Tuesday, April 28, 2015

Belajar dari Elang

Seorang teman sharing sebuah cerita yang sangat inspiratif yakni belajar dari elang. Tak perduli seberapa buruk situasi yang kita hadapi saat ini, namun hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal2 baru, maka kita akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yg terpendam, mengasah keahlian kita sepenuhnya dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Elang merupakan salah satu jenis unggas yg mempunyai umur paling panjang di dunia, dpt mencapai 70 thn. Tapi utk mencapai umur itu seekor elang hrs membuat keputusan besar pd umurnya yg ke 40. Saat umur 40 thn, cakarnya mulai menua, paruh menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dada. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga menyulitkan saat terbang. Saat itu, ia hanya mempunyai 2 pilihan yakni 

  • Menunggu kematian atau 
  • Menjalani proses transformasi yg menyakitkan selama 150 hari.

Saat melakukan transformasi itu, ia harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung utk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal di sana selama proses berlangsung. Pertama, ia hrs mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dr mulutnya, dan kemudian menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yg baru tumbuh itu, ia hrs mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yg baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yg panjang dan menyakitkan.

5 bulan kemudian, bulu2 yg baru sudah tumbuh. Ia mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, ia mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi. Dalam kehidupan, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yg besar untuk memulai sesuatu proses pembaruan, berani membuang kebiasaan2 lama yg mengikat, meskipun itu adalah sesuatu yg menyenangkan dan melenakan.

Moral of the story cerita diatas adalah 

"Tantangan terbesar untuk berubah ada di dalam diri sendiri dan kitalah sang penguasa atas diri kita sendiri" 

Story #3 of 3 - Steve Jobs Stanford Speech "Death"

Berikut cerita ke tiga, yakni tentang kematian,  sekitar enam tahun sebelum kematian yang sebenarnya. Jobs menyimpulkan bahwa kesungguh2an dalam hidup dapat dibentuk dengan mengingat kematian, sbb;

My third story is about death. When I was 17 I read a quote that went something like "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself, "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "no" for too many days in a row, I know I need to change something. Remembering that I'll be dead soon is the most important thing I've ever encountered to help me make the big choices in life, because almost everything--all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure--these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart. 

About a year ago, I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctors' code for "prepare to die." It means to try and tell your kids everything you thought you'd have the next ten years to tell them, in just a few months. It means to make sure that everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes. 

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope, the doctor started crying, because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and, thankfully, I am fine now. 

This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept. No one wants to die, even people who want to go to Heaven don't want to die to get there, and yet, death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because death is very likely the single best invention of life. It's life's change agent; it clears out the old to make way for the new. right now, the new is you. But someday, not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it's quite true. Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma, which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice, heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalogue, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stuart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late Sixties, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and Polaroid cameras. it was sort of like Google in paperback form thirty-five years before Google came along. I was idealistic, overflowing with neat tools and great notions. Stuart and his team put out several issues of the The Whole Earth Catalogue, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-Seventies and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath were the words, "Stay hungry, stay foolish." It was their farewell message as they signed off. "Stay hungry, stay foolish." And I have always wished that for myself, and now, as you graduate to begin anew, I wish that for you. Stay hungry, stay foolish. 

Jobs meninggal dunia di rumahnya pada tanggal 5 Oktober 2011 akibat komplikasi kanker pankreas. Apple telah kehilangan seorang visioner dan jenius yang kreatif, dan dunia telah kehilangan seorang sosok yang luar biasa. Beberapa orang di Apple cukup beruntung mengenal dan bekerja bersama Steve dan mereka telah kehilangan seorang sahabat dan guru inspiratif. Steve meninggalkan sebuah perusahaan yang hanya ia yang bisa membangunnya, dan semangatnya akan selalu menjadi dasar perusahaan Apple. Kematiannya diumumkan oleh Apple dalam sebuah pernyataan sebagai berikut:

"Kami sangat berduka mengabarkan bahwa Steve Jobs telah meninggal dunia hari ini.
Kecerdasan, semangat dan energi Steve adalah sumber inovasi berharga yang memperkaya dan memperbaiki hidup kita semua. Dunia menjadi lebih baik karena Steve. Cinta terbesarnya adalah untuk istrinya, Laurene, dan keluarganya. Kami berduka untuk mereka dan semua orang yang tersentuh oleh perjuangannya yang luar biasa."

Jobs meninggalkan Laurene, istrinya selama 20 tahun, tiga anak mereka dan Lisa Brennan-Jobs, putri Jobs dari hubungan sebelumnya.

Story #2 of 3 - Steve Jobs Stanford Speech "Love and Loss"

Berikut cerita kedua, disini Jobs bercerita tentang bagaimana tragisnya kehidupan beliau yang justru dipecat dari perusahaan yang dia besarkan sendiri. Begitulah kehidupan, kadang yang terjadi pada kita adalah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka. Seseorang bisa meluncur naik layaknya roller coaster kehidupan, dan menghunjam ke bumi beberapa saat kemudian. 

Namun dengan kebesaran jiwanya lagi-lagi Jobs menemukan betapa hal ini justru merupakan kesempatan baginya untuk mendapatkan seorang pendamping hidup. Lalu Jobs kembali berjuang dan akhirnya kembali ke Apple layaknya pahlawan.  

My second story is about love and loss. I was lucky. I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents' garage when I was twenty. We worked hard and in ten years, Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4,000 employees. We'd just released our finest creation, the Macintosh, a year earlier, and I'd just turned thirty, and then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew, we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so, things went well. But then our visions of the future began to diverge, and eventually we had a falling out. When we did, our board of directors sided with him, and so at thirty, I was out, and very publicly out.

What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating. I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down, that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure and I even thought about running away from the Valley. But something slowly began to dawn on me. I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I'd been rejected but I was still in love. And so I decided to start over. 

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods in my life. During the next five years I started a company named NeXT, another company named Pixar and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the world's first computer-animated feature film, "Toy Story," and is now the most successful animation studio in the world. 

In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT and I returned to Apple and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance, and Lorene and I have a wonderful family together. 

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful-tasting medicine but I guess the patient needed it. Sometimes life's going to hit you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love, and that is as true for work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work, and the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking, and don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it, and like any great relationship it just gets better and better as the years roll on. So keep looking. Don't settle.

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.com/2015/04/story-3-of-3-steve-jobs-stanford-speech.html

Story #1 of 3 - Steve Jobs Stanford Speech "Connecting The Dots"


Kali ini saya ingin berbagi dengan salah satu tokoh IT yang paling dikenal di dunia, meski saya bukan penggemar produk Apple, dan juga tak memiliki satu pun produk Apple, namun bagi saya Jobs mengajarkan banyak hal. Bagian ini merupakan bagian pertama dari tiga cerita yang dibawakan oleh Jobs saat berpidato di Stanford 12 Juni 2005. Di bagian pertama, beliau mengingatkan kita, bahwa apa yang terlihat sebagai "kesialan" kadang justru menjadi bagian dari sukses kita di masa depan. Dengan kata lain kita tidak tahu apa yang baik bagi kita. 

Thank you. I'm honored to be with you today for your commencement from one of the finest universities in the world. Truth be told, I never graduated from college and this is the closest I've ever gotten to a college graduation. 

Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories. The first story is about connecting the dots. 

I dropped out of Reed College after the first six months but then stayed around as a drop-in for another eighteen months or so before I really quit. So why did I drop out? It started before I was born. My biological mother was a young, unwed graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife, except that when I popped out, they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking, "We've got an unexpected baby boy. Do you want him?" They said, "Of course." My biological mother found out later that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would go to college. 

This was the start in my life. And seventeen years later, I did go to college, but I naïvely chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life, and no idea of how college was going to help me figure it out, and here I was, spending all the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back, it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out, I could stop taking the required classes that didn't interest me and begin dropping in on the ones that looked far more interesting. 

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms. I returned Coke bottles for the five-cent deposits to buy food with, and I would walk the seven miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example. 

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer was beautifully hand-calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and sans-serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating. 

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me, and we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts, and since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. 

If I had never dropped out, I would have never dropped in on that calligraphy class and personals computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college, but it was very, very clear looking backwards 10 years later. Again, you can't connect the dots looking forward. You can only connect them looking backwards, so you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something--your gut, destiny, life, karma, whatever--because believing that the dots will connect down the road will give you the confidence to follow your heart, even when it leads you off the well-worn path, and that will make all the difference.

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/story-2-of-3-steve-jobs-stanford-speech.html

Berani Tampil Beda

Kebanyakan orang lebih senang melakukan apa yang dilakukan orang lain, di Indonesia jika sebuah warung Ubi Cilembu sukses maka, keesokan harinya akan ada puluhan warung dengan jualan sejenis bermunculan layaknya jamur di musim hujan. Dalam terminologi umum, hal ini disebut dengan "me too", namun bisnis dengan cara "me too" umumnya seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami kompetisi yang keras. Jadi tidak ada jalan lain, anda harus bernai tampil beda, berikut ini beberapa inspirasi yang pernah saya baca.  

Sapi ungu

Dalam buku Bong Chandra “Unlimited Wealth”, dia menjelaskan soal Sapi Ungu, bayangkan kita sedang melihat lukisan ratusan sapi, kira2 sapi mana yang membuat kita tertarik ? Jika semua sapi mirip maka tidak seekor sapi pun yang akan kita lihat secara khusus.  Tetapi jika ada seekor Sapi Ungu, diantara sapi sapi lain, maka tentu saja perhatian kita akan terbetot dengan sapi yang berbeda. 

Perancis membuat perbedaan

Dalam buku 5 menara A. Fuadi,  bercerita sbb; Sosok tokoh Alif memenangkan lomba spanduk, karena disaat yang lain menggunakan bahasa Inggris dan Arab, kelompok Alif justru menggunakan bahasa prancis. 

“Nous Sommes la grande famille de la classe 1 B, Pondok Madani, Indonesie”

Cuci 24x7

Ketika Bong Chandra, membuat tempat pencucian mobil, untuk membuatnya berbeda dengan yang lain, maka Bong Chandra membuat usahanya berjalan sbb
  • 24x7
  • Jika hujan setelah dicuci boleh cuci gratis 1x. 
Tempat pencucian mobilnya menjadi salah satu yang paling ramai dikunjungi orang. 

Restoran “Ramai

Dalam salah satu kolomnya  di Majalah Tempo, Bondan Winarno menulis sbb; Salah seorang rekan-nya membuka bisnis restoran, tidak ingin mengambil resiko kalau2 selama berbulan bulan harus membayar sewa tempat, bayar gaji karyawan dan bahan baku tanpa kehadiran tamu yang sebenarnya, maka dia memutuskan tetangga disekitarnya mendapatkan makan siang gratis dengan syarat memarkirkan kendaraannya di depan restoran. 

Situasi  “penuh” ini memancing tamu yang sebenarnya datang, dan restoran tsb akhirnya sukses melanjutkan bisnisnya meskipun tanpa makan siang gratis setelahnya. 

Kini giliran anda, jika anda punya warung Indomie, diantara 20 warung lainnya, strategi apa yang perlu anda buat untuk bisa menonjol ?. Akhir kata tampil beda, memang penting untuk menarik pelanggan saat pertama kali, akan tetapi kualitas lah yang menjaga agar pelanggan datang kembali. 

Thursday, April 16, 2015

3 Hal yang Tak Pernah Kembali *

Waktu.
Perkataan.
Kesempatan.

Kita tak bisa memutar kembali waktu, tapi kita bisa menciptakan kenangan dengan waktu yang masih kita punya dan memanfaatkan waktu yang ada, walau sebentar, untuk menciptakan kenangan yang berarti.

Time is free but it’s priceless, you can’t own it but you can use it. You can’t keep it but you can spend it.

Kita tak bisa menarik ucapan kasar yang keluar dari mulut kita atau statement yang telah membuat harga diri kita lebih penting dari pada menariknya kembali dan mengucapkan maaf. 
Kita tak bisa menghapus caci maki yang telah kita katakan hingga membuat orang lain marah, terluka atau menangis.

