Karya Corien Oranje ini memiliki beberapa judul, selain The Day of The Waves judul Indonesia-nya adalah Tsunami, sebuah kata yang disadur dari bahasa Jepang untuk menyebut sapuan gelombang dahsyat dari laut. Buku ini mengingatkan kita pada musibah 24/12/2004 dengan korban lebih dari 200.000 orang di ujung pulau Sumatera. Karena bukunya tidak terlalu tebal2 disaat jeda membaca 1453 nya Roger Crowley, saya lalap buku ini dalam waktu satu jam lebih sedikit.
Meski ini cerita sederhana ala "teenlit" namun buku yang dibuat tahun 2006 ini menarik karena ditulis orang asing, sehingga sekaligus menggambarkan sudut pandang yang berbeda. Misalnya penggambaran dimana setiap orang dimasa masa sulit itu tetap berusaha menjalankan perintah Tuhan dan mencoba tetap berbesar hati.
Siapa Corien Oranje, dalam buku ini tidak dijelaskan secara detail, kecuali bahwa dia memiliki sahabat beragama muslim untuk menggambarkan cara2 kaum muslim beribadah, dan juga keterangan bahwa Corien memang sempat ada dilokasi bencana.
Selain menggambarkan bagaimana tsunami setinggi pohon kelapa menyerbu setelah sebelum porak poranda karena gempa susul menyusul, kita mendapatkan gambaran bagaimana perpisahan paksa keluarga yang terjadi, saat2 seseorang dipaksa memilih angggota keluarga yang bisa diselamatkan misalnya.
Sungguh ini sebuah peringatan bagi manusia, apakah ini kutukan yang ditimpakan Allah pada Aceh, sesungguhnya kita tidak bisa selalu melihat dari perspektif seperti itu. Musibah adalah satu hal, namun dampak berikutnya tak kalah menyengsarakan, tinggal di tenda2 ala kadarnya, serangan berbagai penyakit, seperti paru, eksim, dll. Belum lagi bau mayat yang bertebaran dimana-mana.
Karakter manusia juga diperlihatkan dalam kondisi seperti ini, seperti tokoh seorang wanita yang tadinya kaya raya, lantas alih2 bersyukur karena selamat, namun mengeluhkan semua fasilitas dan bantuan yang dia terima. Untuk menggambarkan semua peristiwa ini, Corien menggunakan tokoh Dewi dan sahabatnya Yensi, dua anak nelayan di kapal ikan, sedangkan tokoh asing diperankan Lexie, seorang pekerja bantuan kemanusiaan dari Australia.
Kita juga diingatkan bagaimana sebungkus mie instan dan sebotol air bersih menjadi begitu berharga lebih dari apapun. Juga bagaimana persahabatan antar negara, agama dan ras yang begitu indah, sekaligus menggantikan sanak saudara yang hilang dengan saudara2 baru yang datang dari seluruh dunia. Pekerja kemanusiaan seperti dari TEAR, World Relief and Helping Hands Foundation, selama berbulan bulan meninggalkan negara mereka untuk membantu. Hemm sungguh memberikan arti baru pada kemanusiaan.
Meski ini cerita sederhana ala "teenlit" namun buku yang dibuat tahun 2006 ini menarik karena ditulis orang asing, sehingga sekaligus menggambarkan sudut pandang yang berbeda. Misalnya penggambaran dimana setiap orang dimasa masa sulit itu tetap berusaha menjalankan perintah Tuhan dan mencoba tetap berbesar hati.
Siapa Corien Oranje, dalam buku ini tidak dijelaskan secara detail, kecuali bahwa dia memiliki sahabat beragama muslim untuk menggambarkan cara2 kaum muslim beribadah, dan juga keterangan bahwa Corien memang sempat ada dilokasi bencana.
Selain menggambarkan bagaimana tsunami setinggi pohon kelapa menyerbu setelah sebelum porak poranda karena gempa susul menyusul, kita mendapatkan gambaran bagaimana perpisahan paksa keluarga yang terjadi, saat2 seseorang dipaksa memilih angggota keluarga yang bisa diselamatkan misalnya.
Sungguh ini sebuah peringatan bagi manusia, apakah ini kutukan yang ditimpakan Allah pada Aceh, sesungguhnya kita tidak bisa selalu melihat dari perspektif seperti itu. Musibah adalah satu hal, namun dampak berikutnya tak kalah menyengsarakan, tinggal di tenda2 ala kadarnya, serangan berbagai penyakit, seperti paru, eksim, dll. Belum lagi bau mayat yang bertebaran dimana-mana.
Karakter manusia juga diperlihatkan dalam kondisi seperti ini, seperti tokoh seorang wanita yang tadinya kaya raya, lantas alih2 bersyukur karena selamat, namun mengeluhkan semua fasilitas dan bantuan yang dia terima. Untuk menggambarkan semua peristiwa ini, Corien menggunakan tokoh Dewi dan sahabatnya Yensi, dua anak nelayan di kapal ikan, sedangkan tokoh asing diperankan Lexie, seorang pekerja bantuan kemanusiaan dari Australia.
Kita juga diingatkan bagaimana sebungkus mie instan dan sebotol air bersih menjadi begitu berharga lebih dari apapun. Juga bagaimana persahabatan antar negara, agama dan ras yang begitu indah, sekaligus menggantikan sanak saudara yang hilang dengan saudara2 baru yang datang dari seluruh dunia. Pekerja kemanusiaan seperti dari TEAR, World Relief and Helping Hands Foundation, selama berbulan bulan meninggalkan negara mereka untuk membantu. Hemm sungguh memberikan arti baru pada kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment