Thursday, July 26, 2018

Shocking Japan – Junanto Herdiawan



Beberapa tahun lalu saya membeli beberapa buku mengenai travelling, kebetulan sedang ada discount gila-gilaan di Toga Mas, hanya dengan IDR 5000 sd 10.000, kita bisa dapat buku yang menarik. Nah buku Shocking Japan karya Junanto Herdiawan ini menjadi salah satu buku yang saya beli. Waktu itu belum kepikiran sama sekali apakah saya bakal bisa pergi ke Jepang. Sebulan lalu saya minta istri baca dan sepertinya cukup membantu dalam perjalanan kami akhir Juli 2018.

Lalu giliran saya membaca buku ini yang memang menarik meski bab per babnya tidak berkaitan satu sama lain, sehingga lebih mirip tulisan ala blogger. Namun demikian ditulis dengan menarik. Kenapa sudut pandang Junanto berbeda, ya karena penulis bukan hanya numpang lewat namun tinggal di Jepang dalam waktu yang lama. 




Apa nih versi sebaliknya dari buku ini ? saya kira karya Hisanori Kato adalah jawabannya dan bisa dicek di link http://hipohan.blogspot.com/2012/11/indonesia-di-mata-orang-jepang-nya.html.

Apa saja yang menarik ? misalnya 


  • Pesumo yang menangis sekerasnya sebelum bertanding.
  • Ikan yang dilelang sd harga miliaran rupiah. 
  • Kawasan Harajuku untuk lansia. 
  • Upaca boneka yang dipercaya menyimpan roh. 
  • Cara menikmati Ikan Fugu.
  • Toilet ajaib ala Jepang. 
  • Pengorbanan jiwa Yakuza dalam bencana Fukushima.
  • Tempe Rusto milik pengusaha asal Indonesia. 
  • Romantisme minimalis ala Jepang.
  • Geisha. 
  • Mengelola sampah ala Jepang. 
  • Kepiting Hokkaido.
  • Bir namun halal.
  • Kenapa tidak ada uang lusuh di Jepang ? 
Sayangnya tidak dibahas bagaimana disiplinnya orang Jepang dalam mengoperasikan lalu lintas kereta, tradisi tahun baru, tradisi bersih2 rumah dan kantor saat akhir tahun, budaya bersepeda juga yang sedikit aneh untuk masyarakat yang disiplin dan sopan seperti Jepang, kok bisa industri film dewasanya di eksploitasi berlebihan.  

Akhir kata, bagi saya ini adalah buku yang menarik, meski ringan namun penuh dengan informasi. 



Wednesday, July 25, 2018

Jalan-jalan ke Tokyo Part #1 dari 8 : Persiapan



Untuk mengapresiasi Si Bungsu setelah berhasil masuk salah satu jurusan favorit di PTS Kota Bandung, maka saya dan istri menimbang-nimbang permintaannya untuk jalan-jalan ke Korea. Sebenarnya secara budget fokus saya dan istri kali ini harus mempersiapkan dana untuk kuliah ybs, sehingga saya dan istri lebih memilih pergi di akhir tahun, apalagi kami baru melewati lebaran dimana kami harus menunaikan kewajiban membayar THR karyawan klinik dan juga paket lebaran.  Namun tawaran menarik justru datang dari TX Travel yang menawarkan paket bersahabat untuk ke Jepang.  Lagipula setelah kuliah belum tentu Si Bungsu memiliki waktu, jadi ya mau tak mau setelah menimbang-nimbang selama seminggu saya memutuskan untuk mengambil tawaran TX ini.



Kenapa harga TX cukup bersahabat, ya karena pertama menggunakan Air Asia, lalu pada akhir Juli dimana rata-rata hotel juga menawarkan paket harga yang cukup bersahabat dan yang terakhir ada hari dimana wisatawan diperkenankan jalan sendirian sehingga travel dapat menekan harga sementara wisatawan dapat menyusun agenda sendiri. Namun jangan berharap dapat melihat bunga Sakura (umumnya terjadi di Maret dan April) atau Gunung Fujiyama dengan puncak saljunya yang melegenda (umumnya terjadi di September sd Oktober).

Bagi saya pribadi,  Jepang adalah destinasi yang menarik, selain karena terinspirasi Musashi karya Eiji Yoshikawa, juga konser legendaris band-band rock di Budokan dan beberapa legenda musik rock seperti Akira Takasaki dan bandnya Loudness. Hal-hal lain tentu saja sejarah peran penting Jepang dalam World War II (salah satunya ketika menghajar pendudukan Belanda di Indonesia) dan prinsip Ganbatte yang mampu mendorong bangsa ini dari kehancuran perang menjadi salah satu kawasan dengan ekonomi paling maju di dunia. Bukan cuma itu, sejak kecil akrab dengan produk Sony, Toshiba, Suzuki, Hitachi, Sanyo, Toyota, Daihatsu dan juga Nissan-Datsun, membuat saya tertarik mengunjungi Jepang.

