Karena harus memutari Pulau Komodo untuk masuk ke gerbang Loh Liang, maka
kami harus menempuh rute keliling sekitar 34 km, sedangkan kalau secara garis
lurus jaraknya cuma 12 km. Dalam perjalanan ini kami sengaja melewati Manta
Point dengan harapan bisa snorkling. Daerah ini memang sering disinggahi Manta,
karena banyak mengandung tanaman laut yang disukai Manta, sayangnya meski
Kapten Amal sudah berdiri di buritan dengan tangan melindungi mata, seraya
memicingkan pandangan layaknya Clint Eastwood di film besutan Sergio Leone,
masih tak terlihat satu Ikan Mantapun. Kami akhirnya beristrirahat di kamar,
dan terbangun kaget saat wajah Kapten Amal mendadak muncul di balik jendela
kamar seraya berteriak Lumba Lumba !, sayang saat saya keluar Lumba Lumbanya
sudah pergi, namun istri sempat melihat dari jendela kamar kawanan sekitar
empat Lumba-Lumba yang sempat diabadikan dengan video Nana Stan.
Setelah berlayar sekitar 3,5 jam, sekitar jam 10:30 kamipun sampai di Pulau
Komodo. Udara sudah cukup panas, karena tidak mendapatkan tempat di dermaga,
kami merapat ke kapal lain, dan naik ke lantai dua, lalu menyebrang ke lantai
dua kapal lain dan menapakkan kami untuk pertama kali di Pulau Komodo.
Saat berjalan menuju Pulau melintasi dermaga, nampak seorang ranger
memanggil kami agar segera mendekat, karena seekor Komodo muda sedang terlihat
jelas berada di sekitar pantai. Musim saat kami datang cukup bagus secara
cuaca, namun untuk melihat Komodo justru kurang pas, karena kebetulan saat
musim kawin dimana Komodo betina menghilang untuk persiapan bertelur sementara
Komodo jantan ikut-ikutan hilang mencari Komodo betina.
Kami dibantu seorang ranger dengan senyum ramah yang belakangan ternyata
pemuda muslim setempat yang sedang liburan kuliah di salah satu perguruan
tinggi di Yogya. Sayang saya tak ingat namanya, yang jelas beliau lahir di
Pulau Rinca, lalu menghabiskan masa remaja di Pulau Komodo. Jangan dikira Pulau Komodo ini sepi, justru ini lah salah satu dari 15 pulau diantara 228 an pulau di
daerah ini yang berpenghuni. Di bagian depan saja berjejer belasan warung dengan
jualan utama mie instan dan kelapa muda.
Ranger muda tersebut menggunakan kayu sepanjang 1,5 meter dengan ujung
berbentuk huruf “Y”. Beliau mengatakan ide kayu tersebut mereka peroleh dari
seekor Komodo yang sekarat dengan leher terkunci pada kayu berbentuk “Y”. Sejak
itu para ranger memilih menggunakan kayu seperti ini untuk menghalau Komodo
yang mengganggu wisatawan. Namun jika Komodo berjumlah banyak, kayu ini akan
sulit digunakan untuk membela diri, itu sebabnya 1 ranger hanya pas untuk 5
wisatawan, setiap kelipatan 5 disarankan untuk menggunakan ranger tambahan.
Setelah menjelaskan legenda Pulau Komodo, kami lalu dibawa melalui rute
soft trekking sejauh 3,38 km melintasi kolam kecil buatan yang sengaja dibuat
untuk mengundang binatang-binatang hutan datang, sehingga Komodo dapat
menggunakan lokasi ini untuk mencari makanan. Lalu hutan dimana sesekali
terlihat babi hutan hitam, rusa dan kotoran kerbau berukuran besar dari mulai
yang sudah mengering sampai yang masih fresh from the oven. Sementara di langit
burung gagak beterbangan berkaok-kaok. Juga tak lupa kami berkunjung ke sarang Komodo
yang biasanya menggunakan bekas burung Maleo, untuk mengubur telor-telornya.
