Pagi-pagi setelah sarapan, kami ke taman bagian belakang, kejutan, melihat betapa taman-nya menyatu dengan pantai
berpasir halus dan kontur landai serta terlihat kapal-kapal yang berlayar
dikejauhan. Sepertinya Hotel Bintang Flores ini beruntung memiliki lokasi yang indah.
Suasananya mirip dengan Sheraton Senggigi di Lombok.
Sekitar jam 08:30 kami check out lalu bersama Nana Stan memasukkan
barang-barang ke bagasi dan meluncur menuju pelabuhan. Di depan pelabuhan kami
berhenti di sebuah toko kecil, dan membeli beberapa perlengkapan dan snack,
seperti happy tos, keripik singkong “ku suka”, teh botol, dan beberapa kaleng
minuman ringan. Lalu kami menuju kapal, dan hati saya terasa berdebar, entah
petualangan apa pula yang akan kami hadapi kali ini.
Sejujurnya saya mengira kapal yang kami gunakan adalah jenis Phinisi yang
sudah dimodifikasi, namun melihat tidak ada nya tiang kembar berbentuk huruf
“Y”, sepertinya kapal Rana Leba demikian nama kapal kami, bukan jenis Phinisi
karena hanya memiliki satu tiang dibagian depan. Kalau dibandingkan dengan Phinisi
yang kami lihat disekitar pelabuhannya, ukurannya juga agak tanggung, terbukti
untuk berjalan di gang samping kapal, perut sampai bergesekan dengan pagar
kapal, uniknya gang kanan lebih sempit dari gang kiri.
Kapal yang baru berusia 1 tahun ini, memiliki 2,5 lantai, setengah lantai
terbawah untuk ruangan mesin yang ternyata berukuran cukup besar alias
sekitar 4x mesin mobil. Lantai 1 terdiri dari bagian depan dimana kita bisa
duduk dan kadang menikmati santapan. Lalu kamar penumpang #1, kamar penumpang #2,
ruang mesin yang dibagian atasnya merupakan ruang kapten dengan jendela
menghadap laut lepas, kamar mandi, ruang istirahat ABK, dapur dan meja serta
kursi panjang yang kadang juga digunakan untuk menikmati santapan. Lantai
paling atas, tersedia sepasang kursi malas untuk berselonjor yang membelakangi
jendela ruang kapten.
Kapal ini memiliki 3 personil, Kapten Amal pria 45 tahunan, keturunan Bajo
dengan penampilan sangar berbadan gempal, bekas luka sayatan di dagu, serta tatto mata angin di tengkuk,
Nana Ilik pemuda 18 tahunan berbadan kurus dengan anting sebelah dan rambut
keriting kepirang-pirangan, dihiasi tatto mulai dari betis, lengan bahkan
sampai leher, dan yang terakhir Kraeng
Herman pria kurus dengan usia 50 tahunan, berwajah pasrah dan pendiam. Jujur
saja, kalau model Kapten Amal dan Nana Ilik ada di Jakarta, anda tidak akan
bisa membedakannya dengan preman Tanjung Priok. Namun dalam perjalanan ternyata
semuanya sangat sopan dan ramah.
Nana Stan menawarkan minuman air kemasan bermerk Ruteng, sambil bercanda, siapa saja yang minum air kemasan produksi Flores ini, akan selalu merindukan Flores kelak. Ruteng sendiri adalah salah satu kota di Flores selain Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Maumere, dan lain-lain. Minuman ini lah yang terus menerus kami konsumsi selama di kapal.
Nana Stan menawarkan minuman air kemasan bermerk Ruteng, sambil bercanda, siapa saja yang minum air kemasan produksi Flores ini, akan selalu merindukan Flores kelak. Ruteng sendiri adalah salah satu kota di Flores selain Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Maumere, dan lain-lain. Minuman ini lah yang terus menerus kami konsumsi selama di kapal.
Lalu kapalpun mulai berlayar, eh baru saja meninggalkan pelabuhan, mendadak
Kapten Amal dengan wajah gusar memerintahkan kapal kembali ke pelabuhan.