Tapi kita bisa membuat apa yang selanjutnya keluar dari mulut kita menjadi lebih banyak pujian dibanding caci maki, lebih banyak syukur dan terima kasih dari pada keluhan atau komplain, dan lebih banyak nasihat positif dari pada sulutan amarah. 

Kita tak bisa mendapatkan kembali kesempatan yang sudah kita lewatkan. Tapi kita bisa menciptakan peluang untuk membuat kesempatan-kesempatan lain datang dalam hidup kita dengan lebih memperhatikannya.

* kiriman teman, yang menarik untuk direnungkan 

Apa kata Islam mengenai Waktu ? 
  • Sesungguhnya seseorang yang tak dapat mempergunakan waktu adalah orang yang merugi. 
  • Dunia dan semua kesenangan di dalamnya hanya ada selama waktu yang ditentukan. 
  • Dan takutlah kamu akan suatu waktu dimana seseorang tak dapat menggantikan yang lain. 
  • Ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk maupun berbaring. 
Apa kata Islam mengenai Perkataan ?
  • Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah dengan diiringi sesuatu yang menyakitkan.
  • Berbicaralah dengan perkataan yang baik, khususnya pada kaum miskin, anak yatim dan kerabat. 
  • Orang yang beriman dan bertakwa adalah orang-orang yang mengucapkan perkataan yang benar. 
  • Berserulah dengan hikmah, yakni perkataan tegas dan benar yang membedakan antara yang hak dan bathil. 
  • Berbicaralah dengan kedua orang tuamu dengan perkataan yang mulia. 
Apa kata Islam mengenai Kesempatan ?
  • Selagi di dunia, jadikanlah hidup ini sebagai kesempatan untuk mencapai akhirat.
  • Lakukan lah terbaik saat kesempatan sebelum kesempitan. 





3 Hal Dalam Hidup yang Tak Boleh Hilang *

Kehormatan.
Kejujuran.
Harapan.

Jika kita tidak memiliki uang, dan masih memiliki kehormatan, maka bersyukurlah karena kehormatan merupakan salah satu kekayaan yang masih berharga di mata orang lain. Jika kita telah kehilangan kehormatan dan ingin memulihkannya, maka pergunakanlah kejujuran untuk meraih kehormatan kita kembali karena orang-orang yang jujur adalah orang-orang yang terhormat.

Jika kita telah kehilangan kehormatan karena ketidakjujuran kita;

Milikilah harapan bahwa suatu saat mereka akan mengerti alasan dibalik semuanya. 
Milikilah harapan bahwa kita bisa memperbaiki kehormatan meski dengan susah payah. 
Milikilah harapan bahwa meski banyak orang yang takkan lagi percaya karena kita pernah melakukan hal-hal yang tidak jujur, pada waktunya nanti, mereka akan melihat sendiri upaya kita.

Teruslah bergerak hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah berjaga hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

* kiriman teman, yang menarik untuk direnungkan 

Apa kata Islam mengenai Kehormatan ?
  • Balaslah setiap penghormatan kepadamu dengan lebih baik atau setidak-tidaknya sama. 
  • Maryam ibunda Nabi Isa, adalah salah satu sosok yang menjadi contoh dalam menjaga kehormatan. 
Apa kata Islam mengenai Kejujuran 
  • Buatlah perjanjian dengan cara yang jujur. 
  • Allah akan melimpahkan rahmat bagi orang-orang jujur dan lurus tanpa menyimpang dari kebenaran. 
Apa kata Islam mengenai Harapan ? 
  • Berdoalah padaNya dengan rasa takut (tidak diterima) dan penuh harapan.
  • Harta dan keluarga adalah perhiasan dunia, tapi tak ada harapan terbaik disisi Allah selain amal baik.  




3 Hal Dalam Hidup yang Paling Berharga *

Keluarga.
Sahabat.
Cinta.

Kekayaan bukan soal berapa banyak harta yang anda miliki.
Kekayaan adalah apa yang masih anda miliki saat anda kehilangan semua harta anda.
Jika anda kehilangan semua harta anda, ingatlah bahwa anda masih memiliki keluarga. 
Jika anda kehilangan semua keluarga anda, ingatlah bahwa anda masih memiliki sahabat.

What is the difference between blood and friend? 
Blood enters the heart and flows out, 
but friend enters the heart and stay inside. 

Jika anda kehilangan semua keluarga anda dan tak ada satu pun sahabat, maka ingatlah bahwa anda masih memiliki cinta untuk mendapatkan mereka kembali, untuk mengenang masa-masa indah bersama mereka dan untuk menciptakan persahabatan yang baru dengan kehangatan kasih yang mampu anda berikan.

If love hurts, then love some more.
If love hurts some more, then love even more.
If love hurts even more, then love till its hurt no more.

* kiriman teman, yang menarik untuk direnungkan 

Apa kata Islam mengenai Sahabat 
  • Nabi Muhammad tak pernah lepas dari sahabat-sahabatnya, Nabi mencintai mereka, demikian juga mereka mencintai Sang Nabi.
  • Dilarang bersahabat dengan kaum yang suka menjelek-jelekkan agama Allah. 
  • Bersahabatlah dengan orang-orang yang selalu mengingat dan mengharapkan ridhaNya. 
Apa kata Islam mengenai keluarga ?
  • Pada keluarga Nabi Ibrahim dan Keluarga Imran lah menjadi contoh keluarga terbaik.
  • Perintahkankan keluarga mu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya. 
  • Peliharalah keluargamu dari api neraka. 
Apa kata Islam mengenai Cinta ? 
  • Jangan lah berlebih lebihan dalam mencintai dunia. 
  • Cintailah sesama dengan tulus layaknya kaum Anshor mencintai Muhajirin. 
  • Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil. 
  • Orang-orang yang mencintai keimanan, mereka inilah yang berada di jalan yang lurus.
  • Orang beriman adalah orang-orang yang mencintai Allah. 
  • Allah menjadikan manusia memiliki rasa cinta pada keluarga, harta, kendaraan, tanah, dll, namun di sisi Allah lah sebaik-baiknya tempat kembali. 





