Thursday, February 07, 2019

Green Book (2018) - Peter Farrelly



Don : What are you doing?
Tony : A letter. 
Don : May I? (Tony membiarkan Don membaca suratnya)
Don : “Dear Dolores, sometimes you remind me of a house.”
Don : You know this is pathetic, right? Put this down (menunjuk pulpen dan kertas) “The distance between us is breaking my spirit. Falling in love with you was the easiest thing I have ever done.”
Tony : “P.S. Kiss the kids?”
Don : That's like clinging a cow bell at the end of Shostakovich's seven.
Tony: That's good. 

Don : It's perfect, Tony.


Membaca beberapa komentar teman di whatsapp group musik, mengenai film ini menggerakkan saya untuk mencari referensi sebelum memutuskan untuk menontonnya. Ternyata salah satu aktornya adalah Viggo Mortensen yang dengan gemilang memerankan Aragorn dalam trilogi Lord of The Ring. Namun jangan harapkan Aragorn akan muncul dalam Green Book, anda hanya menemukan pria paruh baya bernama Tony Vallelonga, berperut buncit yang sedang mencari pekerjaan karena klub malam tempat dia bekerja sebelumnya ditutup. 

Siapa aktor utama lainnya dalam film ini ? Mahershala Ali yang memerankan Don Shirley seorang pianis keturunan African-American dan juga yang tak kalah penting Linda Cardellini yang memerankan istri Dolores, Tony Vallelonga. Baik Mahershala Ali dan Linda Cardellini memainkan peran mereka dengan memikat, mengimbangi Viggo Mortensen. Akting keibuan Linda mengingatkan saya akan sosok ibu dalam AI besutan Spielberg dan yang diperankan dengan sangat baik oleh Francess O’ Connor. Sementara Mahershala Ali sepintas mirip dengan Eddie Murphy namun dalam versi yang jauh lebih serius. Jangan heran melihat kualitas akting Ali, karena dalam perannya sebagai drug dealer dalam Moonlight (2016), Ali memenangkan Academy Award for Best Supporting Actor, sekaligus menjadi aktor film muslim pertama yang meraih Oscar.




Sedihnya saat saya menonton di CGV, penonton tak lebih dari 10% kapasitas, sayang sekali film yang diantaranya memenangkan People Choice Award di Toronto International Films,  Best Film of 2018 - National Board of Review Award,  Golden Globe Award for Best Motion Picture – Musical or Comedy, dan juga lima nominasi at the 91st Academy Awards: Best Picture, Best Actor (Mortensen), Best Supporting Actor (Ali), Best Original Screenplay and Best Film Editing, lolos dari radar kebanyakan pencinta film. 

Cerita ini bermula dari Don Shirley yang sedang mencari supir merangkap pembantu, dalam rangka tur piano klasik bersama seorang pemain cello dan seorang pemain bass di daerah selatan yang terkenal masih menganut paham rasialis. Sepertinya yang ada di benak Don Shirley memilih seorang supir berkulit putih setidaknya akan mempermudah akses ke kawasan ini. Namun Tony menolak tawaran USD 100 per minggu dimana dia juga harus melakukan pekerjaan seperti pembantu Don dalam urusan mencuci dan seterika baju, serta menyikat sepatu. Tony akhirnya mengajukan USD 125 per minggu tanpa pekerjaan pembantu. 

Perjalanan delapan minggu dengan upah total USD 1000,  ini akhirnya menjadi pencetus persahabatan di antara kedua karakter bertolak belakang ini. Tony kulit putih keturunan Italian-American yang ugal-ugalan, apa adanya, kasar, memiliki keluarga bahagia namun kurang berpendidikan dibanding Don Shirley kulit hitam, bergaya aristokrat khas Eropa, duda cerai, dan berpendidikan tinggi. Meski awalnya penuh dengan konflik, namun petualangan selama perjalanan di mana Tony berkali-kali menyelamatkan Don Shirley dari jebakan polisi, pengeroyokan warga setempat, dan perlakukan rasialis dari penyelenggara pertunjukan,  dan sebaliknya nasihat Don Shirley untuk menyetir dengan kehati2an, tidak membuang sampah sembarangan, berbicara dengan sopan, serta bagaimana menulis surat dengan puitis membuat kedua hati mereka bertaut sebagai sahabat. 

Hal menarik selain interaksi kedua aktor adalah mobil klasik yang memenuhi sepanjang film ini, landscape daerah perkebunan di Selatan yang menakjubkan dengan rumah-rumah indah berarsitektur khas juga permainan piano Don Shirley yang memang memikat sepanjang film. Entah benar atau tidak, saya merasa permainan Shirley yang tadinya sangat berbau klasik, akhirnya berubah menjadi sedikit ekspresif dengan ciri khas  jazz dan rock and roll di eranya Chuck Berry merajai radio tersebut, akibat radio yang terus menerus diputar oleh Tony sepanjang perjalanan. 

Kenapa cerita ini begitu membumi ? karena ini memang diangkat dari kisah nyata yang bahkan bisa kita dengarkan sendiri lewat karya Don Shirley dalam album Orpheus in The Underworld lewat link https://www.youtube.com/watch?v=yXPMfWl2QBY atau kompilasi karya beliau dengan Don Shirley Trio di link https://www.youtube.com/watch?v=rGFSuKVI8Dc Green Book sendiri adalah buku panduan konser selama mengelilingi daerah selatan dalam delapan minggu, maklum tidak semua penginapan dan restoran dimasa itu bisa dikunjungi kulit hitam. 

Bukan hanya itu, naturalnya film ini mungkin juga berkat Nick Vallelonga yang juga putra dari Tony ikut menulis kisah film ini berdasarkan interview langsung dengan Don Shirley dan Tony Vallelonga, selain berdasarkan surat-surat yang ditulis Tony pada istrinya selama perjalanan delapan minggu tersebut. Ahh bagi saya Green Book ini film yang menarik, sekaligus humanis, dan menjadi salah satu film dengan latar belakang musik terbaik selain Whiplash (2014) , Sound of Music (1965) dan juga The Wall (1982).


You never win with violence. You only win when you maintain your dignity.

Donald Walbridge Shirley 
January 29, 1927 – April 6, 2013
American classical and jazz pianist and composer


* resensi Whiplash bisa lihat di link http://hipohan.blogspot.com/2015/03/whiplash-nya-damien-chazelle.html


No comments: