Saturday, October 29, 2011

Ranah 3 Warna - Ahmad Fuadi





Begitu menamatkan Negeri 5 Menara, rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera menyelesaikan Ranah 3 Warna, ya apalagi kalau bukan mengikuti jejak perjuangan Alif dalam mencapai cita2nya. Buku ini terasa lebih serius di banding buku pertama, terutama ketika 
meninggalnya tokoh Ayah sebelum sempat pergi ke Bandung, beratnya tokoh Ibu dalam membiayai sekolah Alif dan adik2nya, perjuangan Alif dalam mencari nafkah dengan berjualan, sampai akhirnya menyadari tidak setiap keturunan Minang punya “darah dagang” serta putusnya percintaan Alif dengan tokoh Raisa.



Bagi yang sedikit bingung dengan “Ranah 3 Warna”, sebenarnya yang dimaksud pengarang, adalah Bandung – Jawa Barat, Amman - Yordania dan Saint Raymond – Canada. Meski khusus Amman sepertinya terlalu dipaksakan, karena lebih mirip sebagai tempat transit sebelum ke Canada. Sebaliknya Canada sepertinya menjadi hal yang sangat khusus buat Alif, terbukti dengan penanda buku yang berbentuk daun mapple dan menjadi lambang dalam bendera Canada.

Surprise ketika pertama kali membaca buku ini, karena kita masih diberi kesan di akhir buku pertama dimana Alif akhirnya dapat menyelesaikan sekolah di Pondok Madani. Tetapi justru kembali memulai hidupnya sebagai “pecundang” di awal buku kedua. Tidak tahu akan kemana, tidak memiliki ijazah untuk masuk ke sekolah umum dan harus mengubur cita2nya masuk ITB. Saya jadi ingat pertemuan tadi malam dengan guru sekolah si Bungsu, yang berkata “pilih mana, anak pintar tapi tidak soleh atau anak soleh tapi tidak pintar”. Pilihan kedua inilah yang sepertinya harus dilakukan oleh orang tua Alif, akan tetapi bekal kesolehan yang disertai kesungguhan sesungguhnya juga akan menghasilkan “kepintaran” yang justru lebih berbobot dibanding kepintaran semata.

Salah satu bab menarik dimata saya adalah ketika Alif harus berkompetisi dengan saingan-nya dalam memerebutkan Raisa dalam proses seleksi pertukaran pelajar antara Canada dan Indonesia. Alif yang bersuara sumbang dan kaku kalau harus menari harus menyakinkan juri bahwa kesenian bukan melulu jadi faktor penting dalam menyetarakan bangsa kita dengan bangsa lain-nya. Dengan bekalnya sebagai penulis setelah dihajar habis2an dalam biara shaolin jurnalis ala Bang Togar, akhirnya Alif berhasil meyakinkan juri kalau dia sangat layak untuk terpilih dalam seleksi.

Sebuah buku yang menarik dibaca, ditambah artistik buku yang juga sangat berkelas, dan lebih dari layak menjadi bagian dari koleksi buku anda. Dan lagi lagi kita diingatkan dengan motto ala Pondok Madani, yaitu sebagai pelanjut “Man Jadda Wajada” yang artinya siapa yang bersungguh sungguh ia lah yang berhasil, yaitu ketika semua upaya sudah dilakukan maka bersikaplah “Man Shabara Zhafira” yang artinya siapa yang bersabar akan beruntung.

Unlimited Wealth - Bong Chandra

Setelah membaca “Science of Luck” , saya jadi tertarik mencari buku pertama beliau, dan akhirnya setelah berhasil menemukan buku ini, maka tanpa membuang buang waktu langsung saya eksplorasi setiap halaman-nya. Seperti buku kedua-nya membaca buku ini seperti mendengar Bong berbicara langsung, tak aneh kalau proses pembuatan-nya memang menggunakan metode dimana Bong berbicara dan seseorang merekam, mencatat lalu menuliskan kembali dalam bentuk sebuah buku.


Hal2 yang ada dibuku ini merupakan pengalaman hidup yang dijalani Bong sendiri, sekaligus merupakan hal2 yang dikutip sana dan sini yang sepertinya merupakan hasil interaksi Bong dengan banyak bahan bacaan. Sayang-nya tidak ada bagian khusus yang menyebutkan sumber2 yang digunakan Bong dalam membuat buku, meski tidak mengurangi daya tarik buku ini. Dibanding “Science of Luck”, bagi saya kualitas buku pertama ini sedikit dibawah-nya.