Tuesday, April 14, 2015

Jalan-jalan ke Lombok Part #1 of 5 : Kenapa Harus Lombok ?


Saat saya masih SD dan tinggal di Denpasar, teman ayah yang tinggal di Lombok alias Om Urip mengajak kakak dan abang saya liburan. Sepulang dari sana mereka bercerita banyak hal menarik, namun saya yang tidak turut bersama mereka hanya bisa melongo dan membayangkan seandainya saja saya turut bersama mereka. Saat dewasa, hal ini masih terus membekas, meski saya sempat  berhenti sebentar di Pelabuhan Lombok dalam rangka tugas merancang IT Blue Print di PT ASDP tahun 2001-2002. Dalam hati saya bertekad suatu saat nanti saya akan pergi jalan-jalan ke Lombok dan menuntaskan obsesi terpendam sejak SD.



Akhirnya bulan Juli tahun 2007,  saya dan istri memutuskan untuk jalan2 ke Lombok. Saya melakukan survey dan lalu memutuskan untuk menginap di Qunci Villas, sebuah hotel yang konon dimiliki orang asing dan berjarak beberapa kilometer dari Pantai Senggigi yang menjadi salah satu icon Lombok. Ternyata hotel ini adalah pilihan turis asing, menginap disini bagi turis lokal rasanya menjadi minoritas. Modelnya seperti cottage yang mengingatkan saya akan Sanur Seaside, tempat pilihan kami sekeluarga untuk berenang saat masa kecil di Denpasar. Arsitekturnya unik, karena sebagian mebelnya adalah merupakan bagian dari bangunan, ya betul meja yang merupakan bagian dari dinding, atau bangku beton yang juga merupakan bagian dari dinding, dan yang paling parah adalah shower untuk mandinya, he he berada di tengah halaman belakang dan sama sekali tanpa dinding.




Kami berangkat dari Husein Sastranegara Bandung Minggu, tanggal 1 Juli 2007, flight departure sekitar jam 06:00, jadi Subuh dinihari kami sudah langsung menuju Bandara, dan setelah menunggu beberapa saat kami pun masuk ke dalam pesawat. Sejujurnya karena tidak menggunakan travel, kami sama sekali tidak punya bayangan akan kemana saja kami saat berada di Lombok. Pesawat transit di Surabaya, dan kami sarapan sekitar jam 08:00 pagi di sebuah resto di area Bandara, dengan masakan ala Madura. Lantas sambil menunggu pesawat kembali terbang kami menghabiskan waktu di sebuah toko buku di area Bandara.




Lalu pesawat kembali mengudara dan akhirnya mendarat di Lombok pada jam 11:30, maka kami langsung menggunakan taxi menuju Qunci Villas. Setelah meninggalkan Mataram yang sepintas mirip dengan Denpasar namun terlihat lebih berantakan. Di Mataram terdapat beberapa Pura besar, meski pemeluk Hindu minoritas disini, namun sama seperti kotanya, Pura-Puranya juga terlihat agak kurang terawat.  Dari sini  kami langsung menuju lokasi sepanjang Pantai Senggigi yang terlihat asri.   Istri berhenti sebentar di Warung Padang untuk membeli beberapa porsi nasi bungkus, Aqua, dll yang rencananya akan kami santap di hotel. Ratusan pohon kelapa seakan akan melambai menyambut kami seperti boneka kucing merah yang biasa di pajang di toko2 warga keturunan. Anehnya taxi terus melaju, dan kami meninggalkan hotel2 asri di kawasan Senggigi menuju daerah yang lebih sepi, ternyata Qunci Villas memang bukan terletak di keramaian Senggigi melainkan diantara perkebunan kelapa dan peternakan kambing/sapi milik penduduk. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-2-of-5-qunci.html

Jalan-jalan ke Lombok Part #2 of 5 : Qunci Villas, Senggigi dan Jimbaran


Suasana Qunci Villas sangat tenang sekaligus jauh dari mana-mana, sementara taxi sangat sulit diperoleh, walhasil saya dikomplain istri, karena ini bukan lah Lombok yang ada dalam bayangannya. Lalu kami langsung menyantap nasi bungkus dengan lahap, dan mandi bergantian di kamar mandi “ajaib” ala Qunci Villas, sekitar siang kami sudah kembali segar dan mulai menjelajahi sekeliling hotel. Cottage kami termasuk di jejeran belakang, di antara taman-taman, dan berada di samping kantor administrasi. Cottage-cottage yang lebih bagus berada lebih dekat ke pantai. Karena berlantai dua, lantai atas diisi beberapa turis asing namun tangganya diakses lewat jalan luar, sehingga sama sekali tidak mengganggu penghuni lantai bawah, dinding yang menghadap kamar mandi “ajaib” juga ditembok untuk menjaga privacy penghuni lantai bawah.

Siang hari kami ke kota tanpa agenda yang pasti, dan langsung mencari sate bulayak. Jika anda menduga bulayak adalah sejenis biawak, ya.. anda benar, maksudnya benar-benar salah, karena bulayak artinya adalah lontong. Tempat nya agak dipinggiran Mataram dan dikelilingi pohon-pohon besar nan rindang. Ada beberapa warung disitu yang menjual sate bulayak. Ukuran satenya kecil-kecil dengan bumbu yang lebih mirip kuah kalio, serta lontong panjang runcing yang dibungkus daun yang biasa dipakai untuk membuat ketupat alias daun aren. Rasanya memang sedap agak pedas, sayang tempatnya kurang mendukung. Nampak beberapa anjing kurap berkeliaran disekitar kami. 




