Kejutan bagi saya khususnya dengan nama sutradara Rako Prijanto yang baru saya dengar, namun justru saya nilai menghasilkan karya yang lebih baik dibanding film "Sang Pencerah" film mengenai KH Ahmad Dahlan karya sutradara yang justru lebih terkenal seperti Hanung Bramantyo.
Film ini juga membuat kita malu, karena kembali mengingatkan bahwa kita tidak cukup berhasil mengisi kemerdekaan yang diperjuangkan pahlawan2 sebelum kita. Juga mengingatkan kita bagaimana pesantren yang saat ini dipandang sebelah mata, khususnya dalam kasus2 terorisme, justru menjadi tulang punggung dalam melawan penjajahan. Tidak tanggung2, mulai dari zaman Jepang, Inggris dan juga Belanda.
Film ini juga "membongkar" misteri di balik kematian Mallaby jendral Inggris yang ditugaskan memadamkan pemberontakan pejuang kemerdekaan. Versi ini cukup mengagetkan karena menggambarkan pelaku yang berasal dari Tebu Ireng. Sayang-nya tidak dilakukan dalam konotasi heroik, karena saat Harun menembak Mallaby yang saat itu justru tidak sedang dalam posisi melawan. Penggunaan granat oleh prajurit Inggris juga terasa ganjil, saat Harun melawan karena justru akan membahayakan nyawa Mallaby.
Selain peristiwa Mallaby, hal lain yang menarik adalah penjajahan Jepang, meski hanya 3 tahun, kita jadi mengerti kenapa sangat membekas bagi bangsa Indonesia. Karakter Jepang yang terlihat ganas digambarkan dengan baik dalam film ini, khususnya adegan pembunuhan santri Tebu Ireng, atau saat penyiksaan KH Hasyim Asyari, plus tak lupa adegan pemenggalan pimpinan pesantren di Ancol. Meski sepintas, bagaimana Jepang memperlakukan penduduk jajahan berjenis kelamin wanita juga digambarkan, dan mengingatkan kita akan korban "jugun ianfu" di Negara2 lain seperti Korea.
Tentu saja bintang utama adalah KH Hasyim Asyari, bagaimana beliau menolak Sekerei (menghormat pada matahari), menyindir secara halus orang2 yang membantu Jepang, mengoordinasi pesantren untuk memutuskan fatwa jihad, bertahan terhadap siksaan fisik tentara Jepang, membentuk laskar Hisbullah, dan meninggalnya beliau secara khusnul khotimah dalam salah satu adegan terbaik di film ini.
Aktor2 dalam film ini juga bermain dengan baik, seperti Ikranegara (sebagai KH Hasyim Asyari) Christine Hakim, Agus Kuncoro (Sebagai KH Wahid Hasyim) dan juga aktor yunior seperti Adipati Dolken (sebagai Harun). Catatan khusus bagi pemeran Bung Tomo, yang berhasil mengekspresikan semangat khas arek2 Suroboyo (bukan ala bonek alias suporter sepakbola ya) dan sekaligus menjadi penanda
Hari Pahlawan 10 November.
Salah satu kelebihan film ini menurut saya, nyaris semua pemeran asing bermain baik seperti Nobuyuki Suzuki, Andrew Trigg, dll sebagai tentara Jepang, tentara Inggris, sepertinya berbeda dengan kebanyakan film Indonesia yang menggunakan turis "kebetulan lewat", aktor2 asing yang terlibat dalam film ini bermain dengan mengesankan.
Film ini juga terhitung cerdas memunculkan ketidak setujuan terhadap sikap KH Hasyim Asyari, yang di gambarkan dengan cantik lewat tokoh Harun, yang akhirnya memilih perjuangan secara lebih keras dan gugur saat peristiwa Mallaby.
Aspek berikutnya yang menarik adalah penggunaan mobil2 militer Jepang di masa itu, pakaian serdadu dan senjata serta juga penggunaan bahasa Jepang. Begitu juga dengan mobil2 pejabat dimasa itu serta kostum2 lain-nya. Hemm tidak tanggung2 efek spesial juga sempat dimunculkan saat menunjukkan Surabaya tengah di bakar lautan api dan juga dengan pesawat pembom-nya sekalian. Sayang-nya saat menggambarkan mobilisasi massa, mobil yang digunakan sepertinya tidak mencerminkan model mobil saat itu, meski disamarkan dengan bendera NU.
Lantas apakah film ini selalu menggambarkan segala sesuatunya dengan serius ?, meski memang cenderung film serius, tak urung saya tertawa akan putusan memainkan seorang aktor kanak2 sebagai almarhum Gus Dur, karena rasa2ya wajah-nya memang cukup mirip dengan Gus Dur, meski tentu saja tidak berperan banyak dalam film ini.