Bong membagi buku tidak dalam bab, melainkan “Day”, tepatnya dari “Day 1” sd “Day 17”, dimana setiap “Day”dianjurkan untuk tamat dalam 10 menit. Bab yang menarik adalah “Dilahirkan untuk gagal”. Bagi Bong, pada setiap kegagalan berlaku hukum statistik, yaitu semakin sering gagal semakin dekat ke peluang keberhasilan. Selain itu Bab menarik lainnya adalah “Bersahabat dengan Singa”, dimana Bong mencontohkan bagaimana beliau menyediakan space bagi Matius Yusuf, salah satu tokoh penting Agung Podomoro, untuk membuka stand property disetiap event seminar / training yang dilakukan oleh Bong, secara gratis, dan Matius Yusuf, cukup membantu sebagai pembicara dalam 10 atau 15 menit sesi seminar. Kharisma Matius, akan turut serta mengangkat Bong, sehingga dengan bertemankan Singa, akan otomatis mengangkat sosok kita seakan akan turut menjadi Singa juga.

Pendekatan sukses yang dijalankan Bong juga menarik, mirip dengan rahasia sedekah-nya Ustadz Yusuf Mansyur, Bong juga sangat menganjurkan untuk berbagi, apapun itu, baik materi, ilmu dan lain2, karena hanya dengan turut membantu menyalurkan apa yang kita miliki, maka rizki akan turut mengalir melewati kita, sebagaimana yang dijelaskan di Bab “Bantu Orang Lain Untuk Sukses”. Bong juga menegaskan penting-nya sikap sebagai “Salesman”, karena pada dasarnya semua orang adalah Sales, seperti yang dijelaskan di Bab ”Menjual diri demi impian” dimana dijelaskan bahkan ketika kita tidak memiliki produk apapun untuk dijual, bagaimana agar diterima bekerja atau bagaimana dapat diterima seseorang sebagai sahabat atau kekasih pun adalah merupakan proses “Sales”. Bab lainnya adalah “Menjadi Sapi Ungu”, yang secara umum kalau dalam bahasa akademiknya disebut dengan diferensiasi. Cara2 Bong menggunakan istilah cukup menarik, sehingga tak terasa buku ini justru tamat hanya dalam beberapa jam saja. Sungguh buku yang ringan namun berbobot.

Sibolga kota kecil di pinggir pantai


Tepat ketika usia ku tiga tahun, Ayah dipindahkan dari Bandung ke Sibolga, sebuah kota kecil di provinsi Sumatera Utara, dan terletak dipinggir pantai. Lima tahun di Sibolga menjadi pengalaman yang indah untuk dikenang. Kota ini sangat dekat dengan pantai, sehingga jika kapal berlabuh, terompet-nya terdengar jelas sampai kerumah. Saat itu Sibolga masih termasuk jalur trans sumatera sehingga cukup ramai, di lain pihak pelabuhannya juga menjadi salah satu tempat berlabuh salah satu kapal pesiar Belanda yang sangat terkenal saat itu, yaitu Princendam, yang sangat gampang dikenal dengan cerobong-nya yang berwarna warni.



Karena sangat dekat dengan pelabuhan, dan pusat aktivitas nelayan, aku sering menemani Ibu ke pasar, sambil memilih milih ikan yang masih dijual dalam keadaan segar bahkan sebagian masih hidup. Begitu juga kepiting yang setiap kali berusaha merayap keluar dari nampan si penjual ketika si penjual lengah. Sea food adalah salah satu makanan yang cukup sering menjadi menu keluarga kami, dan Kepiting Goreng sambal, adalah salah satu menu andalan Ibu.
Rumah kami sebuah rumah dinas peninggalan Belanda dan terletak dekat salah satu jembatan angker di kota ini, yang terdiri dari dua bangunan utama, dan dihubungkan oleh sebuah lorong beratap tanpa dinding. Tak jelas siapa yang menanam, salah satu sisi lorong tersebut, ditanami tanaman merambat dari ujung ke ujung, dan menjadi kerajaan semut merah berukuran ekstra besar, yang kami sebut semut Harirongga. Selain besar semut ini sangat galak, gigitannya luar bisa menyakitkan, dengan bagian kepala yang dihiasi dua taring besar. Rumah ini dibangun lebih tinggi dari lahan disekitarnya, dan dikelilingi parit. Untuk memudahkan keluar masuk ke halaman, dibeberapa sisi ada tangga. Rumah ini berdiri di samping Kantor Telekomunikasi, dan dari bagian belakang rumah ada lorong yang hanya dibuka sekali sekali menuju Kantor Pos. Sepertinya Kantor Pos, Kantor Telekomunikasi serta rumah kami, dulunya kemungkinan besar didesain secara terintegrasi.