Saya dan Si Sulung berusaha sehati-hati mungkin khususnya bila ada gerakan
tiba-tiba atau suara-suara mencurigakan, apalagi semalam sebelumnya Nana Stan
menunjukkan foto wisatawan Singapura yang diserang Komodo saat menolak
menggunakan ranger. Konon kabarnya Si Wisatawan menemui ajal saat kembali ke
Singapura. Penciuman Komodo yang tajam sempat membuat istri kuatir karena
berkunjung saat datang bulan, saking tajamnya penduduk setempat terpaksa
mengubur jenazah sedalam mungkin agar jenazah tidak disantap oleh Komodo. Ranger
juga mengingatkan kami untuk tidak bergerak atau berlari saat melihat Komodo,
karena mereka memiliki insting untuk mengejar.
Populasi Komodo menurut ranger, relatif tetap, karena adanya sifat kanibal
seperti memangsa komodo tua, atau membunuh Komodo muda, yang biasanya setelah
tiba saatnya menetas kembali didatangi induknya untuk disantap. Itu sebabnya
Komodo yang baru menetas biasanya mengikuti instingnya untuk hidup di
pohon-pohan sampai cukup kuat untuk menjelajahi daratan. Kami juga melewati
sarang Kepiting Batu, yang membuat lubang di dalam tanah, dan memang tidak
dijadikan santapan oleh warga, karena rasanya tidak enak. Dalam hutan kami masih menemukan sekitar tiga
Komodo muda, namun tidak ada yang berukuran benar-benar besar.
Setelah kembali ke pantai, kami menemukan Komodo berusia sekitar 35
tahunan, berbadan begitu kurusnya sehingga meski dari dekat masih tetap lebih
mirip akar kayu. Menurut ranger, Komodo ini memang salah satu kakinya patah,
dan sebelah matanya buta akibat pertarungan, kini dia cenderung menyendiri agar
tidak disantap Komodo muda. Kebetulan Komodo ini sering berkunjung ke dapur
para ranger, karena tertarik bau makanan. Pada musim kawin seperti ini, Komodo tua yang
sudah seperti tulang berbalut kulit ini menjadi penyelamat Ranger yang
kesulitan menemukan Komodo yang ingin diperlihatkan pada wisatawan. Lalu kami
kembali ke kapal jam 12:00 siang saat matahari sedang terik2nya.
Kapal langsung meluncur menuju Pink Beach atau disebut sebagai Pantai Merah
oleh para penduduk, yang berjarak sekitar 6 km dari Loh Liang, sambil kami
menyantap makan siang. Selain ikan goreng, kadang Kraeng Herman memasak Capcay,
Tumis Tempe, Terong Goreng, Mie Goreng sayang sambal yang digunakan sambal
botol, pasti akan lebih mantap jika ada sambal terasi, namun mungkin di kapal
seperti ini unsur kepraktisan juga diperlukan.
Untuk ke pantai Nana Stan menyewa sebuah perahu kecil, saya istri dan Si
Bungsu akhirnya berlabuh di Pantai yang pasirnya memiliki kandungan pasir yang
berasal dari pecahan karang merah, sehingga dari jauh memang terlihat berwarna
pink.
Lalu kami kembali masuk kapal, dan saya sempat terkejut saat istri tiba-tiba minta tolong karena pintu geser kamar kami di kapal sempat lepas, dengan sigap Nana Stan langsung membantu, dan memasangkan kembali pintu pada relnya. Kejadian yang sama berulang di malam hari, kali ini kamar Si Sulung dan Si Bungsu, segera Kapten Amal turun tangan dan membuka workshop kecil di sebelah ruang mesin, dengan segera suara palu Kapten membahana di seluruh ruangan kapal. akhirnya tengah malam pintu geser kembali terpasang, kali ini dengan dudukan baru.
silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-10.html
No comments:
Post a Comment