Untungnya tanpa pikir panjang Si Bungsu setuju, awalnya karena dia mengira bisa ke Universal Studio – Jepang, namun dia lupa bahwa itinerary TX hanya sekitar Tokyo, sedangkan Universal Studio adanya justru di Osaka, yang berjarak 500 km dari Tokyo. Disneysea lah yang akhirnya menjadi penyelamat, yang bisa kami jadikan destinasi pada hari dengan acara bebas.  

Singkat kata itinerary dari TX adalah sbb.

  • 17 Juli 2018 : Terbang dengan Air Asia XT Flight 407 (23:50 – 09:50) ke Narita – Jepang
  • 18 Juli 2018 : Mt Fuji dan Gotemba Premium Outlet.
  • 19 Juli 2018 : Acara bebas (yang rencananya kami gunakan untuk ke Disneysea)
  • 20 Juli 2018 : Shinjuku, Asakusa, Nakamise, Sumida River dan Divercity Tokyo serta Tokyo Decks (Seaside Mall) di Odaiba
  • 21 Juli 2018 : Terbang dengan Air Asia XT Flight 408 (11:30 – 17:20) ke Soekarno Hatta – Jakarta.
Sementara hotel yang digunakan adalah 

  • Tokyo Bay Makuhari (2 malam)
  • Marroad Narita (1 Malam) 

Dokumen yang harus dipersiapkan antara lain, surat sponsor dari perusahaan tempat kita bekerja, salinan transaksi keuangan pribadi 3 bulan terakhir, salinan kartu keluarga, salinan KTP, salinan akte lahir (atau salinan kartu pelajar jika belum memiliki KTP), pas foto 4,5 cm x 4,5 cm masing-masing 2 lembar dan paspor asli. Dokumen-dokumen ini diperlukan untuk mengurus VISA di kedutaan Jepang.

Diluar itu saya membeli tiket Disneysea via tokopedia (kenikura) yang konon kabarnya bisa digunakan hanya dengan e-Ticket, lalu menukar IDR ke Yen Jepang dan dapat di harga 130 IDR per 1 Yen. Tak lupa browsing peta subway Jepang dan menyusun itinerary tambahan seperti ke Shibuya, Akibahara, dan Harajuku.  Khusus Shibuya, karena memang Si Bungsu sangat berhasrat mencari CD progressive rock di Tower Records yang berjarak 500 meter dari Shibuya Station. Lalu cek map Disneysea, dan menyusun itinerary tambahan khusus.

Kenapa harus ke Disneysea ? pertama Disneysea lebih cocok buat dewasa ketimbang anak2 seperti Disneyland, kedua secara arsitektur setiap kawasannya memiliki nilai artistik dan arsitektur yang tinggi, terakhir Disneysea juga merupakan wahana satu-satunya di dunia ketimbang Disneyland yang skr ada di Hongkong, California, Tokyo, Shanghai, Orlando dan Paris. Lagipula saya sekeluarga sudah pernah ke Disneyland Hongkong.  Ajaibnya pemilik area ini ternyata bukan Walt Disney melainkan The Oriental Land Company yang memiliki izin dari Walt Disney.

Beberapa hari menjelang kepergian, kami di call via whatsapp oleh sebut saja Rico, tour leader muda yang ditunjuk oleh TX travel untuk memimpin rombongan. Dalam perjalanan Rico sempat mengatakan tak begitu paham (tertarik) soal destinasi domestik. Hemm jangan salah, Rico mungkin tidak tahu destinasi wisata seperti Pulau Kanawa di NTT meski hanya mengandalkan cottage yang lebih mirip gubuk, justru merupakan  favorit turis-turis kaya Eropa.  Begitu juga  Labuan Bajo, Lombok dan tentu saja Bali. Baik versi tripadvisor maupun lonelyplanet, Indonesia selalu memiliki nilai tinggi secara destinasi.

Hal- hal lain yang perlu diketahui

  • Pakaian akan mengacu pada kondisi musim di Jepang.
  • Perbedaan waktu 2 jam antara Jepang dan Indonesia.
  • Obat2an pribadi secukupnya.
  • Batasan bawaan baik bagasi (AirAsia membatasi sd 20 Kg) maupun tentengan (AirAsia membatasi sd 7 Kg).
  • Aturan terkait powerbank (kebanyakan maskapai melarang powerbank di bagasi, dan membatasi kapasitas sd 15.000 mAh).
  • Tidak boleh ada cairan diatas 100 ml per botol di tas tentengan.
  • Jack listrik di Jepang menggunakan model gepeng.
  • Koneksi internet sebaiknya menggunakan provider lokal yang memiliki kerjasama dengan provider Jepang, karena sewa hotspot dan beli kartu Jepang cukup mahal.
  • Jika ada rencana kunjungan ke tempat-tempat seperti Disneysea/Disneyland akan lebih praktis membelinya di Indonesia secara online.
  • Jangan lupa tukarkan mata uang anda dengan Yen.
  • Merokok hanya boleh di tempat2 tertentu saja.
  • Biasakan mengantungi sampah dengan wadah sendiri, karena sangat sulit menemukan tempat sampah di Jepang. 
  • Karena bakal banyak berjalan pastikan membawa sepatu yang enak dipakai berjalan jauh.
  • Tidak usah risau dengan banyaknya kembalian dalam bentuk uang receh logam, bisa digunakan langsung untuk membeli minuman di mesin yang tersebar dimana-mana. 
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-2-dari-8.html