Saat bingung menentukan agenda selanjutnya, di pinggir pantai menjelang sore hari, kami bertemu seorang pria kekar bertelanjang dada usia 40-an dengan badan kehitaman di bakar matahari. Kalau dilihat sepintas sosoknya cukup bikin “keder” ehh ternyata saat bicara beliau yang ternyata bernama Edie Sur sangat ramah dan sopan. Edie Sur mengaku berprofesi sebagai Tour Guide dan pernah menjadi Tour Guide di Bali lalu kembali ke Lombok yang memang kampung halamannya. Beliau menawarkan paket jalan-jalan, termasuk ke Mataram untuk mencoba Ayam Taliwang di restoran aslinya, Kampung Sasak, Kampung Kerajinan Tenun Lombok, Kampung Kerajinan Keramik , Pusat Oleh-Oleh Khas Lombok, Tanjung Aan, Pantai Kuta, Pura Batu Bolong, Pantai Senggigi dan yang paling menarik adalah kunjungan ke tiga pulau Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan termasuk sewa perahu nelayan, dan peralatan snorkling dengan harga bersahabat. Akhirnya kami sepakat dengan Edie Sur, dan berharap perjalanan kali ini bisa menjadi salah satu petualangan terbaik kami.


Untuk makan malam kami terpaksa memesan taxi beberapa jam sebelumnya, dan Mataram cukup jauh, pula kami tidak tahu persis dimana dan apa yang sebaiknya menjadi incaran kuliner turis lokal. Akhirnya mengikuti saran supir Taxi tepat jam 18:30 kami makan di kawasan Jimbaran (ya namanya persis seperti Jimbaran di Bali).  Dari lokasi parkir menuju kumpulan kursi yang berjejer di tepi pantai persis di pinggir gelombang, kami melewati bak-bak stereofoam berisi berbagai mahluk laut yang siap dimasak, setelah memilih udang, ikan, cumi-cumi serta memilih proses masaknya tak lupa kami memesan kangkung ca, dan kami pun menuju pantai.





Berbeda dengan Jimbaran Bali, Jimbaran ala Lombok ini saat itu cuma satu restoran, namun masakannya cukup oke, sambil menunggu makanan datang kami menikmati suguhan kacang goreng asin.  Sayangnya beberapa anjing berkeliaran sehingga membuat suasana kurang nyaman. Jika di Jimbaran Bali kita bisa melihat pesawat takeoff dan landing dengan lampu berkedip kedip yang khas serta pengamen dengan suara berkualitas internasional, di Jimbaran Lombok hanya ada desauan angin dan suara gelombang yang datang dan pergi. Pulangnya kami mampir di toko souvenir membeli beberapa kaos khas Lombok. Walhasil secara umum hari pertama berjalan dengan tidak nyaman, hotel yang sangat tenang dengan dominasi wisatawan asing, kamar mandi yang aneh, pantai di belakang hotel yang meski indah namun berkarang, serta makan jauh dari mana-mana.  Saat perjalanan pulang, kaget juga melihat Lombok terlihat sepi, berbeda dengan kawasan Kuta, Bali yang riuh-rendah, Senggigi sepertinya lebih cocok untuk pasangan yang berbulan madu. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-3-of-5-pura.html

Jalan-jalan ke Lombok Part #3 of 5 : Pura Batu Bolong, Kampung Keramik, Kampung Tenun, Kampung Sasak, dan Tanjung Aan.


Senin, tanggal 2/7/2007 selesai breakfast jam 06:45, kami langsung menuju depan hotel, Edie Sur dan seorang supir sudah menunggu dengan menggunakan Kijang Kotak yang agak berbau bensin kami langsung tancap gas ke Pura Batu Bolong di Senggigi. Dalam perjalanan kami berhenti sebentar untuk foto dengan latar belakang Pantai khas Senggigi yang agak melengkung ke dalam dan terlihat sangat asri dari ketinggian bukit-bukit di sekitarnya. Jam 07:50 kami memasuki Pura, setelah membayar retribusi dan menggunakan selendang. Memang tidak seindah Tanah Lot, namun komposisi karangnya cukup unik.




Lantas kami langsung menuju Kampung Keramik dan sampai sekitar jam 9:30, disini selain membeli beberapa vas bunga, anak-anak juga mencoba membuat asbak buatan sendiri dengan langsung menggunakan alat-alat pembuat keramik lantas diberi nama. Sepertinya anak-anak senang sekali melihat bagaimana proses pembuatan berbagai kerajinan keramik, lalu melihat proses pembakarannya, finishing dengan berbagai cat warna warni dan lalu berkunjung ke tokonya di bagian depan yang ternyata cukup besar. Saat pembuatan keramik, saya jadi ingat film Ghost yang sangat terkenal dengan adegan Demi Moore dan Patrick Swayze (yang buat saya sulit dibedakan dengan Kurt Russel). Meski cukup artistik, sepertinya hasil akhirnya sedikit di bawah Bali yang memang penduduknya seakan dilahirkan untuk menjadi seniman.




Lalu kami menuju Kampung Tenun, disini setiap motif merupakan “hak milik” keluarga tertentu, dan bagi yang sudah mahir, dengan mudah mereka bisa membedakan kain tenun mana yang merupakan buatan keluarga siapa. Harganya cukup mahal, namun untuk kerajinan tenun ini, sepertinya Bali harus mengakui kelebihan Lombok. Secara umum tenunannya sangat rapi dan indah, dan tentu saja harganya cukup mahal. Di bagian depan nampak beberapa pemintal sedang beraksi, untuk satu kain ini mereka bisa membuatnya puluhan hari, jadi pantas saja harganya mahal, bayangkan benang demi benang disusun untuk menghasilkan satu kain tenun.




Menjelang siang, kami menuju Tanjung Aan, akhirnya sekitar jam 11:30 kami menjejakkan kaki salah satu pantai terbaik di Lombok, namun belum sepopuler Senggigi, jalan menuju lokasi ini masih berupa kumpulan krikil yang dipadatkan, dan sama sekali tidak ada hotel apapun disini. Di pinggir jalan menjelang masuk pantai, nampak beberapa hiasan2 patung di sepanjang jalan, dan menurut Edie Sur pada tempat ini rencananya akan dibangun Novotel.  Namun mengingat jauhnya dari mana-mana, kemungkinan ini akan menjadi hunian eksklusif bagi yang menginginkan ketenangan . 




