Saat kembali menuju
Ketapang, kami mampir di Patung Gandrung Gumilir yang berada dekat dengan Watu
Dodol, yang keduanya diyakini banyak menyimpan misteri. Patung Gandrung bagi sebagian orang dianggap
dapat bergerak dan bahkan menari. Bagi saya sih tak aneh, dan membuat saya
teringat cerita misteri Patung Pastor Verbraak di Taman Maluku, Bandung. Dalam salah
satu acara TV tengah malam, setelah proses “medium”isasi, “mahluk” sekitar
lokasi tersebut menyatakan bahwa, bukan patungnya yang bergerak melainkan
proses pikiran korban yang diintervensi oleh “mahluk” tadi. Secara fisika hal ini mungkin sekali karena
apa yang dilihat mata akhirnya dibaca otak
setelah melewati proses pengubahan gambar ke sinyal listril yang bisa
di"terjemah"kan oleh otak.
Watu Dodol sendiri sebuah batu yang menjadi pemisah dua jalur jalan di seberang Patung Gandrung Gumilir. Konon batu ini memang tak dapat dipindahkan saat pembuatan jalan, dan akhirnya dibiarkan bagitu saja hingga kini. Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan dan terlihat lah restoran Watu Dodol yang kami kunjungi pada tahun 2004, saat perjalanan berkesan Bandung – Denpasar. Sayang kami tak sempat makan disini, meski saya sangat ingin.
Watu Dodol sendiri sebuah batu yang menjadi pemisah dua jalur jalan di seberang Patung Gandrung Gumilir. Konon batu ini memang tak dapat dipindahkan saat pembuatan jalan, dan akhirnya dibiarkan bagitu saja hingga kini. Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan dan terlihat lah restoran Watu Dodol yang kami kunjungi pada tahun 2004, saat perjalanan berkesan Bandung – Denpasar. Sayang kami tak sempat makan disini, meski saya sangat ingin.
Karena tengah
malam kami akan menuju Kawah Ijen, maka diputuskan untuk makan terlebih dahulu
di Rujak Soto Pak Salim. Seperti biasa selain Si Sulung, kami semua memesan makanan normal, sedangkan dia lagi-lagi kami
korbankan untuk menikmati Rujak Soto. Berbeda dengan Pecel Rawon, kali ini
ekspresi Si Sulung terlihat aneh dan tak bahagia. Bayangkan sayur-sayuran
dengan bumbu rujak disiram soto daging.
Kami masing-masing mencoba sesendok, dan sisanya menjadi tanggung jawab
Si Sulung.
Selesai makan
kami langsung menuju Osing Deles, di jalan KH. Agus Salim, Taman Baru. Sebuah lokasi favorit untuk oleh-oleh khas
Banyuwangi. Mulai dari snack khas, kaos, kain-kain daerah tersedia lengkap
disini. Tokonya menarik dan didesain secara modern, pegawainya cekatan dan
koleksi oleh-olehnya termasuk lengkap. Dari sini kami langsung menuju hotel.
Tengah malam, Si Sulung yang masih belum puas dengan Rujak Soto, akhirnya kelaparan dan memesan makanan dari hotel seperti Lumpia
Ketapang 45 ribu dan House Style Beef Burger 65 ribu.
Lanjyt ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-7-dari-8.html
Lanjyt ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-7-dari-8.html
No comments:
Post a Comment