Monday, September 01, 2014

Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari

Meski Ahmad Tohari menggambarkan Srintil nyaris sempurna sebagai seorang wanita, namun pada awal bab 5, Ahmad Tohari menyebut betapa pada tahun 1964, menjelang pemberontakan PKI, situasi Dukuh Paruk justru sebaliknya, alias  tetap cabul, sakit dan bodoh. Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH) merupakan bagian kedua dari trilogi Ahmad Tohari.

Dalam LKDH, Rasus yang menjadi tokoh utama di RDP, nyaris lenyap. Perginya Rasus dengan sekaligus mengabaikan Srintil, menyebabkan tokoh utama kali ini bergeser pada Srintil. Rasus pergi begitu saja setelah menyatakan "Aku tidak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk". Namun LKDH disisipi konflik-konflik yang lebih menarik, dan sebagaimana ironi yang muncul di RDP, lagi-lagi Ahmad Tohari, mengakhiri LKDH dengan ironi lainnya. Saya menilai LKDH lebih baik dan juga lebih matang dibanding RDP. 

Apa sih arti Lintang Kemukus, dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah bintang berekor alias komet. Dalam masyarakat tradisional, hal-hal seperti ini dapat dianggap sebagai pertanda alam. Pada 1965 memang dilaporkan adanya penampakan Lintang Kemukus yang menurut pandangan tertentu merupakan pertanda pergantian kepemimpinan dengan cara kekerasan. 

Bagi saya buku kedua dari trilogi ini menunjukkan perkembangan  kematangan menulis dibanding buku pertama, namun tentu saja  Ahmad Tohari tetap hadir dalam LKDH dengan stylenya yakni "melukis alam". Meski berbeda gaya dengan Pramoedya Ananta Toer, namun tidak aneh kalau trilogi ini digadang gadang sekelas dengan karya puncak kwartenariusnya Toer, yakni Bumi Manusia.  




Perhatikan bagaimana Ahmad Tohari melukis alam dengan kalimat "Di tanah Dukuh Paruk semua pepohonan mulai mengurangi kerimbunan daun. Beringin di puncak kuburan melepaskan ribuan daun kuning bila angin berhembus. Daun pisang dan keladi muda tumbuh lebih sempit. Rumpun-rumpun meranggas. Alam telah mengajar mereka bahwa untuk mempertahankan hidup mereka harus hemat air selama kemarau. Yang agak menyendiri adalah pohon mangga dan bungur. Keduanya malah mulai berbunga ketika kemarau menjelang". Ahmad Tohari juga menyinggung berbagai tokoh dalam lukisan alamnya yang entah apakah masih bisa kita lihat saat ini seperti burung celepuk, sikatan, keket, bluwak, trinil, kacer, cabak, branjangan, dan hahayaman.

Salah satu bagian paling menarik adalah saat menggambarkan bagaimana ilmu hitam memainkan peran. Adegan saat Dilam berkonsultasi dengan  Tarim digambarkan dengan memikat dan terkesan kelam serta mistis. Begitu juga ketika  Marsusi "mengerjai" Srintil saat pentas, digambarkan dengan menegangkan, meski akhirnya anti klimaks, alias terjadinya perdamaian antara Marsusi dengan kerabat Srintil. 

Ahmad Tohari, lagi-lagi mengenalkan kita pada budaya unik masa lalu, seperti tradisi Gowok. Dimana wanita yang berprofesi layaknya Srintil memiliki tugas untuk terlibat dalam "transformasi" seorang bocah menjadi lelaki dewasa. Komunikasi antara Waras, si pemuda yang menjadi obyek gowok dengan Srintil digambarkan dengan menyentuh. Ahmad Tohari, harus diakui memang seorang pencerita yang handal. 

Novel legendaris ini akhirnya melengkapi mosaik situasi diIndonesia, saat saat kerusuhan di 1965, dimana begita banyak masyarakat yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, terseret dalam aneka tuduhan serius yang berakhir dengan perampasan hak hak mereka sebagai manusia, begitu juga Srintil. Akhir kata, mengamati begitu hidup dan detailnya penggambaran DUkuh Paruk, menyisakan pertanyaan buat saya, apakah dukuh ini benar-bena ada ? dan siapakah sebenarnya Ahmad Tohari di dalam setting Dukuh Paruk di alam nyata. 

No comments: