Buku ini memuat perjalanan Hanum menelusuri jejak peradaban Islam di Eropa, tak jelas benar bagaimana Hanum membagi penugasan dalam membuat buku ini dengan Rangga (suami-nya), kesan saya sebagai pembaca, pengalaman Hanum jauh lebih dominan, dan mengamati pendekatan ala catatan harian yang digunakan, serta cerita yang khas sudut pandang wanita dengan sahabat2nya seperti Fatma (Wina dan Istanbul) dan Marion Latimer sang muallaf (Perancis) lebih kuat lagi menimbulkan kesan bahwa Hanum lah yang lebih banyak berada di balik lahirnya buku ini.
Akan tetapi mempersoalkan siapa yang lebih dominan di balik buku ini tentu saja jangan sampai membuat fokus pada isi dari buku ini menjadi terabaikan. Saya pribadi merasakan kesan melankolis dalam buku ini, bagaimana kemajuan Islam di Cordoba, Granada, Wina, Istanbul (Konstatinopel), bahkan juga Prancis, saat ini hanya meninggalkan jejak2 saja. Tetapi tentu saja sebagai generasi baru, adalah kewajiban kita untuk menunjukkan implementasi “rahmatan lil alamin” . Sesungguhnya Sang Pencipta, sebagaimana firman-Nya mempertukarkan kemajuan di antara Bangsa, dan sebagaimana sejarah mengajarkan peradaban, Rumawi, Persia, Arab, Turki, Cina, Inggris, dan saat ini Amerika saling bergantian menjadi lokomotif perubahan agar menjadi pelajaran bagi semua umat manusia.
Pada masa lalu ketika Islam tergusur dari Eropa, sepertinya ini menjadi titik balik Kristen kembali menguasai Eropa, tetapi siapa yang menduga bahwa salah satu aliran yang saat ini paling banyak mendapatkan pengikut-nya di Eropa justru Atheisme. Dalam bukunya Hanum mengutip, jika saja Paus Urban yang mencetuskan perang salib masih hidup pasti dia akan shock menyaksikan bagaimana agama yang dia yakini justru sekarang “berperang” dengan Atheisme dan bukan Islam. Meski demikian bahwa Islam dan Eropa pernah sangat serasi seharusnya dapat mengubah prasangka yang sampai saat ini masih terus ada, dengan demikian semoga semakin banyak yang memahami bahwa teror bukan-lah merupakan bagian dari Islam itu sendiri.
Dalam buku ini juga disinggung bagaimana Cordoba, yang dengan serasinya memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama serta sukses menjadi contoh terbaik peradaban Islam dan menjadi pemimpin perubahan dari abad kegelapan ke “renaissance”. Julukan “city of light” di masa lalu, bukan cuma pengandaian, melainkan memang kenyataan masa itu. Masa peradaban Islam umum-nya selalu menggunakan pendekatan yang bersahabat bagi penganut agama lain, meski diawali dengan penaklukan, sebagaimana Umar bin Khatab saat menduduki Yerusalem, atau Turki menduduki Konstatinopel, semua tempat peribadatan dijaga dan semua penganut-nya bebas dan aman untuk menjalankan kepercayaan masing2. Sangat ironis dengan pendudukan Yerusalem oleh pasukan perang salib yang berujung dengan pembantaian, atau cara2 yang digunakan Isabel dan Ferdinand dalam pembaptisan masal di Granada dan mewajibkan penggantungan daging babi di setiap toko makanan sebagai pengakuan bagi kaum Yahudi dan Islam di masa itu.
