Sebelum tidur,
kami memastikan semua perlengkapan sudah tersedia, mulai dari sarung tangan,
senter (yang memiliki tali karet untuk diikatkan di kepala), jaket, snack,
kamera, sepatu dan jangan lupa celana katun (bukan jeans). Berjalan mendaki penuh keringat selama 3 jam,
akan membuat jeans mengiritasi kulit kita, jadi sangat disarankan tidak
menggunakan jeans.
Sedikit cerita mengenai Kawah Ijen yang merupakan Kawah di puncak Gunung Ijen dan terakhir meletus pada tahun 1999. Kawah Ijen memiliki air yang bersifat asam dengan kedalaman danau 200 meter. Beberapa publikasi menyebutkan Kawah Ijen merupakan danau asam terbesar di dunia. Fenomena Blue Fire sendiri merupakan satu dari dua tempat di dunia, lokasi lain yakni di Islandia.
Sedikit cerita mengenai Kawah Ijen yang merupakan Kawah di puncak Gunung Ijen dan terakhir meletus pada tahun 1999. Kawah Ijen memiliki air yang bersifat asam dengan kedalaman danau 200 meter. Beberapa publikasi menyebutkan Kawah Ijen merupakan danau asam terbesar di dunia. Fenomena Blue Fire sendiri merupakan satu dari dua tempat di dunia, lokasi lain yakni di Islandia.
Jam 24:00 tepat, kami langsung menuju lobby, angin bertiup dingin, dan kami dengan perlengkapan lengkap berjalan sambil terkantuk-kantuk. Mas Rudi langsung meluncur menuju Paltuding, yakni pos perkemahan di kaki Gunung Ijen pada ketinggian 1855 DPL. Namun ditengah jalan kami mendadak berhenti, dengan meminta maaf Mas Rudi menyampaikan dia terpaksa tukaran dengan supir lain, karena rombongan lain ternyata tidak memiliki supir yang bisa mengendarai bis mini. Kami lanjut dengan supir lain namun tetap mobil yang sama dan akhirnya sampai sekitar jam 01:40.
Kegelapan langsung meyergap kami serta udara
berbau belerang langsung menusuk hidung kami. Mas Rudi langsung mengenalkan
kami pada Mas Nafi’an, seorang pria setengah baya bertubuh kecil namun cekatan
dan dulu sempat berprofesi sebagai penambang belerang. Beliau lalu membagi2kan
masker khusus, mirip poster kampanye perang gas zaman perang dunia dengan tiga
buah silinder, kanan, tengah dan belakang. Kuatir susah jika harus ke kamar
kecil, saya dan istri terpaksa antri cukup panjang. Akhirnya kami pun
memulai perjalanan, mendaki tanjakan berpasir, yang setiap kali maju, namun
bergeser kembali kebawah.
Setelah sekitar 1
kilometer, mulai nampak pendaki yang berguguran, mula-mula pendaki yang membawa
anak kecil, lalu pendaki-pendaki dewasa yang kembali pulang ke Paltuding dengan menggunakan kereta
versi kecil. Setelah 2 kilometer, mulai terjadi transaksi antara pembawa kereta
dengan pendaki yang keletihan, Untuk naik harus didorong dan ditarik paling
tidak tiga orang. Biayanya sekitar 600 sd 800 ribu per orang. Kehadiran mereka
membuat pendakian menjadi lebih sulit, karena para pembawa kereta ini “mengusir”
pendaki yang menghalangi jalan mereka dengan berteriak-teriak.
Kami terus
mendaki, sesekali berhenti, dan setiap kali melihat keatas, nampak barisan
cahaya senter para pendaki pelan beriring2an menuju puncak. Penampakan ini
terus terang membuat putus asa, tidak terlihat jalanan ini menjadi semakin
mudah, malah yang terasa semakin curam saja. Napas mulai memburu, keringat
mengucur deras, dan jantung berdegup lebih kencang. Mendekati 3 kilometer, Si Sulung mulai
kepayahan, meski saat SMA dia merupakan aktivis pencinta alam, kuliah 4 tahun
di Tangerang membuat fisiknya tak lagi setangguh dahulu. Akhirnya dia mulai
menyerah dan mengatakan pada kami agar meneruskan pendakian, dia lebih baik
menunggu. Saya memutuskan rombongan berhenti dahulu, dan alhamdulillah Si
Sulung akhirnya berhasil memulihkan semangatnya kembali.