Ternyata ada mis koordinasi, Kapten Amal mengira kami hanya 1 malam 2 hari,
sehingga perbekalan sama sekali tidak mencukupi, karena sesuai skedul
seharusnya 2 malam 3 hari. Lalu Kraeng Herman kembali turun untuk berbelanja
tambahan ikan, beras dan sayur-sayuran. Mendadak anak-anak mengingatkan bahwa
akan lebih aman jika kami juga
menyediakan mie instan, sehingga saya kembali ke toko, dan memesan beberapa bungkus
mie instan berbagai rasa serta juga pop mie.
Tak lama Kraeng Herman pun kembali dari belanja persediaan makanan, kamipun
memulai perjalanan kembali, eh malang tak dapat ditolak kali ini mesin kapal kemasukan air, sehingga harus
diperbaiki. Setelah dua jam tanpa hasil, akhirnya Mas Kris sebagai koordinator
mengirim speed boat untuk kami pakai menuju Pulau Kanawa. Kami meninggalkan
nyaris semua perlengkapan dan hanya membawa kamera, pakaian renang, dompet dan
perlengkapan snorkling. Jarak Kanawa ke Labuan Bajo kurang lebih 14 kilometer,
sepanjang jalan nampak pulau-pulau kecil lainnya berserak memenuhi kawasan ini.
Tak lama sekitar jam 11:00 Pulau Kanawa yang berukuran 32 hektar, pun terlihat
jelas, khususnya dermaga kayunya yang panjang dan lurus, dan memungkinkan kapal
untuk langsung merapat tanpa beresiko jangkarnya merusak koral tempat ikan-ikan
hias bersarang. Kita bisa langsung
snorkling dari dermaga tanpa harus khawatir sepatu katak kemasukan pasir, hal
yang sering terjadi jika kita memulai snorkling dari pantai.
Karena pelampung tertinggal, maka Nana Stan menyewa satu pelampung
tambahan, kebetulan memang hanya istri yang masih mememerlukan pelampung. Berbeda dengan Pulau Rubiah di Banda Aceh yang
ikannya berwarna warni, di Pulau Kanawa yang menyongsong kami kebanyakan ikan
berwarna hitam. Setelah snorkling sepuasnya sampai menjelang siang, kami segera
berkunjung ke restoran sekaligus resort satu-satunya di Pulau Kanawa sambil
menunggu kapal kami selesai. Kejutan buat kami hanya untuk 2 Water Melon + 1
Sprite, biaya yang harus dikeluarkan yakni Rp. 123.900. Sempat saya lihat dari
14 bungalow, ada lima yang sedang digunakan wisatawan, nama dan negara asalnya
terpampang jelas, England, Poland, Italy dan France serta negara Eropa lainnya
Pulau Kanawa yang memiliki dua bukit kecil ini tadinya dikelola oleh
pengusaha asal Italia, dia lalu membuat 14 bungalow yang tersebar di pantai.
Sementara di pasir putih dia juga menempatkan kursi istirahat dilengkapi
payung, termasuk dermaga yang memudahkan kapal untuk menambatkan tali. Tersedia juga kapal regular yang datang dan
pergi setiap hari untuk memudahkan transportasi penumpang dan barang ke dan dari
pulau yang tenang dan indah ini. Jika anda beruntung saat snorkling, anda dapat
menyaksikan manta ray, kuda laut, dll. Nana Stan mengatakan dulu untuk masuk
kepulau ini ada pungutan Rp 100.000 per orang, namun sejak pengelolaannya
beralih ke pemerintah, pungutannya menjadi Rp 100.000 per kapal.
Karena kapal kami masih juga belum jelas kapan bisa menjemput, sementara
waktu makan siang telah tiba, Nana Stan konfirmasi ke Mas Kris, dan segera
mendapatkan lampu hijau untuk makan siang di restoran atas biaya travel. Namun
menunya banyak yang tak tersedia, karena menunggu kiriman pasokan dari Labuan
Bajo, sehingga kami hanya memesan nasi goreng, dan tak jelas berapa yang harus
dibayar Nana Stan, dugaan saya mengingat mahalnya harga disini, sepertinya
untuk makan siang berlima setidaknya sekitar Rp. 500.000. Plan B seperti ini lah termasuk menyediakan speed boat tambahan, yang menunjukkan apakah travel yang anda pilih memiliki kualitas dan mampu menyediakan solusi pada situasi seperti ini.
silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-8-dari.html
No comments:
Post a Comment