Sekitar jam 13:30
pesawat CRJ100 Flight GA 0264sepanjang 27 meter dan bentangan sayap 21 meter,
buatan Bombardier Canada, yang kami tumpangi pun lepas landas dari Terminal 3 Soekarno
Hatta . Agar mudah kami
sengaja tidak menggunakan bagasi, dan saya sengaja tidak membawa tripod karena
belajar dari perjalanan saat ke NTT, urusan tripod ini cukup bikin pusing dan
tak bisa dibawa ke kabin. Namun meski tas tidak masuk bagasi, 3 unit bawaan
kami ditengarai sulit masuk kabin, karena slot koper yang relatif sempit, maka persis
di kaki pesawat kru tetap memasukkan tas kami ke bagasi khusus, dan kami
diberikan kupon untuk ditukarkan lsg di kaki pesawat saat mendarat.
Begitu mendarat, saya cukup terpesona melihat kesederhanaan bandara Blimbingsari ini, dan terlihat
didesain dengan serba terbuka, untuk menghindari penggunaan AC. Mas Rudi sudah
menunggu dengan Xenia putihnya, membantu memasukkan barang dan langsung meluncur ke
Desa Kemiren. Karena sudah terlalu sore, jalan-jalan ke Taman Jawatan akhirnya
di geser ke hari terakhir.
Memasuki desa, kami langsung disambut kemeriahan pesta khitanan yang dirayakan dengan
meriah. Nampak anak-anak kecil baik lelaki ataupun wanita dirias dan menaiki
kuda. Musik diputar sekencang-kencangnya, dan mengiringi kami saat makan Pecel Pitik,
yakni ayam kampung dengan sayur kelapa parut disertai minuman temulawak.
Sayangnya kami kehabisan Uyah Asem, alias Sup Ayam Kampung dengan ramuan
Blimbing Wuluh dan cabe serta kuah rasa asam pedas.
Jika tertarik dengan wisata budaya lokal Banyuwangi, Desa Kemiren yang menjadi kediaman Suku Osing ini sangat menarik untuk dieksplorasi, silahkan cek di link sbb http://www.pikiran-rakyat.com/wisata/2017/06/27/ini-keunikan-desa-adat-kemiren-banyuwangi-403949 . Banyuwangi
sepintas masih mirip dengan kebanyakan kota kecil di Indonesia, sebagian
sudutnya terlihat seperti Batu atau Malang. Meski tidak terlihat rapi, namun
tetap terlihat cukup bersih.
Teringat saya akan cerita zaman SD mengenai asal usul Banyuwangi. Zaman dahulu Banyuwangi dipimpin Prabu Sulahkromo yang dibantu Patih Sidopekso dalam menjalankan pemerintahannya. Namun Sang Raja tertarik dengan Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung, yang kebetulan sangatlah elok parasnya.
Maka Sang Raja
menugaskan Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa
dicapai oleh manusia biasa. Tanpa curiga, Sang Patih berangkat untuk
menjalankan titah Sang Raja. Sementara Sang Raja merayu Sri Tanjung
dengan segala tipu daya, namun Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya dan tetap
setiap pada suaminya. Sehingga membuat Sang Raja menjadi berang dan akhirnya memfitnah Sri Tanjung.
Ketika Patih
Sidopekso kembali dari tugasnya, saat menghadap Sang Raja. Maka dengan
sengaja Sang Raja menyampaikan bahwa Sri Tanjung berusaha mendatangi dan merayu
Sang Raja saat Sang Patih pergi bertugas. Tanpa berfikir panjang, Patih
Sidopekso langsung menemui istrinya Sri Tanjung, dan dengan penuh kemarahan mengancam akan membunuh
istri setianya itu. Lalu diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan
kumuh.
Namun sebelum
Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung
kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaannya ia rela
dibunuh dan meminta jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila
darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong,
tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah. Sang Patih langsung menikamkan
kerisnya ke dada Sri Tanjung. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan
ajaibnya sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca
serta menyebarkan bau harum yang wangi. Patih Sidopekso menjerit kaget serta
linglung dan menjerit "Banyu Wangi ! Banyu Wangi !.”
Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-3-dari-8.html
No comments:
Post a Comment