Hari kedua di
Penang, karena langsung check out, saya yang sudah bersiap duluan menyempatkan
diri, jalan-jalan sendirian mengelilingi blok di sekitar hotel, sudah ada
beberapa tempat makan yang buka, termasuk Roti Canai dan Nasi Kandar. Namun
karena sudah mendekati jam 08:00 dan kami sudah harus jalan ke Penang Hill,
maka kami memilih Nasi Kandar di dekat hotel. Nasi Kandar ini merupakan "warteg" ala Malaysia, ada sekumpulan makanan yang kita pilih sebagai lauk nasi panas,
misalnya semacam gule dengan kuah gelap dan pekat, dengan pilihan daging sapi, kambing
atau ikan. Ada juga telur dadar dan semacam bakwan udang serta sayur-sayuran
yang terlihat aneh karena menggunakan kari. Untuk minumannya ada teh manis atau
teh tarik. Sebagai penutup kami memesan
roti bakar, yang alhamdulillah semuanya terasa lezat. Lantas kamipun bergerak
meninggalkan hotel dan menuju bagian tengah dari Penang Island. Sempat juga
melewati Cheong Fatt Tze - Blue Mansion yakni rumah mewah zaman dulu tepatnya abad
ke 19 yang kini menjadi salah satu hotel butik ternama di Penang dengan 38
kamar.
Penang Hill juga
biasa disebut sebagai Bukit Bendera, berjarak sekitar 11 km dari hotel dan
ditempuh selama sekitar 40 menit. Dari pelataran parkir kita menaiki trem
dengan jalur yang nyaris vertikal untuk mencapai ketinggian sekitar 800 meter.
Trem yang sekarang digunakan adalah generasi ke empat dan merupakan
satu-satunya trem di Malaysia, sedangkan saat awal trem diresmikan adalah pada
tahun 1923. Saking paginya kami berangkat, mungkin kami turis pertama yang
datang, dan otomatis trem terisi dengan sebagian besar para pekerja di bagian
puncak Penang Hill. Awalnya kami berencana berangkat ke sini saat Senin, namun
itinerary kami sesuai saran Bu Christine diubah menjadi Selasa, karena ternyata
saat Senin, lokasi ini padat luar biasa karena banyaknya pengunjung.
Saat kami
berkunjung ada banyak monyet hitam legam dengan bagian mata dikelilingi bulu
putih seakan akan kebalikan dari Beruang Panda. Bu Christine mengungkapkan keheranannya,
karena beliau sangat jarang melihat kawanan monyet tersebut, dan sambil
bercanda, beliau mengatakan mungkin kawanan ini ingin menyambut kedatangan kami.
Kami juga naik tangga ke atas dimana terdapat kuil dan masjid, sedangkan Bu
Christine menolak ikut secara halus, dan menjelaskan bahwa dia masih traumatis
dengan pengalamanan buruknya dengan turis Jerman yang mendadak meninggal kecapaian
beberapa tahun lalu. Disini juga
terdapat semacam jembatan cinta dengan kumpulan gembok berwarna pink, yang
cocok buat mengabadikan momen bagi pasangan yang tengah dimabuk asmara.
Sayang masih
belum puas mengabadikan momen disini, kami sudah harus turun kembali dan
melanjutkan perjalanan ke Kek Lok Si Temple. Kuil ini berjarak 14 km dari
Penang Hill, dan ditempuh dalam waktu sekitar 50 menit. Kuil ini merupakan kompleks kuil Budha
terbesar di Asia, dengan taman-taman yang terawat indah. Mengelilingi tempat
ini mengingatkan saya akan setting istana Kaisar dalam film-film kungfu.
Anehnya di dalam kompleks nampak beberapa pengemis yang memang sengaja
dibiarkan meminta-minta pada turis. Setelah naik turun berbagai jenis tangga
dengan keringat mengucur deras dibawah panas matahari Penang, kami menuju Turtle
Ponds, alias kolam kura-kura di bagian luar kuil.
Perjalanan
berikutnya menuju Snake Temple yang dibangun Chor Soo Kong di tahun 1850 dan
berlokasi di Lebuh Sultan Azlan Shah saat perjalanan menuju Penang
International Airport. Sebenarnya ini merupakan itinerary tambahan dan ide dari
Pak Aheng, namun melihat bagaimana Pak Aheng begitu bersemangat, maka kami
mengiyakan untuk ke lokasi ini. Di bagian tengah kuil ada semacam lokasi khusus
dimana ular-ular dibiarkan beranak pinak. Sementara di sisi kiri, ada beberapa
ular besar jinak yang dijadikan sebagai bagian dari atraksi dan sesi
pemotretan. Si Sulung langsung beraksi dengan dua jenis ular di kepala dan di
badan, satu sesi foto kami harus membayar 20 RM, sehingga total 40 RM. Buat saya
agak sedikit aneh melihat atraksi berbau komersil di kuil tersebut, sebaliknya
Kek Lok Si Temple tidak ada pungutan apapun.
Sebelum berangkat
dengan pesawat kembali ke Kuala Lumpur, kami menikmati penganan khas terakhir Penang
di Penang Kopi Tiam Restaurant and Coffee seperti Laksa, Char Kway Teow, Nasi
Lemak dan Fried Beehon, juga minuman seperti teh tarik durian dan pisang. Seperti
biasa setiap piring berputar dari anggota keluarga yang satu ke yang lain,
sehingga setiap orang bisa mencoba masakan khas Penang ini.
Selamat tinggal
Penang yang indah, keramahannya, makanannya, tempat bersejarahnya, semoga suatu
waktu kami bisa kembali ke sini, seperti keinginan Si Sulung, dua hari satu
malam sama sekali tidak cukup untuk menikmatinya. Masih ada destinasi lain seperti Butterfly Farm, Tanjung Bunga Beach, Batu Ferringhi Beach, Komtar, Blue Mansion, sewa sepeda keliling sekitar Arts Street , Masjid Kapitan Keling, Masjid Jamek, atau mengunjungi ulang Penang Hill saat pergantian sore ke malam hari.
Link berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-8-dari-8.html
Link berikutnya http://hipohan.blogspot.co.id/2017/05/kuala-lumpur-penang-part-8-dari-8.html
No comments:
Post a Comment