Lalu dengan
berjalan kaki kami kembali menuju lokasi parkir mobil yang memang diparkir
disamping Masjid Sang Cipta Rasa. Langsung masuk masjid, sebagian anggota
rombongan shalat sunat dua rakaat, sedangkan saya masuk ke bagian dalam masjid,
yang harus melalui sembilan pintu kecil dan harus masuk dengan posisi
membungkuk. Konon kabarnya agar setiap orang yang melalui sembilan pintu ini
harus membungkuk menunjukkan penghormatan ke Sang Pencipta.
Arsitekturnya
didominasi warna merah bata, dan kayu-kayu berukuran besar dengan warna gelap yang
dipasang silang menyilang. Suasana di dalamnya terasa tenang dan agak gelap, serta sekaligus mistis. Nampak beberapa jamaah yang terlihat sangat khusyuk
sedang shalat di bagian depan.
Konon kabarnya,
masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M
atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama
masjid ini diambil dari kata "Sang" yang bermakna keagungan, "Cipta"
yang berarti dibangun, dan "Rasa" yang berarti digunakan. Menurut
tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar lima ratus orang
yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam
pembangunannya, Sunan Gunung Djati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya.
Selain itu, Sunan Gunung Djati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit
yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga
merancang bangunan masjid tersebut.
Konon, dahulunya
masjid ini memiliki memolo atau kemuncak atap. Namun, saat adzan pitu (tujuh)
salat Subuh digelar untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah
ke Masjid Agung Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah. Karena
cerita tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta
Rasa digelar Adzan Pitu, yakni, adzan yang dilakukan secara bersamaan oleh
tujuh orang muazin berseragam serba putih.
Setelah puas
mengeksplorasi masjid, lalu kami menuju Kraton Kasepuhan yang hanya berjarak tak
sampai 200 meter, namun sebelum masuk kompleks kraton, kami menikmati Tahu
Gejrot dan Dawet Ayu, yang berjualan disekitar lapangan di depan Kraton.
Setelah dahaga hilang, kami segera memasuki komplek kraton.
Seorang guide
muda yang menawarkan bantuan, terpaksa kami tolak dengan ramah, maklum kami
tidak memiliki rencana berlama-lama di sini. Pagar kraton dihiasi berbagai
macam piring keramik putih dengan berbagai motif.
Keraton Kasepuhan
adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Setiap sudut arsitektur
keraton ini pun terkenal karena sejarahnya. Halaman depan keraton ini
dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton
Kasepuhan adalah Kerajaan Islam tempat para pendiri Cirebon bertahta, disinilah
pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton ini
memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi
kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta
kencana Sunan Gunung Djati. Kereta tersebut saat ini tidak lagi dipergunakan
dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Silahkan klik
untuk membaca link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2017/09/jelajah-cirebon-part-6-dari-9-makam.html
No comments:
Post a Comment