Ada beberapa cara
untuk jalan-jalan ke luar Indonesia, cara pertama menggunakan travel, namun
tidak enaknya, skedulnya ditetapkan oleh pengelola travel, demikian juga hotel,
pesawat, destinasi di lokasi tujuan dan akomodasi lainnya. Kalau dalam
rombongan ada yang misalnya selalu terlambat, maka semua anggota rombongan akan
terkena dampaknya. Seperti yang saya rasakan pada perjalanan hampir tiga tahun
lalu, dimana ada tiga orang nenek pemarah yang selalu tidak tepat waktu bahkan terkadang
“nyasar”. Cara kedua, beberapa komponen penting seperti hotel dan pesawat kita
pesan langsung, lalu memanfaatkan guide lokal untuk mendampingi termasuk sewa
kendaraan jika diperlukan. Cara terakhir atau ketiga, adalah semua kita lakukan
sendiri, namun risetnya memang perlu waktu lama, dan biasanya selalu ada bumbu-bumbu “nyasar”
seperti yang pernah kami alami di Shenzhen dan Macau. Bagi saya dan keluarga,
cara kedua lebih nyaman, khususnya jika waktu anda terbatas, sehingga skedul
destinasinya bisa diatur menjadi lebih fleksibel.
Sekitar jam 14:00
dengan langsung berjalan kaki kami akhirnya sampai di KLCC Suria dan segera menuju
Little Penang di Lantai tiga, untuk makan siang. Menu-menu khas disini antara lain
Char Kway Teow (lengkap dengan topping kerang kupas), Nasi Lemak, dan juga
Cendol Durian yang menggunakan topping kacang. Di lantai yang sama ternyata juga ada restoran
khas Jawa Barat alias Bumbu Desa. Belakangan kami juga menemukan Bumbu Desa di
KLIA 2.
Setelah puas
berkeliling-keliling dan sempat kaget melihat beberapa outlet, termasuk Resto
Chili’s Grill and Bar yang biasanya antri pada saat jam makan saat kunjungan
saya sebelumnya, ternyata peminatnya harus gigit jari karena aliran listrik
mati. Demikian juga saat kami ke mushalla di lantai bawah, lagi-lagi harus
kaget melihat betapa gelapnya mushalla yang kalau di Malaysia disebut
Surau. Kejutan juga menara kebanggaan
Malaysia ini bisa mengalami kondisi mati aliran listrik, meski terjadi tidak pada semua
outlet.
Karena hujan
cukup lebat, rencana berikutnya ke kawasan Bukit Bintang nyaris gagal, namun
dengan petunjuk salah satu teman, kami menyusuri lorong dibagian bawah KLCC
menuju kawasan yang terkenal dengan pusat-pusat perbelanjaan dari yang paling
sederhana seperti Sungei Wang Plaza sampai dengan yang lebih mewah seperti
Pavilion. Setengah jalan lorong ini berakhir dan lanjut ke skywalk. Ah... jadi ingat teori yang mengatakan maju
tidaknya budaya lalu lintas suatu bangsa terlihat dari perlakuan pada pengguna
lalu lintas yang paling lemah seperti halnya pejalan kaki. Buat saya Kuala
Lumpur meski belum secanggih Singapore jauh lebih ramah pada pejalan kaki
dibanding Jakarta.
Namun skywalk
akhirnya ada batasnya juga, setelah melewati Aquaria KLCC, akhirnya kami berempat harus
berlari-lari kecil di trotoar, dan melanjutkan perjalanan dari kanopi satu ke
kanopi lainnya, sementara hujan masih saja turun dengan deras.
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-3-dari-8.html
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-3-dari-8.html
No comments:
Post a Comment