Tanggal : 22/Des/2015
Target
- Jembatan Sungai Kampar – Perbatasan Riau dan Sumatera Barat
- Kelok 9 – 30 kilometer sebelum Payakumbuh
- Pongek “OR” Situjuah – 15 menit sebelum Payakumbuh
- Lembah Harau – Payakumbuh, Kabupatan Limapuluh Koto
- Jam Gadang dan Sate Padang – Jalan Parak Kubang 40, Bukit Tinggi
- Kaputuak Kloting / Kaos Unik Rasa Minang – Jalan Jend Sudirman
- Benteng Fort De Kock – Jalan Yos Sudarso
- Jambatan Limpapeh – Jalan Yos Sudarso
Penginapan
- Prima Dini - Jalan Yos Sudarso
Kondisi Jalan
- Total jarak : 259 km / 6 jam
- Melewati Lintas Tengah, Sungai Kampar, Bangkinang, Kelok 9, Simpang Lembah Harau dan Payakumbuh. Rute idealnya adalah Pekanbaru, Bangkinang, Kelok 9, Kab Limapuluh Koto (Lembah Harau), dan Payakumbuh, namun karena sudah sangat lapar kami melewati Kab Limapuluh Koto dulu menuju Pongek "OR" Situjuah, baru kemudian kembali untuk melihat Lembah Harau.
- 85% mulus, jalan mulai berkelok kelok, hati-hati dengan tebing dan longsoran, di beberapa titik longsoran memakan badan jalan.
Di perbatasan
Riau dan Sumatera Barat, kami sempat terkesan dengan apa yang kami kira Danau
namun ternyata Sungai Kampar, sungai ini berkelok kelok sehingga kita masih
menemukannya beberapa kali setelah pertemuan pertama. Jembatannya meski berdesain biasa saja namun
karena lebarnya sungai terkesan sangat luas dan panjang.
Akhirnya
sampailah di Kelok 9 yang menjadi legenda baru ini, sayangnya tidak
se-spektakuler foto-foto dari ketinggian yang biasa kami lihat. Namun tak urung
tetap membuat lidah berdecak kagum. Di salah satu spot, nampak banyak pedagang
jagung bakar menggelar dagangannya dengan tenda warna warni sekaligus membuat
kemegahan Jembatan ini menjadi agak terkesan berantakan. Ada cukup banyak
sampah di lokasi tebing-nya, sayang sekali wisata Indonesia masih belum
benar-benar bisa bersih dari hal-hal seperti ini.
Karena pada tahun 2000 an jalur selebar 5 meter ini sudah mencapai kepadatan 9.000 sd 11.000 kendaraan per hari, maka diusulkan ke Pemerintah Pusat untuk membuat solusi Jembatan, untuk memotong waktu dari Pekanbaru ke Bukit Tinggi dari 6 jam menjadi 4 jam. November 2003 mulai dikerjakan dengan membuat 6 jembatan sepanjang total 959 meter dan diintegrasikan dengan jalan sepanjang 1.537 meter. Dengan sendirinya lebar jalan asal 5 meter berubah menjadi 13.5 meter.
Karena pada tahun 2000 an jalur selebar 5 meter ini sudah mencapai kepadatan 9.000 sd 11.000 kendaraan per hari, maka diusulkan ke Pemerintah Pusat untuk membuat solusi Jembatan, untuk memotong waktu dari Pekanbaru ke Bukit Tinggi dari 6 jam menjadi 4 jam. November 2003 mulai dikerjakan dengan membuat 6 jembatan sepanjang total 959 meter dan diintegrasikan dengan jalan sepanjang 1.537 meter. Dengan sendirinya lebar jalan asal 5 meter berubah menjadi 13.5 meter.
Dari sini kami
melaju ke Lembah Harau, namun perut yang sudah keroncongan memaksa kami ke
Pongek “OR” Situjuah dulu. Rumah Makan Padang ini merupakan rekomendasi sahabat
Sportage alias Husen, dan memang masakannya unik dengan bumbu yang berani.
