Sambil menunggu
Si Sulung dan Si Bungsu berkeliling di sekitar mall, saya dan istri menikmati
kopi hangat dan roti panas di salah satu cafe di Sungei Wang alias Papparoti
Cafe Mocha. Nikmat juga memotong roti kecil-kecil lalu sebelum dilahap
dicemplungkan dulu dalam Mocha panas. Dalam perjalanan ini saya dan istri lebih
memilih menemani anak-anak daripada berbelanja.
Sungei Wang masih
seperti sat saya kunjungi dahulu, mirip dengan Pasar Baru, namun lebih bersih
dengan gang-gang yang lebih luas. Setelahnya kami mengeksplorasi Pavilion, Si
Sulung dan Si Bungsu masing-masing ingin membeli sepatu, jadi berbagai outlet
sepatu di Pavillion kami singgahi, mulai dari Vans, Puma, Nike, Adidas sampai
Onitsuka Tiger yang konon menurut Si Sulung digunakan Uma Thurman dalam film
Kill Bill.
Di kawasan belanja ini ada banyak bangunan bernama Pavilion, kami lebih fokus pada lokasi yang berhadap-hadapan dengan Sephora. Bagi saya mall sama sekali tidak menarik, jika anda berada dalam mall seperti ini, semua outletnya tidak akan jauh beda dengan mall-mall besar di Jakarta. Saya dan istri lebih suka wisata kuliner, tempat-tempat yang memiliki sejarah, atau yang memiliki nilai artistik secara fotografi.
Di kawasan belanja ini ada banyak bangunan bernama Pavilion, kami lebih fokus pada lokasi yang berhadap-hadapan dengan Sephora. Bagi saya mall sama sekali tidak menarik, jika anda berada dalam mall seperti ini, semua outletnya tidak akan jauh beda dengan mall-mall besar di Jakarta. Saya dan istri lebih suka wisata kuliner, tempat-tempat yang memiliki sejarah, atau yang memiliki nilai artistik secara fotografi.
Setelah malam
tiba hujan pun perlahan reda, kami lalu menuju Al Amar Express, memesan Briyani
Kambing dan Roti Cane plus kombinasi irisan Kambing dan Ayam Bakar yang lezat
jika dinikmati malam hari. Karena porsinya yang dahsyat, maka sisanya kami
bungkus dengan tambahan porsi nasi briyani untuk sarapan keesokan harinya. Total
makan disini termasuk yang kami bawa untuk makan pagi keesokan harinya sekitar
200 RM.
Kembali ke hotel
kami menggunakan Taksi Toyota Innova, yang ternyata supirnya berasal dari
Sumatera Barat, dan karena sudah lima belas tahun kerja di Malaysia, dia berhak
menjadi warga negara Malaysia. Dengan santainya dia menolak menggunakan argo
meski, di badan taksinya jelas tertulis tawar menawar harga melanggar hukum.
Silahkan cari taksi lain katanya, aturan tersebut tidak berlaku saat jalan
macet, tegasnya. Karena kaki sudah terasa sangat penat berjalan belasan
kilometer, maka kami mengalah membayar 25 RM untuk kembali ke hotel.
Sepanjang jalan,
supir berkeluh kesah akan stagnannya ekonomi Malaysia, sementara sebaliknya kami
melihat jalanan ramai dengan orang-orang yang berbelanja. Dia juga mengatakan
usaha di Indonesia khususnya di Medan atau Jakarta pasti akan lebih
menguntungkan ketimbang di Malaysia. Saya dan istri cuma bisa saling
berpandangan keheranan, apakah ini merupakan situasi beliau secara pribadi atau memang Malaysia secara keseluruhan.
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-4-dari-8-klcc.html
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-4-dari-8-klcc.html
No comments:
Post a Comment