Siang hari di pantai tentu saja kurang nyaman, namun angin yang kencang dan pemandangan indah membuat kami merasa terhibur. Salah satu yang unik disini adalah ukuran pasirnya yang besar-besar nyaris sebesar merica. Anak-anak nelayan berlarian disekitar kami yang sambil menawarkan pasir yang sudah mereka kemas dalam botol Aqua.  He he saya senyum2 sendiri memikirkan ironi yang terjadi, bayangkan mereka menawarkan pasir yang justru sedang kami injak. Untuk mencari spot yang bagus, kami menaiki tebing yang sepertinya merupakan titik terbaik untuk memandang keseluruhan Tanjung Aan.




Dari sini sambil menuju Mataram, kami singgah di Kampung Suku Sasak (suku yang mendominasi 80% penduduk di Lombok) di Desa Rambitan.  Lokasinya dipinggir jalan dengan gerbang yang dibuat dengan bahan-bahan alam. Suasananya sangat asri dengan warna-warna natural.  Komunitas suku ini menyambut kami dengan ramah dan kami diajak berkeliling melihat berbagai macam bangunan seperti gudang beras (yang tiang-nya memiliki ornamen yang menyulitkan tikus masuk), rumah penduduk, kandang ternak, dll.  Rumah penduduknya berlantai tanah yang keras dan licin, ternyata mereka menggunakan kotoran sapi untuk memoles lantai tersebut. Si sulung membeli sarung putih dengan corak benang emas, yang dia gunakan untuk sholat hingga kini. Bagi yang suka makan Ayam Taliwang Bersaudara, atap bangunan khas Sasak ini mengingatkan kita akan papan nama restoran tersebut.




Rumah tradisional Suku Sasak ini hanya memiliki 2 ruangan yakni bagian depan dan bagian dalam. Bagian depan bagi laki-laki dan wanita yang sudah dewasa,  sedangkan bagian dalam diperuntukkan bagi wanita belum menikah. Ruangan dalam ini memiliki letak yang lebih tinggi dibandingkan dengan ruangan depan, sehingga biasanya ada sekitar tiga anak tangga untuk masuk ke ruangan dalam.




Dari sini kami langsung menuju Restoran Ayam Taliwang yang menjadi pionir masakan sejenis di berbagai tempat di Indonesia. Restorannya terlihat agak tua dan kusam. Tanpa ragu-ragu saya dan Si Sulung yang memang suka masakan pedas langsung memesan yang paling pedas, namun pedasnya memang luar biasa, dalam sekejap mulut rasanya terbakar, air mata bercucuran, rambut segera basah dengan keringat, meski sudah meminta minum tambahan, namun tetap saja kami berdua tidak kuat. Solusi akhirnya, saya cemplungkan potongan-potongan ayam di piring saya ke kobokan yang saya ganti dengan air minum, barulah “penderitaan” tersebut berakhir.  



Menjelang jam 16:00 akhirnya kami sampai di Hotel namun sempat berhenti kembali di salah satu warung untuk memesan makan malam, sesampai di hotel duduk-duduk menatap matahari tenggelam dan rasanya sungguh sangat nikmat, setelah Isya  kami kembali duduk di pinggir kolam seraya anak-anak membuat beberapa foto dengan teknik bulb

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-4-of-5-gili.html

Jalan-jalan ke Lombok Part #4 of 5 : Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air


Selasa, tanggal 3/7/2007, di pagi hari setelah sarapan, jam 08:00 kami sudah bersiap-siap mengenakan pakaian renang dan menunggu Edie Sur menjemput kami.  Kali ini dia berada pantai di belakang hotel karena kami tidak menggunakan Kijang seperti kemarin, namun sebuah perahu nelayan bernama “Hercules”. Setelah didorong empat pria dewasa menuju pinggir pantai, maka tepat jam 08:25 kami pun langsung meninggalkan pantai Lombok menuju ketiga Gili.




Cuaca sangat cerah, dan angin bertiup kencang, permukaaan air terlihat warna warni antara biru dan hijau, kami menyusuri pantai menuju ketiga Gili yang artinya pulau, nampak beberapa karang berukuran besar yang mirip dengan Batu Layar di Pangandaran. Tak lama mulai terlihat lamat-lamat sosok Gili Trawangan dengan pantainya yang putih bersih dan laut yang berwarna hijau cerah dan juga biru. Setelah berlabuh tepat jam 09:30 kami langsung menyewa Cidomo, yakni kereta kecil yang ditarik kuda. Pengalaman pertama saya mengelilingi pulau kurang dari sehari. Di Gili Trawangan kita bisa melihat berbagai pantai dengan mengitari pulau. Meski di beberapa tempat nampak banyak bule dan tentu saja warung minuman keras, namun karena disini dilarang menggunakan kendaraan bermotor suasananya tetap relatif tenang.




Setiap Gili, memiliki ciri khasnya sendiri, Gili Air memiliki mata air yang dapat digunakan seluruh penghuni pulau, Gili Meno memilki danau garam yang eksotis meski tidak memiliki air, dan Gili Trawangan memiliki perbukitan yang dengan sendirinya memiliki pemandangan terbaik diantara ketiga Gili lainnya. Setelah puas naik Cidomo, kami menuju pantai untuk memulai snorkling, Edie Sur yang benar2 paham situasi di sini menentukan suatu titik yang dilintasi arus sehingga perjalan snorkling kami seakan akan menelusuri jalan tak terlihat yang dapat dilalui hanya dengan diam. Rute ini juga relatif aman dari speed boat, dan karang2 bawah airnya luar biasa indah.




Memulai snorkling dari pantai sangat berbeda dengan dari perahu, pasir-pasir yang masuk ke sepatu katak sangat menyiksa, dan membuat kaki baret-baret dan perih ketika terkena air laut. Sedangkan kalau dari perahu meski lebih mudah, namun saat naik ke perahu sama sekali bukan hal yang mudah, karena perahunya tidak menyediakan tangga.




