dadakan dari seluruh negeri saat terjadinya pemberontakan PKI 1965. Bagaimana para algojo tersebut kembali menjalani kehidupan kembali seperti anggota masyarakat biasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak hanya di Jawa, ternyata di Bali pun terjadi hal yang sama, lalu merembet ke daerah lain-nya.
Buku ini dipicu munculnya film Joshua Oppenheimer alumni Harvard University, mengenai sosok Anwar Congo seorang preman merangkap calo bioskop yang merasa sangat dirugikan oleh paham komunisme, The Act of Killing (Jagal), akhirnya meraih perhatian masyarakat banyak sekaligus diingatkan oleh getirnya kejadian kejadian di masa itu. Tak tanggung-tanggung Oppenheimer akhirnya bahkan harus bergaul selama tujuh tahun dengan Anwar. Film ini bahkan seakan membalik pandangan umum, siapa yang sebenarnya melakukan kekejaman, PKI atau Non PKI. Joshu mengatakan mungkin ada 1.000 atau bahkan mungkin 10.000 sosok jagal seperti Anwar yang dilahirkan di masa itu.
Entah atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo menghunus senjata mereka dan mengeksekusi korban yang entah dikenal atau tidak, terbukti bersalah atau tidak. Truk demi truk bergerak saat tengah malam ke tempat eksekusi dan lalu mayat-mayat bergelimpangan. Lalu sebagaimana yang pernah dilakukan Soeharto saat mengeksekusi penjahat kambuhan saat dia berkuasa, mayat-mayat orang-orang yang diduga PKI dibuang begitu saja ke sungai, jurang atau hutan. Posisi Soeharto saat itu dan mungkin tangan2 gelap CIA, diduga berada dibalik semua peristiwa ini.
Buku ini mencoba menjawab kenapa para pelaku seakan tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Melalui investigasi dan wawancara dengan pelaku sebenarnya, satu demi satu, sejarah kelam masa lalu ini dibuka lembaran demi lembaran. Tentu saja menyakitkan, dan dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana salah satu organisasi massa keagamaan, merasa sangat tidak nyaman saat hal ini dibuka kembali oleh Tempo, dan juga mempertanyakan apa alasan Tempo di balik ini.
Namun memang masa itu situasi memang sangatlah kompleks, tarik menarik kepentingan antara Angkatan Darat dan PKI yang menggunakan petani sebagai angkatan kelima yang dipersenjatai serta posisi sulit Soekarno yang tetap berusaha agar antar semua komponen bangsa tetap bersatu. Harus diakui PKI yang merasa diatas angin dengan "dukungan" Soekarno menekan penduduk yang tidak sealiran, memprovokasi petani yang tidak memiliki lahan, dan lalu keadaan berbalik. Dan terjadilan pembalasan dendam dengan "direstui" tokoh masyarakat, Angkatan Darat dan juga ulama. Ada banyak bukti dilapangan, dimana para algojo dilatih oleh Angkatan Darat, lalu diberikan daftar korban, diantar ke lokasi eksekusi di dipersenjatai.
Mengadili peristiwa tersebut dengan kacamata kekinian menjadi sulit, karena situasi dimasa itu hanya bisa dipahami dengan memperhatikan konteks sosial-ekonomi. Lepas dari semua itu, upaya Tempo untuk melakukan jurnalisme investigas sangat dihargai agar dapat melengkapi kepingan hilang dari Sejarah Indonesia meskipun terasa pahit.
Buku ini dipicu munculnya film Joshua Oppenheimer alumni Harvard University, mengenai sosok Anwar Congo seorang preman merangkap calo bioskop yang merasa sangat dirugikan oleh paham komunisme, The Act of Killing (Jagal), akhirnya meraih perhatian masyarakat banyak sekaligus diingatkan oleh getirnya kejadian kejadian di masa itu. Tak tanggung-tanggung Oppenheimer akhirnya bahkan harus bergaul selama tujuh tahun dengan Anwar. Film ini bahkan seakan membalik pandangan umum, siapa yang sebenarnya melakukan kekejaman, PKI atau Non PKI. Joshu mengatakan mungkin ada 1.000 atau bahkan mungkin 10.000 sosok jagal seperti Anwar yang dilahirkan di masa itu.
Entah atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo menghunus senjata mereka dan mengeksekusi korban yang entah dikenal atau tidak, terbukti bersalah atau tidak. Truk demi truk bergerak saat tengah malam ke tempat eksekusi dan lalu mayat-mayat bergelimpangan. Lalu sebagaimana yang pernah dilakukan Soeharto saat mengeksekusi penjahat kambuhan saat dia berkuasa, mayat-mayat orang-orang yang diduga PKI dibuang begitu saja ke sungai, jurang atau hutan. Posisi Soeharto saat itu dan mungkin tangan2 gelap CIA, diduga berada dibalik semua peristiwa ini.
Buku ini mencoba menjawab kenapa para pelaku seakan tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Melalui investigasi dan wawancara dengan pelaku sebenarnya, satu demi satu, sejarah kelam masa lalu ini dibuka lembaran demi lembaran. Tentu saja menyakitkan, dan dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana salah satu organisasi massa keagamaan, merasa sangat tidak nyaman saat hal ini dibuka kembali oleh Tempo, dan juga mempertanyakan apa alasan Tempo di balik ini.
Namun memang masa itu situasi memang sangatlah kompleks, tarik menarik kepentingan antara Angkatan Darat dan PKI yang menggunakan petani sebagai angkatan kelima yang dipersenjatai serta posisi sulit Soekarno yang tetap berusaha agar antar semua komponen bangsa tetap bersatu. Harus diakui PKI yang merasa diatas angin dengan "dukungan" Soekarno menekan penduduk yang tidak sealiran, memprovokasi petani yang tidak memiliki lahan, dan lalu keadaan berbalik. Dan terjadilan pembalasan dendam dengan "direstui" tokoh masyarakat, Angkatan Darat dan juga ulama. Ada banyak bukti dilapangan, dimana para algojo dilatih oleh Angkatan Darat, lalu diberikan daftar korban, diantar ke lokasi eksekusi di dipersenjatai.
Mengadili peristiwa tersebut dengan kacamata kekinian menjadi sulit, karena situasi dimasa itu hanya bisa dipahami dengan memperhatikan konteks sosial-ekonomi. Lepas dari semua itu, upaya Tempo untuk melakukan jurnalisme investigas sangat dihargai agar dapat melengkapi kepingan hilang dari Sejarah Indonesia meskipun terasa pahit.
No comments:
Post a Comment