Hal2 menarik lain-nya dalam buku ini saat perjalanan Hanum ke Perancis, adalah ketertarikan Napoleon Bonaparte pada Islam setelah kepulangan-nya dari Mesir. Beberapa fakta terkait ketertarikan Napoleon antara lain adalah masuk Islam-nya Francois Menou, jenderal yang juga merupakan tangan kanan beliau, lantas penetapan “Napoelonic Code” dalam menyempurnakan undang2 terkait masyarakat yang mengambil penerapan hukum Islam sebagai sumber-nya serta pembangunan “Axe of Historique” garis imajiner dengan gerbang Arc de Triomphe dengan menghadap ke Mekkah yang berarti “jalan kemenangan” yang memang merupakan salah satu istilah umum dalam Islam. Menambahkan apa yang ditulis Hanum, sepertinya saya perlu mengingatkan “jalan kemenangan” adalah arti dari salah satu kalimat adzan, tepatnya “Hayya Ala Al Falah” yang menjadi trademark Islam selama berabad-abad.
Tak kalah mengagetkan-nya kaligrafi kufic dengan kalimat tauhid disisipkan yaitu pengakuan terhadap ke-esa-an Allah, yaitu “Tidak ada Tuhan Selain Allah”, yang banyak muncul dalam karya seni Eropa pada masa itu, termasuk lukisan bunda Maria dan bayi-nya (Virgin and The Child) yang dijelaskan oleh Hanum saat mengunjungi museum Louvre, dan bahkan dalam mantel penobatan salah satu raja Eropa, yaitu Raja Roger II of Sicily yang mereka buktikan saat Hanum dan suami-nya mengunjungi museum Schatzkammer.
Meski sempat kehilangan jejak Fatma, dan membuat saya penasaran ingin mengetahui respon tiga orang “eropa” saat di Kahlenberg, jika mengetahui kaum yang mereka tertawakan justru mengulurkan tangan persahabatan serta mentraktir mereka makan “croissant”, namun akhirnya Hanum tetap memberikan kisah penutup yang menjawab rasa penasaran tadi. Buku ini dengan cantiknya ditutup dengan kata2 Paulo Coelho dalam “The Alchemist”, yang kurang lebih mengatakan tak peduli seberapa jauh kita berjalan, semua perjalanan itu hanya akan membawa kita lebih dekat ke titik asal, tempat dimana semua berawal. Dengan insiprasi tersebut maka Hanum memutuskan dengan beberapa sahabat dan teman dekat termasuk muallaf Wina, untuk menunaikan Ibadah Haji sebagai titik awal dari perjalanan 1400 tahun Islam sejak kelahiran-nya.
Akan tetapi mempersoalkan siapa yang lebih dominan di balik buku ini tentu saja jangan sampai membuat fokus pada isi dari buku ini menjadi terabaikan. Saya pribadi merasakan kesan melankolis dalam buku ini, bagaimana kemajuan Islam di Cordoba, Granada, Wina, Istanbul (Konstatinopel), bahkan juga Prancis, saat ini hanya meninggalkan jejak2 saja. Tetapi tentu saja sebagai generasi baru, adalah kewajiban kita untuk menunjukkan implementasi “rahmatan lil alamin” . Sesungguhnya Sang Pencipta, sebagaimana firman-Nya mempertukarkan kemajuan di antara Bangsa, dan sebagaimana sejarah mengajarkan peradaban, Rumawi, Persia, Arab, Turki, Cina, Inggris, dan saat ini Amerika saling bergantian menjadi lokomotif perubahan agar menjadi pelajaran bagi semua umat manusia.
Pada masa lalu ketika Islam tergusur dari Eropa, sepertinya ini menjadi titik balik Kristen kembali menguasai Eropa, tetapi siapa yang menduga bahwa salah satu aliran yang saat ini paling banyak mendapatkan pengikut-nya di Eropa justru Atheisme. Dalam bukunya Hanum mengutip, jika saja Paus Urban yang mencetuskan perang salib masih hidup pasti dia akan shock menyaksikan bagaimana agama yang dia yakini justru sekarang “berperang” dengan Atheisme dan bukan Islam. Meski demikian bahwa Islam dan Eropa pernah sangat serasi seharusnya dapat mengubah prasangka yang sampai saat ini masih terus ada, dengan demikian semoga semakin banyak yang memahami bahwa teror bukan-lah merupakan bagian dari Islam itu sendiri.
