As a species we're
fundamentally insane.
Put more than two
of us in a room, we pick sides and start dreaming up reasons to kill one
another.
(Ollie Weeks – The
Manager Assistant)
Setelah
menyelesaikan The Shawsank Redemption (TSR), kini giliran The Mist yang masih
merupakan kolaborasi Stephen King dan Frank Darabont. Sebagaimana TSR, casting
dalam film ini lagi-lagi layak mendapatkan acungan jempol. Secara umum dialog
yang kuat dengan aktor berkelas berhasil membuat film ini menarik meski secara
special effect masih kalah kelas bahkan dengan Jurassic Park yang dibuat 14
tahun sebelumnya. Salah satu tokoh yang muncul dalam film ini terlihat tak asing
bagi saya, ternyata William Sadler (berperan sebagai Jim Grondin) yang juga
bermain dalam TSR.
Sejujurnya saya
agak sedikit bingung menentukan genre apakah film ini ?, jika scifi kok rasanya
“special effect”nya biasa saja, jika dianggap horor tetapi dramanya justru
mendapatkan porsi yang lumayan banyak, begitu juga jika dianggap film monster,
eh monster dalam film ini cuma jadi figuran. Namun secara sederhana saya berpendapat film
ini mengenai psikologi manusia yang berada dalam suatu tempat terisolasi,
sehingga tak ada lagi kepura2an, semua karakter terlihat telanjang dalam
mengekspresikan amarah, dendam, kelicikan, putus asa dan lain sebagainya.
Sebenarnya tempat
terisolasi seperti ini bukan hal baru dalam sebuah cerita, Agatha Christie
sudah membuatnya dalam “Three Blind Mice” juga “And Then There Were None”.
Kembali ke cerita, bermula dari sebuah kota kecil bernama Maine (peristiwa aneh
di kota kecil memang sering dijadikan tema karya-karya Stephen King) yang
sedang dilanda badai hebat. Badai ini lalu diikuti kabut misterius yang
menyebabkan sebagian penduduk terperangkap di dalam super market terbesar di
Maine. Rumor yang beredar menyebutkan, kabut ini merupakan bagian dari
percobaan militer yang dinamakan “The Arrowhead Project”. Namun karena fokusnya
bukan mengenai percoban militer jangan harap anda menemukan jawaban dari
penyebab kabut tersebut.
Selama
terperangkap di supermarket, berkali kali mereka mendapat serangan mahluk
bertentakel, serangga raksasa, sosok “manusia” bersayap, dan juga laba-laba,
atau bahkan belalang seukuran pohon raksasa. Dalam kondisi tertekan, mulai
terbentuk komunitas-komunitas seperti kelompok agama garis keras (bertahan di
super market dengan terus menerus berdoa), kelompok arogan dan mau menang
sendiri (sengaja pergi keluar super market dan lalu menemui ajal) , kelompok
yang frustrasi dan lalu memilih bunuh diri, serta komunitas yang dipimpin oleh
David Drayton, Sang Seniman yang tetap
mencoba berpikir bagaimana bisa keluar dari tempat tersebut.
Karakter menarik
dalam film ini salah satunya adalah Mrs. Carmody yang diperankan dengan sangat
baik oleh Marcia G. Harden. Sosoknya yang selalu mengaitkan apapun dengan agama
dan cenderung memaksakan kehendak pelan2 mulai mendapatkan pengikut dalam super
market. Puncak dari kegilaan ini adalah ketika mereka merasa memiliki hak untuk
menghukum mati siapa yang menurut mereka berkhianat.
Peran utama David
Drayton dimainkan dengan baik oleh Thomas Jane. Saat-saat awal saya sempat
mengira Thomas Jane sebagai Christopher Lambert karena kemiripan mereka berdua.
Akting Thomas Jane saat memerankan Drayton juga diuji saat berusaha kembali ke
rumahnya setelah meloloskan diri dari super market, namun harus menghadapi kekecewaan
saat menemukan kondisi istrinya, sementara dia selalu berjanji pada anaknya,
akan berusaha memastikan istrinya baik-baik saja.
Film ini
menemukan klimaksnya pada akhir cerita sekaligus menggambarkan betapa ironisnya
kehidupan, namun tidak akan seru jika saya bahas disini. Bukan akhir cerita
yang menyenangkan bagi orang-orang yang ingin melihat akhir kisah yang bahagia.
Konon kabarnya, akhir seperti ini diputuskan oleh Frank Darabont, sesuatu yang
menurut Stephen King tak akan dia tulis sebagai bagian akhir. Jujur saja,
setelah menonton, film ini membuat kita merenung, seandainya Drayton adalah
kita, apakah kiranya yang akan kita lakukan ?
Akhir kata, meski
alur film ini terasa agak lambat, namun ironi di akhir cerita menempatkan film
ini sebagai film yang sangat layak ditonton. Namun saya tidak menyarankan film
ini buat anak-anak, karena beberapa adegan yang terlihat cukup sadis.
Catatan, mobil
yang digunakan Drayton untuk melarikan diri perlu dijadikan catatan khusus, karena
merk yang sudah tak asing di Indonesia, alias Toyota Land Cruiser FJ55.
No comments:
Post a Comment