Setelah puas
melihat Kraton Kasepuhan, kami langsung menuju Makam Sunan Gunung Djati yang
berjarak sekitar 10 km dari Kraton Kasepuhan. Kami sampai sekitar jam 11:50 dan
langsung disambut seorang pria ramah di pelataran parkir yang menawarkan
bantuan sebagai guide. Kami langsung dibawa melewati rute menembus pasar. Baru
saja memasuki kawasan pasar, sekumpulan pria yang menggunakan kaos bertuliskan
Linmas dengan gaya setengah memaksa, meminta kami mengisi kotak sumbangan, sambil mengatakan
itu kewajiban bagi setiap pengunjung.
Setelah melewati pos
tersebut, lagi-lagi kami dicegat untuk dimintai sumbangan dengan setengah
memaksa, dan hal ini terus menerus terjadi sampai sekitar 5 titik perhentian. Puncaknya
perhentian sebelum gerbang makam, bahkan kami diminta berhenti satu persatu
untuk meminta sumbangan pada masing-masing orang. Saya sempat sedikit emosi
melihat cara mereka yang setengah memaksa, namun mengingat tujuan kami adalah
untuk berziarah, ya kami berusaha sabar. Masuk ke dalam makam, lagi-lagi
serombongan orang mengacungkan berbagai baskom dan kaleng. Istri menghitung
sepintas, ada puluhan baskom dan kaleng yang diacungkan pada kami dengan gaya
memaksa. Sangat menyedihkan kalau peziarah diperlakukan dengan cara seperti
ini, hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terkait destinasi
wisata Cirebon.
Sunan Gunung Djati
(diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung) atau dikenal juga
dengan nama Syarif Hidayatullah (diabadikan menjadi nama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah di daerah Tangerang Selatan) atau nama lain beliau yakni Sayyid Al-Kamil adalah
salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan
Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (seorang penguasa mesir) dan Nyai
Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).
Syarif
Hidayatullah berada di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan
dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana
(Raja Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), dinobatkan
menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.
Kami hanya sampai
pintu ketiga, dimana nampak banyak peziarah yang dipimpin seseorang mengalunkan
doa. Hanya pada Iedul Adha sembilan pintu ke makam dibuka untuk menerima
keluarga kerajaan Cirebon. Di sekitar pintu ketiga nampak puluhan makam yang
menurut guide kami merupakan kerabat kerajaan. Setelah turut berdoa, kami pun
meninggalkan makam dan minta tolong guide untuk mencari jalan lain, untuk menghindari teror gerombolan peminta
sumbangan. Di jalan ini kami sempat dikejar2 gadis cilik pengemis yang dengan
gigihnya mengikuti kami terus menerus.
Dari sini kami
langsung menuju Empal Asem dan Empal Gentong H. Apud. Kami sampai jam 12:34 saat
siang terik, suasana cukup ramai, nyaris tidak ada lagi meja tersisa. Di bagian
depan bau sedap asap sate sudah langsung merangsang indra penciuman. Kami langsung
memesan 2 porsi Sate Kambing Muda yang belakangan menurut Si Bungsu adalah sate
terenak selama hidupnya, 1 porsi Empal Asem, 3 porsi Empal Gentong dan 1 porsi Nasi
Lengko, 5 Nasi Putih, 7 Es Teh Manis, dan 1 Es Teh Tawar. Agar semua bisa
merasakan maka piring makanan berputar diantara kami sedangkan piring nasi
tetap berada di tempatnya. Total yang harus kami bayar hanya Rp. 259.600, termasuk
murah untuk porsi sebanyak dan rasa selezat ini. Makan disini menghilangkan rasa kecewa di Makam
Sunan Gunung Djati.
No comments:
Post a Comment