·        

Jalan-jalan ke Tokyo Part #2 dari 8 : Mendarat di Narita dan Menuju Mt Fuji.



Lama penerbangan Jakarta (Soekarno Hatta) – Tokyo (Narita) cukup membuat badan pegal, bayangkan jarak 5.778 km ditempuh dalam 7 jam 40 menit dengan Airbus 330-300, dan dilakukan secara nonstop. Untung saja makanan dan minuman cukup tersedia, karena memang sudah dipesan langsung oleh TX travel, sehingga dengan menunjukkan boarding pass, saat berangkat kami mendapatkan Chicken Rice Uncle Chin’s sedangkan saat pulang Nasi Lemak Pak Nasser’s

Kenapa Narita ? sampai dengan sekitar 2005 Narita memang lebih dikenal sebagai Tokyo International Airport, namun gelar tersebut kini sudah di sandang Haneda. Bersama-sama keduanya kini meraih posisi nomor tiga sebagai bandara tersibuk di dunia. AirAsia memang lebih memilih Narita ketimbang Haneda, bisa jadi karena masalah cost, karena kalau dilihat sepintas Narita masih kalah keren ketimbang Changi. 

Saat mendarat, kami langsung disambut Lusi, tour leader TX di Jepang,  kami tak lagi sempat mandi, karena saya dan Si Sulung sudah langsung  mencari kartu telekomunikasi untuk paling tidak 3 dari total 5 HP kami. Sementara istri dan Si Bungsu langsung berburu berbagai brosur yang akan banyak membantu kami dalam membuat itinerary sendiri. Waduh ternyata cukup mahal, 3 kartu dengan kuota terbatas paling tidak harus ditebus dengan sekitar IDR 2 jutaan, sedangkan kalau sewa hotspot portabel cukup 700 ribuan, namun harus memiliki Kartu Kredit.






Tak punya kartu kredit, untunglah di bis ada wifi, dan saya akhirnya memutuskan untuk mengisi pulsa via internet banking Mandiri, lanjut ke pembelian paket 7 hari XL selama di Jepang sebesar IDR 200.000 per HP (HP cadangan saya dan HP Si Sulung). Entah lupa menghitung peserta saat naik bis, mendadak Rico menghitung peserta dan ternyata ada kekurangan 2 peserta. Terpaksa bis berhenti di jalan, lalu Rico kembali ke bandara dengan taksi, pada saat yang sama salah satu peserta yang hilang tsb mendadak left dari whatsapp group. Rombongan tetap lanjut dengan Lusi yang kini memegang kendali.

Selain kurang responsif Rico juga kurang detail dalam menjelaskan, saat hari pertama setelah lupa menghitung peserta saat naik ke bis, Rico menyarankan untuk ke wahana Harry Potter di Disney dalam rangka menghindari antrian, sementara Harry Potter justru adanya di Osaka alias Universal Studios.  Lalu di hari kedua Rico sempat menyarankan kami menggunakan Line 1 dan 2 ke Maihama Station saat menuju Disneysea, padahal ternyata seharusnya 3 dan 4. 

Untunglah Lusi bisa mengkompensasi ketidaksiapan Rico. Lusi,  yang meski tour leader lokal Jepang namun ternyata berkewarganegaraan Korea Selatan. Ibu beranak satu yang sekolah di Osaka ini adalah lulusan Jurusan Sejarah di Fukuoka Unviersity, namun sempat melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tak aneh bahasa Indonesianya terhitung fasih, dan memiliki pendekatan yang lebih pas bagi rombongan.

Jalan-jalan di Jepang sangat mulus, akan tetapi aturan menyatakan supir harus ke rest area setiap dua jam. Kami akhirnya berhenti dulu dan setelah penumpang ke rest room, lalu melanjutkan perjalanan. Di sini saya pertama kali mencoba toilet Jepang, yang klosetnya dipenuhi dengan berbagai tombol, sampai kita bisa atur arah semprotan, kekuatan semprotan, suhu air, dan bahkan tombol suara palsu untuk menutupi berbagai bunyian yang biasa muncul saat di toilet. Hampir disetiap toilet umum juga tersedia tissue atau cairan khusus untuk menyeka dudukan closet agar higienis sebelum dipakai.




