Buku terbitan Gramedia yang sudah dicetak sampai 18 kali sangat layak untuk dibaca. Terlihat bagaimana kritisnya Navis sastrawan kelahiran 1924 ini, terhadap kehidupan di sekitarnya. Topiknya sangat beragam, dan sarat dengan dialog dan konflik. Buku ini juga menawarkan cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Terdiri dari sekitar 130 halaman dengan 10 cerita pendek dan ditulis dengan kata bernas penuh makna. Karya pembuka berjudul sama dengan judul buku, yakni Robohnya Surau Kami. Lalu dilanjutkan dengan Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya,
Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.
Dalam karya pertama yang bercerita tentang sindiran seseorang pada Haji yang merasa semua aktivitasnya dijalan Allah namun akhirnya bunuh diri karena disindir seseorang pembual. Navis menulis dialog imajiner sebagai Tuhan pada Sang Haji dengan "Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas".
Cerita kedua mengenai anak kebanggaan Sang Ayah, yang tak pernah pulang, dan mengirim kabar berita. Lalu cerita berakhir dengan telegram tragis mengenai meninggalnya Sang Anak di perantauan, namun tak sempat dibaca Sang Ayah yang meninggal karena gembiranya menerima telegram tsb dan mengira semua harapan-nya pada Sang Anak terlaksana.
Cerita ketiga, mengenai seorang tua yang merasa bangga dengan pengalaman hidup-nya. Dan menasehati seorang pemuda untuk menghindar dari wanita yang satu serta memilih yang lain tanpa menyadari kalau itu adalah wanita yang sama. Tulisan menarik dalam cerita ini adalah saat Navis menulis bahwa buaya (penipu lawan jenis) itu tidak semuanya jantan namun ada juga yang betina.
Langsung cerita kelima, kali ini Navis menulis tentang pernikahan sedarah yang bahagia dan Sang Ayah yang tahu namun mengalami konflik batin jika harus membuka aib tsb. Sang Ayah yang dipenuhi perasaan akan dosa2 dimasa lalu, akhirnya tak jadi mengungkap rahasia tsb, dan memilih pergi meninggalkan anak-anaknya melanjutkan pernikahan bermasalah tsb.
Namun rasanya tidak seru kalau semua cerita dalam buku ini di bahas. Navis bagaimanapun mewariskan karya bermutu yang tak lekang oleh zaman, dan tetap memberikan inspirasi pada generasi kini. Navis juga membuktikan untuk berprestasi tak harus di Ibu Kota.
Terdiri dari sekitar 130 halaman dengan 10 cerita pendek dan ditulis dengan kata bernas penuh makna. Karya pembuka berjudul sama dengan judul buku, yakni Robohnya Surau Kami. Lalu dilanjutkan dengan Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya,
Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.
Dalam karya pertama yang bercerita tentang sindiran seseorang pada Haji yang merasa semua aktivitasnya dijalan Allah namun akhirnya bunuh diri karena disindir seseorang pembual. Navis menulis dialog imajiner sebagai Tuhan pada Sang Haji dengan "Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas".
Cerita kedua mengenai anak kebanggaan Sang Ayah, yang tak pernah pulang, dan mengirim kabar berita. Lalu cerita berakhir dengan telegram tragis mengenai meninggalnya Sang Anak di perantauan, namun tak sempat dibaca Sang Ayah yang meninggal karena gembiranya menerima telegram tsb dan mengira semua harapan-nya pada Sang Anak terlaksana.
Cerita ketiga, mengenai seorang tua yang merasa bangga dengan pengalaman hidup-nya. Dan menasehati seorang pemuda untuk menghindar dari wanita yang satu serta memilih yang lain tanpa menyadari kalau itu adalah wanita yang sama. Tulisan menarik dalam cerita ini adalah saat Navis menulis bahwa buaya (penipu lawan jenis) itu tidak semuanya jantan namun ada juga yang betina.
Langsung cerita kelima, kali ini Navis menulis tentang pernikahan sedarah yang bahagia dan Sang Ayah yang tahu namun mengalami konflik batin jika harus membuka aib tsb. Sang Ayah yang dipenuhi perasaan akan dosa2 dimasa lalu, akhirnya tak jadi mengungkap rahasia tsb, dan memilih pergi meninggalkan anak-anaknya melanjutkan pernikahan bermasalah tsb.
Namun rasanya tidak seru kalau semua cerita dalam buku ini di bahas. Navis bagaimanapun mewariskan karya bermutu yang tak lekang oleh zaman, dan tetap memberikan inspirasi pada generasi kini. Navis juga membuktikan untuk berprestasi tak harus di Ibu Kota.
No comments:
Post a Comment