Film ini juga membuat kita malu, karena kembali mengingatkan bahwa kita tidak cukup berhasil mengisi kemerdekaan yang diperjuangkan pahlawan2 sebelum kita. Juga mengingatkan kita bagaimana pesantren yang saat ini dipandang sebelah mata, khususnya dalam kasus2 terorisme, justru menjadi tulang punggung dalam melawan penjajahan. Tidak tanggung2, mulai dari zaman Jepang, Inggris dan juga Belanda.
Film ini juga "membongkar" misteri di balik kematian Mallaby jendral Inggris yang ditugaskan memadamkan pemberontakan pejuang kemerdekaan. Versi ini cukup mengagetkan karena menggambarkan pelaku yang berasal dari Tebu Ireng. Sayang-nya tidak dilakukan dalam konotasi heroik, karena saat Harun menembak Mallaby yang saat itu justru tidak sedang dalam posisi melawan. Penggunaan granat oleh prajurit Inggris juga terasa ganjil, saat Harun melawan karena justru akan membahayakan nyawa Mallaby.
Selain peristiwa Mallaby, hal lain yang menarik adalah penjajahan Jepang, meski hanya 3 tahun, kita jadi mengerti kenapa sangat membekas bagi bangsa Indonesia. Karakter Jepang yang terlihat ganas digambarkan dengan baik dalam film ini, khususnya adegan pembunuhan santri Tebu Ireng, atau saat penyiksaan KH Hasyim Asyari, plus tak lupa adegan pemenggalan pimpinan pesantren di Ancol. Meski sepintas, bagaimana Jepang memperlakukan penduduk jajahan berjenis kelamin wanita juga digambarkan, dan mengingatkan kita akan korban "jugun ianfu" di Negara2 lain seperti Korea.
Tentu saja bintang utama adalah KH Hasyim Asyari, bagaimana beliau menolak Sekerei (menghormat pada matahari), menyindir secara halus orang2 yang membantu Jepang, mengoordinasi pesantren untuk memutuskan fatwa jihad, bertahan terhadap siksaan fisik tentara Jepang, membentuk laskar Hisbullah, dan meninggalnya beliau secara khusnul khotimah dalam salah satu adegan terbaik di film ini.
Aktor2 dalam film ini juga bermain dengan baik, seperti Ikranegara (sebagai KH Hasyim Asyari) Christine Hakim, Agus Kuncoro (Sebagai KH Wahid Hasyim) dan juga aktor yunior seperti Adipati Dolken (sebagai Harun). Catatan khusus bagi pemeran Bung Tomo, yang berhasil mengekspresikan semangat khas arek2 Suroboyo (bukan ala bonek alias suporter sepakbola ya) dan sekaligus menjadi penanda
Hari Pahlawan 10 November.
Salah satu kelebihan film ini menurut saya, nyaris semua pemeran asing bermain baik seperti Nobuyuki Suzuki, Andrew Trigg, dll sebagai tentara Jepang, tentara Inggris, sepertinya berbeda dengan kebanyakan film Indonesia yang menggunakan turis "kebetulan lewat", aktor2 asing yang terlibat dalam film ini bermain dengan mengesankan.
Film ini juga terhitung cerdas memunculkan ketidak setujuan terhadap sikap KH Hasyim Asyari, yang di gambarkan dengan cantik lewat tokoh Harun, yang akhirnya memilih perjuangan secara lebih keras dan gugur saat peristiwa Mallaby.
Aspek berikutnya yang menarik adalah penggunaan mobil2 militer Jepang di masa itu, pakaian serdadu dan senjata serta juga penggunaan bahasa Jepang. Begitu juga dengan mobil2 pejabat dimasa itu serta kostum2 lain-nya. Hemm tidak tanggung2 efek spesial juga sempat dimunculkan saat menunjukkan Surabaya tengah di bakar lautan api dan juga dengan pesawat pembom-nya sekalian. Sayang-nya saat menggambarkan mobilisasi massa, mobil yang digunakan sepertinya tidak mencerminkan model mobil saat itu, meski disamarkan dengan bendera NU.
Lantas apakah film ini selalu menggambarkan segala sesuatunya dengan serius ?, meski memang cenderung film serius, tak urung saya tertawa akan putusan memainkan seorang aktor kanak2 sebagai almarhum Gus Dur, karena rasa2ya wajah-nya memang cukup mirip dengan Gus Dur, meski tentu saja tidak berperan banyak dalam film ini.
No comments:
Post a Comment