Meninggalkan rest area, eh hujan deras lalu turun, sempat khawatir jika hujan terus terjadi, namun menjelang Gunung Fuji, hujan akhirnya berhenti. Supir menyetir dengan tenang setelah sebelumnya sempat marah karena ada penumpang yang makan dalam bis. Selama perjalanan terlihat dia beberapa kali berbicara dengan nada tinggi dan terkesan marah pada Lusi.

Gunung Fuji yang terakhir meletus di tahun 1.707 ini memiliki ketinggian 3.776 meter dpl dan berjarak sekitar 200 km dari Narita Airport yang ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam. Kenapa 3 jam ? di Jepang ada pembatasan kecepatan, sehingga meski jalan relatif lengang, kendaraan tetap tak bisa memacu kencang seenaknya. Gunung ini juga dikelilingi beberapa danau seperti Danau Saiko, Danau Shojiko, Danau Yamanakako, Danau Motosuko, serta Danau Kawaguchiko.

Rencananya kami langsung menuju Level 5 yakni sekitar 2.305 meter dpl.
Akhirnya kami pun tiba, dan terlihat dikejauhan Gunung Fuji tanpa salju, kami lalu masuk ke salah satu restoran dan langsung naik ke lantai dua. untuk makan siang. Menunya dua potong ayam goreng, nasi ketan, sepanci rebus2an terdiri dari daging ayam, berbagai sayuran dan jamur. Dengan lahap kami habiskan hidangan ini.




Di lantai bawah, kami juga dibagikan lonceng keselamatan sebagai alat pengusir bahaya seperti ular dan beruang yang banyak terdapat di sekitar Fujiyama. Untuk yang belanja diperkenankan menggunakan toilet secara gratis.




Di bagian belakang restoran, ada beberapa spot menarik seperti gerbang merah, kuil dan tempat air minum dengan gayung kayu. Saya coba naik ke dek khusus yang dibuat untuk mengamati alam sekitar, sayang kabut cukup tebal, sementara pandangan ke gunung terhalang oleh bangunan-bangunan disekitar. Sepertinya kami berada di lokasi dan waktu yang kurang tepat saat ke Gunung Fuji ini.






Link Berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-3-dari-8.html

Jalan-jalan ke Tokyo Part #3 dari 8 : Gotemba Premium Outlet dan Tokyo Bay Makuhari



Dari Gunung Fuji, kami langsung menuju Gotemba sekitar 40 km dari Gunung Fuji. Sempat kaget melihat satu diantara bis-bis pariwisata ternyata berlogo Hyundai, setahu saya cukup sulit bagi produk Korea untuk menembus pasar Jepang.  




Lusi cerita seharusnya Gunung Fuji saat cuaca bagus terlihat dari parkiran Gotemba, namun lagi-lagi saya tak melihat sosok Gunung Fuji yang seharusnya muncul.  Berjalan kaki dari parkiran bis, nampak terlihat puluhan toko dengan merk internasional, tanpa pajak pemerintah dan harga miring asal menunjukkan paspor. Saya celingukan cari tempat sampah, namun di Jepang ternyata memang sangat sulit menemukan tempat sampah. 

Anak-anak dikasih istri jatah 10.000 Yen, untuk belanja di sini, sementara saya dan istri hanya keliling dan berusaha mengabadikan Gotemba. Si Sulung membeli sepasang sepatu Nike seharga 9.999 Yen, sedangkan Si Bungsu memilih Adidas seharga sekitar 7.000 Yen, belakangan menurut mereka sepatu dengan seri yang sama di Indonesia berharga 2x lipatnya. Sayang Si Bungsu tak mendapatkan keringanan pajak pemerintah sekitar 500 Yen, karena paspor tertinggal di bis.

Kembali ke parkiran bis, nampak Rico sudah kembali bergabung, belakangan dia cerita ke dua anggota rombongan yang hilang setelah pemeriksaan imigrasi diduga keras sengaja menghilang untuk menjadi pekerja ilegal di Jepang. Mereka terindikasi sengaja menggunakan kemudahan TX Travel mendapatkan VISA untuk masuk ke Jepang. Namun Rico sudah mengontak kepolisian setempat dan juga KBRI.

Supir kembali terlihat marah, karena masih ada anggota rombongan yang terlambat nyaris satu jam saat kembali ke bis. Hal seperti ini memang selalu terjadi saat pergi berombongan. Di Jepang ada peraturan membatasi jam kerja supir untuk mengurangi resiko kecelakaan. Sementara hotel kami dua malam kedepan masih berjarak sekitar 150 km dari lokasi Gotemba. Jika supir melebihi jam yang ditentukan, maka keesokan harinya dia bisa-bisa dilarang bekerja.

Dalam perjalanan kami melihat pemandangan spektakuler Tokyo di malam hari. Menara-menara pencakar langit, jalan yang bersih dan lengang, jembatan-jembatan besar dan indah. Si Bungsu sempat cerita sekilas melihat gedung Uniqlo dengan karyawan bagian desain yang sepertinya masih asik merencanakan produk baru. Saking bersihnya di Jepang, saya kaget sendiri saat membersihkan hidung (maaf), warnanya putih tidak seperti di Jakarta yang nyaris selalu kehitaman. Saat bertanya pada Si Bungsu, ternyata dia mengalami hal yang sama. 

Lusi cerita bagaimana penduduk Tokyo lebih suka iPhone ketimbang Samsung, lebih suka hidup sendiri ketimbang berkeluarga, juga tingginya biaya hidup seperti harga sewa apartemen dengan kualitas ala kadarnya serta ruang super sempit yang sewanya sudah mencapai sekitar 6 juta sd 9 juta  perbulan.

Akhirnya sampailah kami di Tokyo Bay Makuhari, hotel jangkung setinggi 180 meter yang  resmi beroperasional sejak 2006 dengan 2007 kamar, dan berjarak sekitar 7 menit jalan kaki dari Kaihimmakuhari Station. Karena sudah lewat sekitar jam 20:00, maka istri dan Si Sulung langsung  ke Lawson satu lantai diatas lobby, memesan makanan dan buah. Sekali belanja habis sekitar 3.000 Yen. Kaget juga melihat ukuran kamarnya yang bahkan papasan dengan istri saja, salah satu harus mengalah.






Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-4-dari-8.html

Jalan Jalan ke Tokyo Part #4 dari 8 : Disneysea



Pagi-pagi kami langsung sarapan di lantai dasar, harus ekstra hati-hati mengingat menu masakan orang Jepang banyak mengandung babi. Saya lebih memilih memperbanyak buah-buahan dan sayur. Saya sudah sadar benar selama di Jepang tidak akan mungkin menikmati makanan enak ala Indonesia.

Menjelang jam 09:00 kami berjalan dari hotel menuju Kaihimmakuhari Station sekitar 900 meter dari hotel. Rutenya menarik karena ada banyak jembatan penyebrangan, sehingga kami relatif tidak terpapar matahari. Dari sini kami via Keiyo Line (berwarna merah) langsung menuju Maihama Station, yakni stasion terakhir sebelum masuk ke kawasan Disneysea / Disneyland.
Rutenya berturut turut adalah Shin Urayasu - Ichikawa Shiohama – Futamatashimmachi – Minami Funabashi – Shin Narashino – Maihama. Karena teriknya matahari, istri memutuskan naik kereta khusus Disney sampai ke Disneysea. Mirip dengan kereta khusus Disneyland Hongkong, gantungan tangan penumpang kereta dan juga jendela berbentuk silhuet Mickey Mouse.

Untuk naik kereta di Jepang sebaiknya pilih waktu diatas jam 08:00 dan kembali diatas jam 21:00, untuk menghindari puncak kesibukan karyawan di Tokyo.  Saat meilihat wajah-wajah kaku (namun tetap sopan) karyawan di Jepang, saya ingat cerita Lusi, dimana 10 tahun lalu semua sibuk membaca buku, namun kini sibuk dengan mobile phone (kebanyakan orang Jepang lebih suka pakai iPhone ketimbang merk lain).








Sesampai di Disneysea, saya sempat kuatir dengan hasil print out tiket karena pakai printer rumah dan kertas A4 biasa, ternyata alhamdulillah keempat tiket hasil printout dengan printer ink jet rumahan berhasil menembus gate Disneysea.

Istri langsung mencari map dengan bahasa Indonesia dan skedul acara hari ini, serta mencocokkannya dengan itinerary yang sudah dia buat. Mencakup Mediterranian Harbor, American Waterfront, Port Discovery, Lost River Delta, Mysterious Island, Mermaid Lagoon, dan Arabian Coast.  Namun kami akhirnya terpaksa melewatkan Mermaid Lagoon dan Mysterious Island, karena musibah yang akan saya ceritakan belakangan. Berikut ini destinasi yang berhasil kami selesaikan.  

  • Mediterranian Harbor
    • Venetian Gondola (menyusuri Mediterranian Harbor sambil diiringi nyanyian pengayuh gondola menyanyikan Santa Lucia) antri sekitar 20 menit.
  • American Waterfront
    • Toy Story (masuk ke wahana berbentuk kereta dengan sasaran tembak efek 3D sepanjang jalan) antri sekitar 80 menit.
    • Broadway  (pertunjukan musik dan opera) tidak antri karena pas jam masuk.
    • Turtle Talk (pertunjukan real time dengan alat percakapan khusus dengan hewan laut dalam wahana berbentuk kapal raksasa SS Columbia) antri kira2 30 menit.
    • Nemo (simulator kapal selam dengan efek kursi yang bergerak sesuai gerakan kapal, dan memungkin kita berinteraksi dengan dunia Nemo dan kawan-kawannya) antri kira-kira 30 menit.
  • Arabian Coast
    • Makan siang di Casbah Arabian Coast.
    • Sinbad (masuk ke dunia boneka dengan kapal, yang menceritakan berbagai pengalaman Sinbad sang pelaut) tidak antri karena pas jam masuk.
    • Magic Lamp (pertunjukan 3D dengan tokoh Genie si Jin dengan Lampu Ajaib) tidak antri karena pas jam masuk.
  • Lost River Delta
    • Hangar Stage (pertunjukan laser, nyanyian dan tarian dengan tema pramuka yang tersesat dalam hutan) tidak antri karena pas jam masuk.
    • Indiana Jones Crystall Skull (salah satu episode film Indiana Jones dengan berbagai pengalaman menegangkan)  antri sekitar 45 menit.
  • Pesta Kembang Api Fantasmic
Saat di Hangar Stage istri mendadak pucat, tangannya menggerayangi tas berkali-kali, ternyata HP Samsung Note  nya hilang. Mengingat ada ratusan nomor HP penting mulai dari pasien, vendor dan juga dinas kesehatan. Belum lagi catatan2 penting seperti pesanan obat, nomor rekening dll istri langsung lemas.







Begitu acara di Hangar Stage selesai, setelah yakin HP nya hilang, saya lalu memutuskan kembali ke Casbah Restaurant, Si Bungsu menemanin, namun karena kondisi kakinya sudah lecet parah, saya menenteng sepatunya sementara dia terpaksa dengan kaki telanjang menyusuri jalan ke Casbah. Sayang petugas di bagian depan kesulitan memahami pertanyaan saya, meski dia lalu minta salah seorang petugas wanita bantu menjelaskan. Tidak berputus asa, dia akhirnya menyerahkan peta dengan huruf kanji dan menunjuk satu titik dimana kami bisa bertanya kembali.

Dari sini saya dan Si Bungsu kembali berjalan melewati Kapal Selam Nautilus menuju gerbang depan, dan bertanya dengan petugas Lost and Found yang ramah, setelah menjelaskan spesifikasi HP, warna dompetnya, Sang Petugas via aplikasi komputer lalu mencocokkan foto yang ada di dompet HP istri dengan wajah kami berdua. Lalu menjelaskan bahwa HP telah ditemukan namun bukan di Casbah melainkan di wahana Magic Lamp. 








Maka dengan berdebar-debar kami langsung kembali ke Magic Lamp, dan seorang petugas wanita bernama Ishihara membantu kami, dan alhamdulillah HP istri kembali ditemukan. Luar biasa memang kejujuran orang-orang di Jepang, sampai-sampai Si Bungsu berkaca-kaca menahan haru. Kami kehilangan hampir 2 jam karena insiden ini, dan sebagai akibatnya kehilangan dua wahana yang sudah kami rencanakan sebelumnya yakni satu di Mysterious Island dan satu di Mermaid Lagoon.  




HP Ini bukan cuma sekali hilang, saat masih saya pakai setahun lalu sempat hilang juga saat di Penang, untung yang menemukannya bisa dikontak dan bersedia mengembalikannya kembali pada saya. Jadi ini satu2nya HP kami yang pernah hilang 2x diluar negeri namun kembali dengan selamat. Entah kalau hilang di dalam negeri, saya 2x mengalami kehilangan dan tak pernah kembali hingga kini.

Terakhir kami menikmati pesta kembang api Fantasmic di tengah-tengah perairan Mediterranian Harbor. Kami melewati area Mermaid Lagoon dengan latar belakang Mount Prometheus yang mengepulkan asap tebal. Meski belum menyaksikan sebagian besar wahana namun kami cukup puas. Petugas di Disneysea meski tegas namun tetap ramah, saya sempat ditegur karena berdiri di perahu saat menaiki gondola dan sempat diomelin karena memegang botol minuman yang tak boleh dipegang sembarangan serta dilarang memakai kamera saat pertunjukan Broadway.

Saran bagi yang ingin ke Disneysea, datanglah lebih pagi, usahakan beli tiket online untuk menghindari antri, hindari wahana dengan antrian sangat panjang dan diubah prioritasnya ke sore/malam. Jika dimungkinkan dengan single ride, akan lebih mudah dalam antrian, dan kalau memungkinkan cari cara untuk menggunakan fast pass. Gunakan sepatu yang nyaman, karena kedua anak saya mengalami lecet kaki yang lumayan parah.

Mengamati para pengunjung yang datang, sebagian cukup fanatik dengan mengenakan pernak pernik Disney, namun sempat heran juga melihat pasangan muda-mudi Jepang yang menggunakan pakaian tradisional di beberapa lokasi di Disneysea.