Dalam buku ini juga disinggung bagaimana Cordoba, yang dengan serasinya memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama serta sukses menjadi contoh terbaik peradaban Islam dan menjadi pemimpin perubahan dari abad kegelapan ke “renaissance”. Julukan “city of light” di masa lalu, bukan cuma pengandaian, melainkan memang kenyataan masa itu. Masa peradaban Islam umum-nya selalu menggunakan pendekatan yang bersahabat bagi penganut agama lain, meski diawali dengan penaklukan, sebagaimana Umar bin Khatab saat menduduki Yerusalem, atau Turki menduduki Konstatinopel, semua tempat peribadatan dijaga dan semua penganut-nya bebas dan aman untuk menjalankan kepercayaan masing2. Sangat ironis dengan pendudukan Yerusalem oleh pasukan perang salib yang berujung dengan pembantaian, atau cara2 yang digunakan Isabel dan Ferdinand dalam pembaptisan masal di Granada dan mewajibkan penggantungan daging babi di setiap toko makanan sebagai pengakuan bagi kaum Yahudi dan Islam di masa itu.
Hal2 menarik lain-nya dalam buku ini saat perjalanan Hanum ke Perancis, adalah ketertarikan Napoleon Bonaparte pada Islam setelah kepulangan-nya dari Mesir. Beberapa fakta terkait ketertarikan Napoleon antara lain adalah masuk Islam-nya Francois Menou, jenderal yang juga merupakan tangan kanan beliau, lantas penetapan “Napoelonic Code” dalam menyempurnakan undang2 terkait masyarakat yang mengambil penerapan hukum Islam sebagai sumber-nya serta pembangunan “Axe of Historique” garis imajiner dengan gerbang Arc de Triomphe dengan menghadap ke Mekkah yang berarti “jalan kemenangan” yang memang merupakan salah satu istilah umum dalam Islam. Menambahkan apa yang ditulis Hanum, sepertinya saya perlu mengingatkan “jalan kemenangan” adalah arti dari salah satu kalimat adzan, tepatnya “Hayya Ala Al Falah” yang menjadi trademark Islam selama berabad-abad.
Tak kalah mengagetkan-nya kaligrafi kufic dengan kalimat tauhid disisipkan yaitu pengakuan terhadap ke-esa-an Allah, yaitu “Tidak ada Tuhan Selain Allah”, yang banyak muncul dalam karya seni Eropa pada masa itu, termasuk lukisan bunda Maria dan bayi-nya (Virgin and The Child) yang dijelaskan oleh Hanum saat mengunjungi museum Louvre, dan bahkan dalam mantel penobatan salah satu raja Eropa, yaitu Raja Roger II of Sicily yang mereka buktikan saat Hanum dan suami-nya mengunjungi museum Schatzkammer.
Meski sempat kehilangan jejak Fatma, dan membuat saya penasaran ingin mengetahui respon tiga orang “eropa” saat di Kahlenberg, jika mengetahui kaum yang mereka tertawakan justru mengulurkan tangan persahabatan serta mentraktir mereka makan “croissant”, namun akhirnya Hanum tetap memberikan kisah penutup yang menjawab rasa penasaran tadi. Buku ini dengan cantiknya ditutup dengan kata2 Paulo Coelho dalam “The Alchemist”, yang kurang lebih mengatakan tak peduli seberapa jauh kita berjalan, semua perjalanan itu hanya akan membawa kita lebih dekat ke titik asal, tempat dimana semua berawal. Dengan insiprasi tersebut maka Hanum memutuskan dengan beberapa sahabat dan teman dekat termasuk muallaf Wina, untuk menunaikan Ibadah Haji sebagai titik awal dari perjalanan 1400 tahun Islam sejak kelahiran-nya.
1 comment:
keren reviewnya :D
Post a Comment