Kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Padar untuk mengejar trekking sunset,
dan sampai pada jam 15:30. Karena panasnya cuaca, Kapten Amal menyarankan kami
untuk menunggu setidaknya sampai jam 16:00 sebelum memulai pendakian. Sebuah kapal berukuran nyaris 6x kapal kami, tampak mengapung dengan dua speed boat
terikat. Di bagian belakang berjejer sekitar 20 tabung oksigen. Sepertinya ini
kapal khusus untuk diving, aktivitas yang belum pernah kami sekeluarga lakukan.
Dari perhentian kapal, terlihat tangga kayu yang ternyata dibangun secara
mendadak saat Arief Yahya Menteri Pariwisata datang berkunjung, lumayan meski
cuma sekitar 8 sd 10 meter dari total pendakian. Juga terlihat dermaga portabel yang sepertinya juga dibuat dalam rangka kunjungan beliau. Tanpa menggunakan kapal kecil,
karena air sedang pasang, ternyata kapal kami dapat merapat ke dermaga
terapung.
Sayang saya lupa setup S3 Gear saya, Pulau Padar satu2nya yang tidak sempat
saya ukur jarak trekking dan ketinggiannya. Sampai di Puncak kami memerlukan
sekitar 60 menit, dengan beristirahat beberapa kali, untuk mengambil nafas dan
merekam keindahan alam sekitar. Kalau merefer ke Google Earth sepertinya tinggi
bukit dimana kami bisa melihat tiga teluk di Pulau Padar kira-kira sekitar 300
meter diatas permukaan laut. Pendakian
ke sini cukup sulit, karena karakter tanahnya yang berpasir dan berkrikil, akan
lebih berbahaya saat turun, Di beberapa titik pendakian tidak bisa hanya dengan
dua kaki, saya bahkan harus menggunakan kedua tangan juga sehingga lebih mirip
merangkak. Bagian belakang kamera Canon saya sempat cacat membentur batu.
Nana Stan sempat cerita pengalamannya, saat membawa sekumpulan pemuda dan pemudi dari Jakarta.
Ternyata melebihi para pemudinya dalam soal penampilan, setiap pemuda justru membawa
minimal tiga baju untuk bersalin saat sesi foto. Setelah pendakian di Subuh
dinihari, mereka masih terus menerus foto bergantian hingga jam 09:00, sampai
Nana Stan akhirnya kehilangan kesabaran dan gusar lalu menegur mereka, karena
perjalanan seperti ini juga memerlukan asupan cukup, selain ketat terhadap
skedul.
Nana Stan yang lulusan Sastra Inggris dari Universitas Saraswati Denpasar,
cerita juga pernah diminta wisatawan mendaki Pulau Padar saat malam hari namun
dia menolak. Penolakan ini karena meski
sudah sangat jarang ditemukan, dahulunya di Pulau ini juga terdapat Komodo dan
ular berbisa. Saat malam hari, tentu diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi.
Di bagian atas bukit, kami berkesempatan merekam beberapa pemandangan yang
indah sekali. Untuk sesi foto keluarga, Nana Stan yang memiliki jiwa artistik
lebih baik dari Oom Marianus, berusaha mencari ketinggian yang pas menggunakan kamera handphone saya. Untuk mengindari bayangan akibat backlight, kamera sudah saya set
dengan flash on. Hasilnya saya gunakan sebagai latar ucapan Selamat Iedul Fitri
tahun 2017 dan banyak mengundang pujian serta mengira saya menggunakan drone
untuk mendapatkan hasilnya.
Kuatir melihat jalur trekking yang sulit, dan kami kebetulan tidak pula
membawa senter, Si Sulung menyarankan untuk turun sebelum gelap. Maka kami pun
bergegas turun, saya sempat terpleset demikian juga istri, tangan, serta betis
sempat luka luka tergores karang. Berbeda dengan Gili Lawa Darat yang memiliki
rute alternatif, di Pulau Padar rute jalan turun dan naik relatif sama. Saya menggunakan teknik memilih batu injakan
yang diajarkan Si Sulung saat melangkahkan kaki, serta menggunakan cara turun
menyamping agar pijakan lebih kuat.
Sesampainya di kapal, nampak Kapten Amal sedang asik memancing Ikan Bawal dari
bagian buritan kapal dengan umpan potongan ayam, yang rencananya akan diolah
untuk makan siang kami keesokan harinya. Bawal yang dipancing disini memiliki empat
totol hitam dibagian perut, dia di sisi kanan dan dua di sisi kiri.
silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-11.html
No comments:
Post a Comment