Untuk snack sepanjang jalan ada popcorn berbagai rasa, kue moci, juga mesin minuman segar seharga 100 Yen sd 160 Yen sepanjang jalan. Malam hari karena makan malam di Disneysea harganya naik dua kali lipat kami memutuskan membeli makan malam kembali di Lawson, Hotel Tokyo Bay Makuhari. Sekitar jam 21:00 kami akhirnya sampai di hotel dalam keadaan lelah luar biasa, hitungan kasar saya, paling tidak menempuh jarak sekitar 14 km.







Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-5-dari-8-duty.html

Jalan Jalan ke Tokyo Part #5 dari 8 : Duty Free Shop, Shinjuku (Don Quijote) dan makan siang Yakiniku/Yakitori



Pagi-pagi setelah sarapan, kami kembali berkumpul dengan peserta lain. Kami diminta untuk sekalian checkout, karena hotel berikutnya akan pindah lebih ke dekat Narita. Anehnya tak perlu bicara dengan petugas hotel saat check out, cukup buang kartu akses kamar ke kotak yang disediakan. Di Jepang, mereka percaya semua tamu hotel jujur, sehingga tidak diperlukan pengecekan khusus sebelum check out. 

Kali ini kami langsung ke Eisan Duty Free Shop, tempat segala pernik dengan harga bersahabat. Tak lama disini, kami lanjut ke Shinjuku untuk melihat pernik-pernik di Don Quijote Shinjuku Kabukicho. Sayang sampai saat ini saya masih tidak tahu persis dimana sebenarnya lokasi Duty Free Shop ini karena saya tidak mengaktifkan location di HP yang saya gunakan untuk memotret.

Benda yang paling ajaib dijual di sini buat saya adalah bidet, alias perlengkapan kloset dengan berbagai tombolnya. Sambil bercanda saya sempat bilang pada Si Bungsu, bagaimana kalau ini jadi hadiah ultah mamanya akhir tahun. 




Don Quijote merupakan salah satu tempat favorit belanja bagi penduduk lokal dan juga turis, ada banyak item yang dijual disini makanan, minuman, kosmetik, bahkan juga popok, tissue dan perlengkapan cosplay yang digemari anak muda Jepang. Selain di Shinjuku, Don Quijote juga terdapat di Akibahara, Asakusa, dan Ikebukuro Higashiguchi. Kelebihan Don Quijote adalah bisa menerima mata uang asing, ada wifi yang memungkinkan pembeli bisa diskusi dengan sanak saudara di rumah, jasa antar ke bandara, dan tentu saja bebas pajak.




Setelah puas belanja ala kadarnya di Don Quijote, kami makan siang dengan menu Yakiniku dan Yakitori depan shelter bis Senzoku. Dibawahnya terdapat toko buah, namun pas naik ternyata ada tempat makan ajaib yang pintu masuknya kecil namun di dalamnya ternyata cukup luas.




Temyata menu paling banyak justru daging babi yang disajikan dalam berbagai bentuk. Sayang seafood yang tersedia cuma dua jenis ikan dan cumi-cumi. Tak terlihat adanya udang. Setelah mengingatkan anak2 untuk hati2 memilih kami lalu makan siang. Saya sempat membakar jagung yang juga tersedia dengan menggunakan alat pemanggangan yang tesedia di meja. Tak ada nasi putih, namun digantikan dengan nasi goreng sayuran serta mie goreng sayuran.

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-6-dari-8.html

Jalan Jalan ke Tokyo Part #6 dari 8 : Asakusa Temple, Nakamise Street dan Sumida River




Apa menariknya Asakusa Temple ? pertama ada Jinrikisha (alias semacam riksaw) atau becak roda dua yang ditarik manusia dengan tarifnya lumayan mahal. Penariknya merupakan penduduk sekitar yang kekar, kebanyakan tampan,  kulit kecoklatan dan berotot plus berkeringat pula.  Tak heran teman wanita di kantor lama yang pernah kesini langsung titip salam buat para penarik Jinrikisha ini.







Lalu gerbang merah Kaminarimon dengan lampion raksasa diagian depan yang sering menjadi latar belakang pemotretan. Setelah melewati Nakamise Street sekitar 500 meter kita akan menemukan kuilnya. Mirip seperti di Masjid, disini juga diharuskan untuk membasuh wajah, tangan dan kaki sebelum masuk kuil di sebuah tempat yang dimakan dengan Osuisha. Bagi yang percaya ramalan, disini juga tersedia kertas ramalan atau Omikuji yang bisa kita dapat dengan membayar 100 Yen dimasukkan dalam kotak uang. Kocok kotak sampai mengeluarkan batang kayu kecil, lalu nomor di batang kayu yang keluar digunakan untuk menuju rak dengan nomor yang sama untuk mengambil kertas ramalan. 