Bagi yang sudah letih, ada lokasi istirahat sederhana di ketinggian 2214 dan dikenal dengan nama Pondok Bunder atau Pos Penimbangan. Sayang sekali Pondok Bunder terlihat kurang terawat meski masih terlihat gaya arsitektur Art Deco. Kenapa dinamakan Pos Penimbangan karena lokasi ini dulu adalah tempat penimbangan hasil tambang belerang yang diambil penambang di sekitar kawah. Tambahan informasi, jangan berharap dilokasi ini akan mudah menemukan toilet kecuali di Paltuding, jadi lebih baik anda menguras isi perut sebelum pendakian dan tidak minum berlebihan saat pendakian.
Setelah melewati
4 kilometer lebih sedikit selama 3 jam kurang empat menit, sampailah kami di bibir
kawah yakni di ketinggian 2269 DPL. Sedihnya
sudah langsung diterpa uap tebal belerang yang sangat memerihkan mata, namun tak terlihat apa-apa kecuali kabut tebal.
Dalam kondisi seperti ini, untuk turun kembali sekitar 1 kilometer sampai ke
lokasi api abadi sudah tidak memungkinkan, karena fajar sebentar lagi akan
muncul, dan api abadi ini tak terlihat di waktu siang. Hemm persis seperti apa
yang dikatakan Mas Nafi'an, melihat api abadi alias Blue Fire memang agak berbau
keberuntungan, tapi kalau mau memastikan lebih baik berangkat lebih awal,
misalnya memulai pendakian jam 24:00 malam.
Kami menunggu
kabut berlalu dengan harap-harap cemas, sementara dari dasar kawah satu persatu
penambang belerang dengan pikulan total 50 sd 60 kg naik dengan
terhuyung-huyung melintasi jalan terjal berbatu-batu. Tak aneh, media asing menjuluki pekerjaan mereka ini
merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia.
Lokasi tempat
kami menunggu merupakan bebatuan yang rapuh karena lebih mirip tanah liat
ketimbang batu karang. Karena itu pelataran ini juga terasa cukup licin. Salah
seorang pendaki terpeleset di depan saya, untung saja tidak berguling-guling ke
arah kawah. Setelah langit mulai cerah kami mengambil beberapa foto dan
akhirnya sekitar jam 06:30 kami mulai turun dengan perasaan sedikit kecewa.
Namun saat melewati turunan pulang, kami terkaget-kaget melihat pemandangan
luar biasa indah.
Dari lereng Gunung Ijen ini terlihat Gunung Meranti, dan dibelakangnya nampak Gunung Raung dengan warna biru tua dan diselimuti awan. Pohon eksotis nampak berbaris-baris di sela-sela kabut dan lapisan bukit, bagi saya pemandangan ini sangat lah indah. Tak berlebihan jika dianggap sekelas dengan Danau Toba atau juga Bromo. Tak habis-habisnya kami mengagumi pemandangan ini sambil terus turun ke bawah. Ternyata jalan turun cukup menyakitkan, jempol kaki menjadi nyeri karena menjadi tumpuan seluruh berat badan. Akhirnya kami sampai sekitar jam 08:00 di Paltuding.
Dari lereng Gunung Ijen ini terlihat Gunung Meranti, dan dibelakangnya nampak Gunung Raung dengan warna biru tua dan diselimuti awan. Pohon eksotis nampak berbaris-baris di sela-sela kabut dan lapisan bukit, bagi saya pemandangan ini sangat lah indah. Tak berlebihan jika dianggap sekelas dengan Danau Toba atau juga Bromo. Tak habis-habisnya kami mengagumi pemandangan ini sambil terus turun ke bawah. Ternyata jalan turun cukup menyakitkan, jempol kaki menjadi nyeri karena menjadi tumpuan seluruh berat badan. Akhirnya kami sampai sekitar jam 08:00 di Paltuding.
Lanjut ke part berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-8-dari-8.html
No comments:
Post a Comment