Friday, April 03, 2009

Dari Soekarno Sampai SBY - Tjipta Lesmana

Kebetulan menjelang pemilu, tentu topik ini menjadi sangat menarik. Dengan membaca buku ini kita jadi mengerti rahasia sukses sebagai pemimpin. Sebagaimana kita ketahui, seorang pemimpin yang sukses adalah seorang yang dapat menjadi contoh sekaligus mampu berkomunikasi dengan baik dengan komunitas disekelilingnya. Semakin dia mampu menjelaskan hal hal yang perlu dilakukan maka akan semakin mungkin tujuan tersebut dicapai.

Buku ini menjelaskan cara berkomunikasi para presiden kita dalam memimpin negara. Semua informasi ini diperoleh dari lingkaran satu diseputar presiden dan diwawancarai langsung oleh pengarang buku ini. Mulai dari Soekarno yang tetap konsisten meski kadang salah serta akrab dengan siapa saja, Soeharto yang pendendam serta memilih untuk bersikap bagaikan raja, Gus Dur yang responsif dan dikelilingi para pembisik, Habibie yang demokratis dan naif, Mega yang alergi kritik, pasif, suka mengeluh serta tidak menguasai masalah sampai dengan Susilo yang sangat berhati-hati dan cenderung takut salah.


Juga dibahas beberapa cerita lucu bagaimana tokoh seperti Soeharto berbicara. Suatu saat seorang menteri menyampaikan ide dan memohon petunjuk, didampingi salah satu menteri kepercayaan Soeharto. Saat usulan disampaikan Soeharto hanya berdehem dan sama sekali tidak menyampakaikan apakah dia setuju atau tidak dengan ide yang diusulkan. Menteri yang kebingungan lantas meminta pendapat menteri kepercayaan tersebut, dan dengan lancarnya sang kepercayaan menjelaskan apa yang dimaksud dengan Soeharto hanya dengan menerjemahkan jenis atau cara Soeharto berdehem, sehingga jelas apakah itu pernyataan setuju atau tidak. Gaya Soeharto yang bak seorang raja memang sangat menyulitkan orang2 disekitarnya, khususnya yang berasal dari luar jawa tengah.

Saat terjadi kasus petrus, dimana mayat2 bertato ditemukan dimana-mana, lagi2 merupakan penerjemahan orang kepercayaan beliau, terhadap kalimat "Tolong dibereskan !". Dan lalu terjadilah tragedi ala pembantaian kaum komunis di tahun 1965 namun kali ini dengan korban para penjahat residivis yang di masa itu relatif mudah dikenal karena jumlah dan jenis tato yang melekat di badan. Kalau saat ini hal yang sama dilakukan sepertinya akan banyak artis yang juga menjadi korban.

Sebaliknya di era Gus Dur, masalah apapun yang tadinya begitu kompleks, bias menjadi cair hanya dengan mengatakan "Gitu aja kok repot ?". Atau saat SBY tidak mengambil sikap yang jelas soal FPI, maka sebaliknya Gus Dur dalam salah satu video yang saya tonton dengan mudah mengatakan "FPI itu organisasi bajingan !".
 
Di era Megawati, ada juga menteri yang kebingungan, saat diminta take a decision, Megawati malah bicara soal belanja ke pasar sekarang mahal, dan remeh temeh lain-nya dan membuat si menteri bingung karena tidak mendapatkan petunjuk apapun dari Megawati. Megawati juga sering terlambat menanda tangani keputusan, bahkan sampai dokumen kadang menumpuk di meja-nya, belum lagi penguasaan-nya terhadap masalah yang terbilang sangat minim.

Buku ini saya rekomendasikan bagi para leader ataupun calon leader, sehingga mereka dapat mengambil best of the best dari setiap gaya dan mengimplementasikannya untuk menjadi leader yang lebih baik.


Np Dramagods "Megaton"

2 comments:

Fauzy Firdaus said...

review yang ok temanku. tapi titip pesen, link blogku sekarang: tangcaca.blogspot.com. thanks

Husni I. Pohan said...

okeh bro :)