Puas berenang dan melihat berbagai macam ikan, kami lalu mengunjungi semua Gili dan lalu minum air kelapa sambil berselonjor di warung milik penduduk setempat, wah benar-benar nikmatnya liburan.  Setelah makan siang di warung milik penduduk, kami kembali menuju hotel, dan tepat jam 13:00 "Hercules" berlabuh di pinggir pantai. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-lombok-part-5-of-5-hari.html

Jalan-jalan ke Lombok Part #5 of 5 : Hari terakhir dan kembali pulang

Rabu, tanggal 4/7/2007, pagi hari kami keluar hotel dan menyusuri pantai kearah kanan, meski jarang masih ada beberapa hotel di sisi ini, salah satunya nampaknya milik group Blue Bird. Anak-anak bermain di pasir pantai dan lalu berenang. Suasana sangat tenang, hanya ada kami langit dan laut sepanjang mata memandang. Saat kembali pulang saya membeli miniatur perahu tradisional untuk melengkapi koleksi miniatur perahu kami dirumah.  




Sebelum lupa, meski pantai depan hotel kurang asik karena banyak karang, namun dari pantai Qunci Villas  ini kita dapat menikmati keindahan Gunung Agung yang berdiri angkuh, dan kalau cuaca cerah terlihat jelas dengan puncak yang menjulang diselimuti awan. Begitu juga sunset terlihat dengan jelas di lokasi ini. 




Siang hari kami ke pusat penjualan oleh-oleh khas Lombok, khususnya mutiara. Jangan berpikir kami membeli mutiara indah berharga mahal, sejujurnya saya dan istri bukan penggemar perhiasan, bagi kami mutiara cacat dan sempurna bahkan tidak ada bedanya. Setelah belanja berbagai mutiara, kami kembali makan siang di Ayam Taliwang, kali ini belajar dari pengalaman sebelumnya saya dan Si Sulung meminta pedas biasa saja.




Sore hari kami bersantai sambil menunggu sunset dan saya menyelesaikan novel Hario Kecik  “Badak Terakhir” yang memang asik sekali dibaca. Setelah maghrib, kami kembali makan di salah satu restoran di pusat keramaian Senggigi. Keesokan harinya Kamis, tanggal 5/7/2007 sekitar jam 13:00 kami akhirnya pulang dan kembali ke Bandung. Liburan yang nyaris gagal ini akhirnya diselamatkan sosok bernama Edie Sur. Entah dimana sekarang beliau berada, namun pada jalan-jalan kali ini saya belajar bahwa di lokasi-lokasi tertentu Tour Guide akan sangat memudahkan perjalanan kita.  



Masih banyak tempat menarik yang belum sempat kami kunjungi seperti Hutan Kera di Pusuk, Danau Segara Anakan, Bukit Nipah (salah satu spot terbaik di Lombok)  dan tentu saja Gunung Rinjani. Khusus Gunung Rinjani, Edie Sur mengatakan saat itu diperlukan waktu tiga hari pulang dan pergi. Hal ini diakibatkan base camp yang bisa dicapai dengan mobil tidak berada di ketinggian sehingga untuk menuju puncak masih diperlukan waktu berjam-jam dengan berjalan kaki.  Lombok sama halnya dengan Bali yang merupakan Pulau vulkanik juga memiliki alam yang luar biasa dan sama sekali tidak kalah dengan Bali seperti tebing karang, laut, gunung, bukit, pantai yang semuanya benar-benar indah. Namun jika yang anda cari adalah budaya setempat khususnya kesenian, Bali akan menjadi destinasi yang lebih menarik. 

Thursday, April 09, 2015

Jalan-jalan ke Pangandaran Part #1 of 5 Keberangkatan


Tahun 2007 untuk pertama kali saya dan keluarga ke Pangandaran. Sayang sekali karena tidak banyak informasi, kami cuma beristirahat di hotel, bersepeda menyusuri Pantai Barat dan Pantai Timur, berenang serta main ke pantai. Khusus kuliner ikan laut kami ke pasar di Pantai Timur untuk mencicipi hidangan khas Pangandaran. Saat itu kurang lebih setahun sejak tsunami menyapu hotel-hotel di sepanjang Pantai Barat. Meski gempa pemicunya hanya 6.8 SR, namun karena diakibatkan pertemuan dua lempeng Indo Australia dengan Eurasia di kedalaman 30 km, Pangandaran mengalami tsunami  yang cukup serius. Penduduk disana bercerita ketinggian gelombang mencapai lima meter, dan gubuk-gubuk disepanjang pantai yang tadinya menjajakan minuman keras serta wanita nakal ikut tersapu habis. Saat itu Pangandaran sempat lenyap dari list destinasi wisata.  Tak aneh ketika kami berlibur di tahun itu situasinya masih relatif sepi.

Tak terasa delapan tahun berlalu, saat saya bersama istri memutuskan untuk melakukan employee gathering tahun 2015 bagi klinik kami yang sudah hampir setahun beroperasi, lagi-lagi Pangandaran masuk nominasi. Berbeda dengan tahun 2007, kali ini kami mengontak sebuah travel yang dikelola penduduk asli Pangandaran.  Setelah diskusi panjang lebar dengan Pak Asep Hendra sebagai perwakilan travel, kami mulai memilih lokasi tujuan disekitar Pangandaran sehingga akhirnya kami memutuskan untuk berangkat Sabtu 21/3/2015 dan kembali Minggu 22/3/2015. Pihak travel mengajukan  berangkat jam 02:00 pagi, sementara saya berkesimpulan bahwa secara fisik kami akan mengalami keletihan karena kurang tidur, sehingga saya berinisiatif memajukan  waktu berangkat menjadi jam 23:00 Jumat 20/3/2015.




Setelah semua persiapan dilakukan termasuk kaos seragam klinik, employee gift, snack box, dll maka rombongan dengan jumlah sekitar 30 orang pun berangkat menggunakan bis Kramat Djati bermerk Hino berukuran menengah yang disewa pihak travel. Ternyata bis berhenti di sebuah restoran tanpa meminta persetujuan kami. Sepertinya ada kerja sama antara perusahaan bis dengan restoran tsb. Setelah berhenti cukup lama meski tidak satupun dari kami yang berniat makan (karena sangat mengantuk), bis pun lalu melanjutkan perjalanan.

