Saat SD entah kenapa aku sering sekali dibully, namun para pembully salah mengira, meski terlihat lembek, dari empat bersaudara justru aku yang paling keras kepala. Alhasil aku cukup sering berkelahi khususnya saat di SD namun apesnya sering kalah. Masuk SD saat berusia lima tahun, membuat fisikku jauh ketinggalan dengan teman-teman sebaya yang rata-rata lebih tua dua tahun. Ketika SMP frekuensi perkelahianku jauh menurun, namun secara fisik aku masih saja tetap kalah postur dan masih saja dibully.
Berapa kali aku minta izin ayah untuk belajar karate, namun oleh ayah yang sebenarnya penggemar film-film action seperti Bruce Lee, malah tidak diizinkan. Belakangan aku tahu dari ibu, kalau ayah keberatan, karena kuatir anak laki-lakinya menjadi susah dikendalikan dan akan mengganggu wibawa ayah sebagai kepala keluarga. Alhasil alih alih karate, aku cuma diikutkan kursus Kolintang, alat musik bambu dari Minahasa, Sulawesi Utara. Bagaimana mungkin bertarung dengan keterampilan Kolintang ?
Sampai suatu ketika, setelah meninggalkan Bandung, pindah ke Sibolga 5 tahun lalu Denpasar 5 tahun jadi total selama kurang lebih selama 10 tahun, ayah akhirnya kembali dipindah tugaskan kembali ke kota kelahiranku yakni Bandung. Paman yang kebetulan sedang berkunjung ke Bandung seperti biasa bercengkerama dengan keluarga kami. Biasanya setelah makan masakan Ibu yang sering sekali dirindukan paman, karena persis seperti masakan nenek, pembicaran akan terus berlangsung berjam-jam, terutama karena baik paman maupun ayahku adalah sosok2 humoris.
Karena di Bandung, aku kembali terlibat beberapa perselisihan, dan ada yang berakhir dengan adu pukul, namun ada juga cuma adu gertak seraya saling mengancam, aku akhirnya meminta paman yang memang berkarakter petarung mengajariku ilmu karate andalan beliau yang konon beliau pelajari di ITS.
Keesokan paginya paman langsung bersiap, dan aku diberikan dasar kuda-kuda, teknik berkelahi miring, serta jurus tangkis dan pukul/tendang. Aku berlatih keras, dan dengan cepat menguasai keempat jurus tersebut, namun paman menolak memberikan jurus tambahan, menurut paman jurus yang dia berikan untuk sementara sudah cukup. Selain jurus paman, aku mengombinasikan latihan pukulan dengan memindahkan bobot tubuh ke kepalan sesuai dengan ajaran praktisi petinju nasional Samsul Anwar Harahap.
Paman sempat wanti2 kalau aku harus hati2 dengan 4 jurus andalan tersebut, jangan sombong serta duluan cari masalah. Paman cerita pertarungan full body contact, agak beresiko, karena gigi depan beliau bahkan sempat patah. Sejak patah tersebut, paman sempat memelihara kumis tebal, agar tidak kehilangan jurus paman yang lain, alias “jurus ganteng” pemikat wanita he he.
Keempat jurus tersebut selalu ku ingat hingga kini, masih jelas rasanya kami berlatih di halaman samping, Dengan empat jurus tersebut, kepercayaan diriku kembali pulih. Anehnya sejak itu, aku malah tidak pernah terlibat baku pukul lagi, kecuali dengan abangku, sekaligus perkelahian fisik terakhir kami. Sepertinya abang cukup jerih dengan ilmu karate 4 jurusku, jadi abanglah korban pertama 4 jurus andalanku. Sejak perkelahian dengan abang, hubungan kami akhirnya lebih sebagai sahabat ketimbang abang dan adik.
No comments:
Post a Comment