Sampai juga akhirnya kami di Gili Lawa Darat sekitar jam 18:00, sebuah
pulau tak berpenghuni yang bertetangga dengan Pulau Komodo dan dipisahkan selat
kecil, Nana Ilik lalu melempar jangkar
depan dan belakang. Suasana nampak ramai dengan sekitar 9 sd 10 kapal yang
membawa penumpang untuk melihat sunset, Kami berempat hanya dapat melihat
dengan rasa ingin tahu apa kiranya yang mereka saksikan diatas sana. Nampak
manusia-manusia jalan beriringan mendaki di kejauhan, dan ditandai dengan
sederet temaram sinar senter beriringan mendaki ke bukit setinggi hampir 160
meter tersebut.
Gili Lawa sebenarnya terdiri dari dua Pulau, yang lebih dekat ke Komodo
dinamakan Gili Lawa Darat sedangkan yang lebih dekat ke laut lepas dinamakan
Gili Lawa Laut. Pulau yang berjarak sekitar 35 km dari Labuan Bajo dan 22 km
dari Pulau Kanawa ini memang sering dijadikan sebagai gerbang masuk Pulau
Komodo, khususnya yang akan meneruskan penjelajahan di pagi hari, karena siapa
sih yang mau masuk ke Pulau Komodo di malam hari.
Kami naik ke lantai paling atas kapal, bersandar di kursi malas, menatap
bintang-bintang dilangit, dan juga cahaya-cahaya kecil dari rombongan pendaki
yang menuruni bukit kembali ke kapal setelah puas menikmati sunset. Angin laut
bertiup sepoi-sepoi, udara terasa sejuk. Dari bagian belakang kapal, tercium
bau harum masakan Kraeng Herman yang ternyata memiliki keahlian memasak yang
khusus meski hanya menggunakan dapur minimalis dan peralatan sederhana.
Lamat-lamat terdengar suara musik dibawa angin dari kapal-kapal sekitar
kami. Nampak sebuat perahu khusus diving mendekat, lalu sekumpulan orang
meloncat dengan punggung terlebih dahulu menyentuh air, cahaya dari pakaian
selam mereka menerangi lautan membentuk pola-pola asik yang menyebar ke
berbagai tempat. Susah sekali mengatakan apa yang kami rasakan, rasanya seperti
tidak berada di alam nyata. Sekitar jam 22:00 malam kami pun beristirahat,
meski mesin kapal mati, Kapten Amal menyalakan genset, agar kami dapat
menikmati AC dari kedua kamar khusus wisatawan yang disediakan di kapal ini. Aliran listrik ini juga kami gunakan untuk re-charge power bank, kamera, S3 Gear dan handphone.
Subuh dinihari, sekitar jam 04:00 Nana Stan membangunkan kami, dan segera
bersiap mendaki pada jam 05:00. Rute yang kami tempuh cukup terjal, namun
kontur tanahnya masih memungkinkan kami dengan mantap mendaki bukit setinggi
160 meter melalui rute pendakian sepanjang sekitar 700 meter, beberapa kali
istri berhenti karena kehabisan napas, dan kami disalip beberapa kelompok
pendaki lainnya Namun Nana Stan dengan sabar mengatakan santai saja, tidak usah
terburu-buru. Sekitar 40 menit kemudian, kami sampai diatas, mengatur napas dan
menyiapkan diri menunggu matahari yang akan terbit.
Saat kami mulai bisa melihat dengan dengan jelas, saya terkesima dengan pemandangan yang
bisa kami lihat, sejujurnya saat itu saya berpikir apakah masih perlu ke Pulau
Padar, jika saja Gili Lawa Darat sudah begini indahnya. Sayup-sayup terdengar
Si Sulung meyenandungkan lirik
The Hills Are Alive With The Sound of Music
With Songs They Have Sung For a Thousand Years
Ya tak salah lagi, Sound of Music lah yang membuat kami terkenang saat
kamera menangkap Julie Andrews berputar putar menari di perbukitan indah pada
adegan pembuka film buatan 1965 pemenang
5 Academy Awards tersebut.
silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-9-dari.html
No comments:
Post a Comment