Lokasinya agak menjauh dari jalan besar, dan terletak ditengah sawah. Sambil
makan kita mendengar gemericik sungai kecil, dan menikmati menu ikan bakar,
rendang hitam, gule tunjang dan diakhiri dengan Teh Telor serta kue tradisional
dengan rempah jahe. Untuk 7 orang kami harus membayar Rp. 255.000, tidak jelas juga berapa harga per makanan, karena mereka sepertinya cenderung menghitung ke jumlah orang saja.
Menjelang Lembah
Harau kami melihat kumpulan bangau putih terbang berputar putar, dan lalu
pelangi yang berujung di atas lembah. Akhirnya sampailah kami di lembah Harau,
suatu area yang secara geologi mengalami fenomena grabber, alias amblas dan meninggalkan
kawasan yang dipagari lembah batu yang nyaris rata. Hujan masih terus membasahi bumi, kami
langsung berhenti dan mencoba mengabadikan momen, lalu setelah mendapatkan
informasi dari pesepeda, kami lanjut ke bagian dalam lembah untuk mengabadikan
air terjun yang tercurah dari atas lembah.
Selama ini
bayangan saya tentang Bukit Tinggi selalu positif, daerah bersih, berudara
sejuk, tertata dengan baik dan tersohor karena melahirkan tokoh-tokoh penting
dalam perjalanan bangsa. Namun malam itu pandangan saya berubah, Jam Gadang dan
kawasan sekitarnya terkesan kotor dan kumuh, kumpulan anak muda dengan atribut
metal menyetel musik keras-keras di tengah taman, warung warung bertebaran
dengan semrawut, tukang parkirnya penuh tatto dan dengan gaya mengancam.
Dari sini kami
lalu menuju hotel Prima Dini, yang ternyata sangat dekat dengan Jam Gadang, dan
kali ini kami kembali memesan tiga kamar, karena kedua remaja ingin sekali menggunakan
kamar tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Keesokan pagi
setelah sarapan, kami menuju Benteng Fort De Kock, bentengnya sangat kecil dan
kalau saja tidak diberi tahu, kami masih tidak mengira bangunan tersebut adalah
bentengnya. Tiket masuk per orang di Benteng Rp. 10.000. Benteng ini diirikan tahun 1825 pada masa Hendrik Merkus De Kock saat beliau menjadi Wakil Gubernur Hindia Belanda. Benteng ini menjadi lokasi pertahanan Belanda saat Perang Paderi antara tahun 1821 sd 1837. Meriam-meriam kuno masih dapat kita temukan di sekitar Benteng Fort De Kock. Sebenarnya ada satu benteng lagi yakni Fort Van der Capellen yang terletak di Batusangkar.
Kami juga menelusuri Jambatan Gantung Limpapeh, yang menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort De Kock. Adik ipar dan anggota rombongan terkecil menginginkan “special request” melihat lihat koleksi kebun binatang, dan akan saya jemput setelah mengantar istri dan adiknya belanja di Pasar Atas serta Pasar Bawah.
Kami juga menelusuri Jambatan Gantung Limpapeh, yang menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort De Kock. Adik ipar dan anggota rombongan terkecil menginginkan “special request” melihat lihat koleksi kebun binatang, dan akan saya jemput setelah mengantar istri dan adiknya belanja di Pasar Atas serta Pasar Bawah.
Lalu istri dan adiknya kembali menyusuri Pasar Atas dan Pasar Bawah, sambil menunggu istri dan adiknya belanja, saya bersama Si Bungsu menikmati Ice Cream dari KFC di depan pasar.
Lalu lanjut ke Kaos Unik Rasa Minang. Kejutan buat saya melihat kualitas kaosnya dan lebih terkejut lagi ketika mengetahui semuanya produksi Bandung yang di desain di Bukit Tinggi lalu setelah dikirim dari Bandung kembali dijual di Bukit Tinggi.
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/12/jelajah-sumatera-part-7-dari-10-menuju.html
No comments:
Post a Comment