Setelah subuh di sebuah masjid, maka sekitar 4 sd 5 km dari Pangandaran jalan mulai memadat, dan ternyata kami sampai saat matahari bersinar terang, alias menjelang jam 08:00.  Perjalanan pergi akhirnya membutuhkan hampir delapan jam untuk jarak sepanjang 223 km. Dari Bandung kami melalui Tasimalaya, Ciamis, Banjar dan akhirnya Pangandaran. Hemm Pangandaran memang bukan lokasi yang bisa dibilang dekat dari Bandung. Tour Guide kami yang sudah berkali kali menelpon dan menunggu sejak subuh untuk mengajak kami melihat sunrise, akhirnya naik ke dalam bis. Suparmin demikian nama pria asal Jawa yang sudah lama tinggal di Pangandaran. Dengan ramah dia bercerita dan menyayangkan kami yang tak sempat melihat sunrise yang pagi ini ternyata sangat indah karena cerahnya langit.

Pangandaran, demikian menurut Suparmin, berasal dari kata Pangan (makan) dan Daran (pendatang), yakni penduduk luar yang mencari makan di daerah tersebut. Menurut Suparmin sejak pemekaran dengan Kabupaten Ciamis tahun 2012, menjadi kabupaten Pangandaran, banyak kemajuan di Pangandaran. Di sepanjang jalan nampak baliho kandidat pejabat setempat yang sepertinya akan berkompetisi untuk menjadi pimpinan daerah.

Tak lama bis berhenti di sebuah warung makan dipinggir Pantai Timur, dan kami langsung menyerbu capcay seafood, cumi goreng tepung, sambal, kerupuk, serta teh manis yang sudah disediakan.  Warung ini milik Bu Surman, yang suaminya saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMAN 1 Pangandaran. Bu Surman turun tangan langsung untuk memastikan semua makanan sudah siap dan mempersilahkan rombongan makan.

Selesai makan kami melihat-lihat kumpulan perahu nelayan di depan Warung Bu Surman, dan terlihat cukup banyak perahu. Ternyata nelayan disini berangkat malam hari dan sudah kembali pagi hari, sehingga sepanjang siang perahu-perahu tersebut memang selalu berjejer di depan Warung Bu Surman. Di masa lalu karena banyak menggunakan layar, nelayan memang menggunakan angin untuk mencari ikan, saat malam angin bertiup ke laut dan menjelang pagi angin bertiup ke darat. Namun nelayan saat ini ternyata tetap memillih malam hari meski sudah banyak yang menggunakan mesin.


Jalan-jalan ke Pangandaran Part #2 of 5 Green Canyon (Cukang Taneuh) dan Pantai Batu Karas


Dari sini kami langsung menuju Green Canyon dengan menggunakan bis, Green Canyon adalah lokasi yang unik dengan airnya yang kehijauan dan gua serta air terjun dibagian ujung sungai. Bis berhenti disebuah lapangan yang dikelilingi warung dan berada di seberang jalan berhadap-hadapan dengan pintu masuk. Nama Green Canyon menurut Suparmin berasal dari nama pemberian turis asal Eropa yang mengatakan ada situs seperti ini di luar negeri. Nama aslinya sendiri adalah Cukang Taneuh. Karena kami akan menggunakan enam perahu, Suparmin wanti-wanti untuk yang berniat berenang menggunakan perahu yang sama karena nelayan akan meminta biaya tambahan Rp. 100.000 per perahu, sehingga jika hanya ada satu orang yang berenang di setiap perahu, rombongan bisa kena charge Rp 600.000.  Meski sudah disampaikan tetap saja ada beberapa orang di perahu yang berbeda memutuskan berenang di lokasi, sehingga anggota rombongan tetap terkena biaya tambahan Rp 200.000.





Sungai yang kami lewati sebenarnya bermuara di laut, sehingga lokasi ini bisa juga ditempuh lewat laut, namun sepertinya saat ini ada peraturan baru sehingga nelayan yang bisa akses lewat laut bebas tidak diperkenankan lagi membawa turis langsung dari laut. Menjelang gua, ada pelabuhan kecil yang dilengkapi toilet dan warung penjaja makanan. Lokasi ini dipakai agar setiap perahu dapat secara bergantian memasuki gua yang memang tak dapat dilewati dua perahu secara bersamaan. Setiap sebuah perahu meninggalkan gua, maka perahu lainnya baru dapat masuk. 



Warna air yang kehijauan mengingatkan saya akan sungai disekeliling rumah Tarzan di Universal Studios Singapore. Sepanjang sungai yang berkelok kelok terlihat rerimbunan pohon2 dan bambu serta alat2 pancing yang diletakkan penduduk untuk menangkap ikan. Sebenarnya disini ada atraksi body rafting yang sayang-nya tidak sempat kami coba dan bukan merupakan paket dari travel yang kami bayar. Sepertinya menarik sekali body rafting menyusuri sungai ini dari lembah  diatasnya turun kebawah. Anak saya Si Sulung mengatakan dulu dia pernah mencoba rute ini, sayang karena saat itu musim kemarau, tangan dan kaki–nya lecet2 terkena batu sepanjang rute.

Setelah sekitar setengah jam menyusuri sungai pulang dan pergi serta melihat keindahan gua, kami menunggu anggota rombongan yang berenang di warung2 sekitar lapangan parkir sambil menikmati kelapa muda yang terasa sangat segar serta rambutan yang memang banyak dijual.



Dari sini kami menuju Pantai Batu Karas, posisinya sedikit menjorok kedalam, serta pantai landai dan pasirnya sangat cocok untuk berenang, sayangnya matahari sedang terik-teriknya sehingga kami tidak jadi berenang. Sambil menunggu makan siang disiapkan beberapa anggota rombongan sibuk tawar menawar di pasar Batu Akik disamping warung. Lalu kamipun menyantap Ikan Bakar, Kangkung Ca, Udang Goreng Tepung, Kerupuk dengan lahap di RM Sederhana. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/04/jalan-jalan-ke-pangandaran-part-3.html