Nakamise Street terdiri dari berbagai toko yang bersih dan sebagian besar menjual makanan,  pakaian, dan juga pernik-pernik khas Jepang. Ada berbagai macam penganan tradisional Jepang yang dijual disini. Dan penjualnya ramah-ramah. Lokasi inilah yang disebut dengan Nakamise Street. Situasi ini mengingatkan saya akan lokasi Masjid Sunan Ampel yang jalan masuknya juga harus melalui pasar kecil dengan berbagai barang jualan di Surabaya. Di beberapa lokasi tiba-tiba menyembul Tokyo Tower. Jangan lupa,tempat ini juga tempat yang pas buat yang ingin menikmati Mochi yang akan lebih lezat jika disantap dalam keadaan dingin. Hanya saja di sini pengunjung dilarang makan sambil berjalan.






Selesai disini kami langsung berjalan kaki ke Sumida River yang dilewati Azuma Bridge dengan latar belakang Tokyo Tower. Sumida River ini salah satu sungai terpenting di zaman Edo. Pemandangan nya benar-benar bagus sayang atap pelabuhan Tokyo Cruise terlalu lebar dan agak menganggu artistik pengambilan gambar.

Sisi kiri terlihat Tokyo Tower menjulang tinggi, lalu bangunan keemasan di sebelahnya yang merupakan simbolisasi dari gelas bir lengkap dengan busanya, karena memang merupakan kantor Asahi Beer, lalu bangunan paling ajaib yang mirip seperti ubi Cilembu berwarna emas rancangan desainer berkebangsaan Perancis Philippe Starck dikenal dengan nama Asahi Flame. Bangunan ini salah satu landmark arsitektur modern di Jepang yang dibuat dengan menggunakan teknik pembuatan kapal selam.   

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-7-dari-8-ke.html

Jalan Jalan ke Tokyo Part #7 dari 8 : Ke Odaiba melihat Gundam di DiverCity Tokyo Plaza serta makan malam di Seaside Mall .



Setelah puas jalan-jalan di skitar Sumida River, kami lanjut ke DiverCity yang terkenal dengan robot raksasa Gundam. Lokasi ini merupakan lokasi wajib penggemar Gundam. Sempat menunggu disini karena pada jam tertentu robotnya bergerak, saya sempat penasaran juga, eh ternyata yang bergerak cuma sungutnya dan semacam pelapis di bagian paha robot serta muncul warna merah di spot-spot tertentu.  Sebelum ini ada robot raksasa RX-78, lalu digantikan dengan Gundam Unicorn yang sekarang ada di DiverCity.




Sambil menunggu peserta lain saya jalan-jalan sendirian ke area Zepp Tokyo melintasi taman-taman yang bersih namun sayangnya lebih banyak ditutupi beton. Di sisi kiri nampak jembatan kabel ke arah kantor polisi Odaiba, tengah bangunan ajaib dengan dua tower yang dihubungkan jembatan alias Hotel Trusty Tokyo Bayside dan sisi kanan Giant Sky Wheel.

Itinerary terakhir adalah makan malam di Seaside Mall (Tokyo Deck’s) di kawasan Odaiba. Setelah menaiki eskalator beberapa tingkat, nampak terlihat Rainbow Bridge yang menawan. Sempat berharap mendapatkan lokasi strategis, menjelang sunset dengan pemandangan tersebut, ternyata kami hanya dapat tempat di ruang tertutup. Tidak kehabisan akal saya naik satu tingkat lagi, memotong antrian yang menunggu restoran buka, dan langsung membuka pintu kearah beranda yang menghadap ke Rainbow Bridge, dan sempat tercenung sejenak karena kagum melihat indahnya pemandangan. Sayang petugasnya meski ramah meminta kami keluar, namun saya memohon agar diberi kesempatan memotret, akhirnya si petugas melunak. Saya dan Si Sulung langsung memanfaatkan kesempatan untuk memotret.







Setelah makan, kami langsung menuju Marroad Inn Narita, kebalikan dengan Tokyo Bay Makuhari yang sangat jangkung, Marroad Inn terhitung pendek (karena regulasi bandara yang tidak memungkinkan bangunan jangkung di sekitar bandara), namun memiliki lorong yang sangat panjang.  Kejutan saat membuka jendela kamar, ternyata dibagian ujung landasan tempat berbagai pesawat landing.



Tadinya saya nmasih berharap bisa jalan lagi pagi-pagi sebelum ke bandara. Namun lokasi kali ini ternyata cukup jauh dari stasion terdekat alias Narita Airport Terminal. Jarak ke Shibuya saja bisa sekitar 80 km. Lagipula Rico sudah menginformasikan proses di Narita sangat lama dan perlu antrian panjang. Jadi ya sudahlah, ternyata memang tidak bisa ada agenda lain di hari terakhir selain ke Narita. Untungnya kami  masih sempat membeli Tokyo Banana di Narita sebelum pulang.

Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-8-dari-8.html