Keesokan paginya
saya menyempatkan diri kembali ke dermaga kayu di belakang hotel, sayang pintu
belakang ke arah pantai, baru dibuka jam 05:00, sehingga momen melihat sunrise
menjadi sangat terbatas. Saya dan istri lalu lanjut berjalan-jalan ke
perkampungan nelayan di sebelah hotel, dan masuk kembali lewat jalan utama.
Setelah sarapan pagi di hotel, Mas Rudi menjemput kami sekitar jam 09:00.
Kamipun bergegas
menuju Taman Nasional Baluran, 40 kilometer ke arah utara. Dari Hotel Ketapang Indah kami melewati lokasi terminal
ferry antar pulau Ketapang – Gilimanuk dan terus melaju selama sekitar 90
menit. Jika bicara mengenai lokasi, sebenarnya kawasan ini tidak bisa dikatakan
sebagai Banyuwangi melainkan juga sebagian merupakan wilayah dari Bondowoso.
Sambil jalan Mas
Rudi cerita mobil yang baru berusia 3 tahunan ini sudah menempuh sekitar 230
ribu km. Dan sudah sekali ganti kaki-kaki, soal penggantian kaki-kaki ini baru
saya pahami setelah melihat rute Baluran yang cukup hancur mulai dari pintu
gerbang sampai Pantai Bama sepanjang sekitar 15 km.
Kenapa dinamai
Baluran, nama ini mewakili nama gunung dikawasan ini. Taman Nasional Baluran
yang memiliki luas 25.000 HA, juga sering dijuluki sebagai Little Africa,
karena 40% lahannya terdiri dari savana, sisanya berupa hutan musim, hutan
pantai, dan hutan pegunungan bawah. Baluran sendiri, dahulunya merupakan inisiatif Gubernur
Hindia Belanda dan diresmikan pada tahun 1937. Pada tahun 1980, menteri
pertanian mengumumkan kawasan ini sebagai Taman Nasional.
Melewati Savana
Bekol kami disuguhi pemandangan eksotis. Sesekali terlihat lutung alias
sejenis monyet berwarna hitam kelam sedang bergelantungan di pepohonan. Kami lalu
berhenti di Bekol View Point, menikmati Kelapa Muda dan Pisang Goreng yang
rasanya benar-benar lezat.
Mirip
seperti di Pulau Komodo, tengkorak Banteng nampak disusun berjajar dan menjadi
sasaran obyek foto wisatawan. Kami lalu jalan ketengah savana, sayang saat kami
mendekati rombongan kerbau liar, petugas segera bergegas meminta kami menjauhi
kawanan kerbau tersebut, karena sangat berbahaya.
Setelah puas
mengamati Savana Bekol juga kumpulan kera yang berkeliaran, kami lanjut ke
Pantai Bama. Dalam perjalanan sejauh mata memandang hanya rerumputan dan
pohon-pohon berukuran besar dengan cabang-cabang kering yang terlihat eksotis.
Sesekali kami melihat kawanan rusa dalam jumlah besar. Sayang kami tidak
melihat banteng, ajag, kancil, dan kucing bakau. Jika beruntung dan momennya
pas, sebagian wisatawan dapat menyaksikan pertarungan rusa jantan, kera abu-abu
memancing kepiting dengan ekornya, atau tarian burung merak di musim
kawin.
Sampai di Pantai
Bama, kami langsung ke sisi kanan masuk ke hutan bakau, dan menyusuri semacam
dermaga sampai ke pinggir laut. Akar-akar bakau yang saling terjalin
menimbulkan suasana mistis, sayangnya dermaga ini memiliki panjang yang
terbatas. Juga terlihat kawanan kera bermain-main di pinggir hutan.
Kami langsung
menuju warung yang berjejer agak kedalam dan memesan Nasi Tempong, yang
langsung kami nikmati bersama teh botol.
Sambalnya enak sekali, dan masakan khas Banyuwangi yang merupakan paduan daun
kemangi, daun kenikir, tahu, tempe, bakwan goreng jagung, ikan jambal goreng
tepung ini, langsung menghapus lelah dan haus dalam perjalanan. Sambal pedas yang digunakan merupakan asal
muasal nama tempong yang artinya sama dengan tampar, untuk menggambarkan rasa, saat indra perasa kita ditampar rasa pedas. Setelah kenyang kami kembali
menuju Ketapang.
Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-6-dari-8.html
Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-6-dari-8.html
No comments:
Post a Comment