Setelah
sarapan dengan menu standar hotel, kami kembali menaiki bis menuju Burake
Hills, yakni perbukitan dengan patung Yesus berukuran raksasa setinggi 45 meter
di Makale yang diresmikan tahun 2015.
Patung ini mengingatkan saya akan Rio de
Janeiro, yang juga memiliki patung raksasa seperti ini. Landasan patung dikelilingi jembatan kaca
sepanjang 90 meter yang dibangun tahun 2018. Sayang kacanya sudah sedikit buram
dan konstruksi bajanya terlihat sudah mulai berkarat, sehingga pemandangan
dibawahnya terlihat kurang jelas.
Untuk masuk
kesini, selain membayar tiket sebesar IDR 50.000, pengunjung wajib mengganti
kaos kaki dengan yang disediakan petugas, sepertinya untuk menjaga agar kaca
tetap jernih. Pemandangan disini bahkan lebih luas dari 180 derajat. Harus
diakui alam Tana Toraja memang cantik sekali dengan berbagai kontur perbukitan
dan gunung.
Di beberapa
spot sangat mirip dengan Stone Garden di Padalarang, demikian juga dengan jenis
batuannya, entah apakah daerah ini dulu terkoneksi dengan laut, sebagaimana
Stone Garden. Rasanya agak menyesal juga tidak membawa drone ke sini, beberapa
penampakan di internet menunjukkan pemandangan spektakuler dari atas.
Sekitar jam
11:00, kami meninggalkan Burake, dan menuju Londa, salah satu pemakaman di tebing
batu yang merupakan destinasi makam selain Lemo dan Kete Kesu. Begitu mencapai
Londa, suasana langsung terasa mistis, udara terasa agak lembab, kami berjalan
beriring2an menuruni lembah, menelusuri tangga batu. Terlihat sebuat tebing
cukup besar, dengan berbagai peti mati yang digantung dengan konstruksi kayu di
langit2 depan gua. Bagian tengah gua dibuat ceruk kotak dengan memahat batu,
dan disusun boneka2 yang menatap aneh pada wisatawan dalam kesunyian yang
mencekam.
Boneka yang
disusun dalam ceruk batu di atas gua, terlihat sangat hidup dan berbeda dengan
boneka yang dibuat pada periode sebelumnya.
Sepertinya perajin boneka masa kini memiliki kemampuan yang jauh lebih
baik. Kesemua boneka menggunakan pakaian, juga atribut tertentu seperti kaca
mata, tongkat dan lain-lain.
Tak semua
jenazah disimpan dalam peti mati, sebagian dalam bentuk rangka yang tersebar di
dalam gua. Bagian depan gua, sudah langsung terlihat 3 buah tengkorak
seakan-akan menjaga gerbang masuk, dan terdengar penunjuk jalan melarang
pengunjung menyentuh tengkorak tersebut. Bebatuan guanya halus dan tidak
terlihat penampakan stalaktit maupun stalakmit yang jelas. Penunjuk jalan
membantu kami menyinari lorong-lorong di dalam gua dengan menggunakan lampu
petromaks yang dijunjung diatas kepala mereka.
Saya dengan ransel penuh peralatan kamera mengalami kesulitan untuk
masuk lebih dalam, lalu memutuskan untuk keluar.
Link berikutnya https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-5-dari-6.html
Link berikutnya https://hipohan.blogspot.com/2020/01/jalan2-ke-tana-toraja-part-5-dari-6.html
No comments:
Post a Comment