Sisi kanan rumah, ada sebuah pohon Jambu Bol yang sangat besar, buahnya manis berair, dan sering sekali menyebabkan tetangga datang untuk meminta. Ibu tidak pernah keberatan membagi bagi buah-nya. Karena seingatku, pohon Jambu ini memang selalu berbuah sepanjang tahun. Jika malam kelelawar berduyun duyun menyerbu pohon Jambu ini, tetapi buahnya tidak pernah habis. Dipagi hari, biasanya kami akan menemukan buah buah yang sudah matang dengan tanda gigitan kelelawar disekujur buah. Buah yang dipilih kelelawar biasanya buah yang benar benar manis, jadi kami membersihkan bekas gigitan-nya dulu baru kemudian memakan-nya. Kadang satu atau dua kelelawar nyasar dan masuk kerumah, kesulitan menemukan jalan keluar, sampai akhirnya menemui ajal di tangan Ibu yang bersenjatakan sapu. Saat libur aku bersama teman sekolah main ke Penjara kecil dibelakang Kantor Polisi, dan menyusupkan beberapa Jambu dari balik lubang di dinding penjara, untuk para Narapidana disana.

Sisi kiri rumah, selain Kandang Ayam berbulu tebal (yang biasa kami sebut Ayam Australia) peliharaan Ibu, kami memiliki pohon Nangka. Meski tidak dipetik saat matang, buahnya akan jatuh berdebum saat ulat ulat kecil yang pandai meloncat mulai menggerogotinya, dan keesokan paginya kami sekeluarga akan pesta makan Nangka. Jika semua Nangka habis, maka Ibu mengumpulkan bijinya, untuk direbus dengan garam sekepal dan menjadi salah satu snack kesukaan kami sekeluarga. Getahnya yang banyak sering aku gunakan untuk menjebak semut Harirongga dengan membuat sate getah nangka, semakin mereka melawan semakin mereka terjebak lalu setelah sate getah tak lagi sanggup menampung semut2 yang terjebak, maka aku membakarnya sehingga menimbulkan bau daging sate yang sangat harum. Belakangan aku tahu bahwa ini merupakan dosa besar, sayang-nya saat itu tidak ada yang melarang kami melakukan hal ini, dan aku terlanjur benci dengan semut ganas ini.

Di bagian depan rumah, ada tanaman pohon yang aku tidak tahu persis nama-nya, akan tetapi kami menyebutnya pohon kipas. Sepertinya ini termasuk kelompok rumput2an, batangnya beruas ruas seperti tebu mini. Dan aku suka membuat panah2an dari pohon ini, dengan menggunakan karet sebagai pelontar.
Ayah, seorang kutu buku, kami memiliki perpustakaan pribadi, dengan buku yang bervariasi, selain itu ada juga kliping Indonesia Raya (koran-nya Mochtar Lubis), kliping Siasat dan Majalah Sastra Roman. Ayah juga berlangganan Kompas, Intisari dan Bobo. Di saat senggang perpustakaan ini merupakan tempat favoritku, khususnya komik Mandrake, Tarzan dan Phantom yang merupakan cerita bersambung bergambar di kliping koran Ayah. Juga iklan Palmboom berbentuk komik, yang saat itu merupakan produk margarine favorit. Komik2 lain seperti Gundala, Godam, Laba2 Merah, Maza dan Jin Kartubi, biasanya kami peroleh dengan menyewa-nya dari kios komik sebelah. Untuk buku2 dongeng terbitan Gramedia, seperti Grimm bersaudara, kami acapkali meminjamnya dari teman kakak perempuanku.

Sekolah kami berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah, dipisahkan oleh salah satu jalan utama di Kota Sibolga. Pagi hari Ibu akan menyiapkan beberapa piring kaleng untuk sarapan kami dengan nasi panas yang masih mengepul, dan lauk ikan goreng. Saking panasnya nasi, kami biasanya mengisi bak cuci piring yang berukuran besar, lalu meletakkan piring kami di bak tsb bagaikan sekumpulan perahu di lautan, untuk mendinginkan nasi-nya sampai dapat dimakan tanpa kuatir kepanasan. Tak lupa menu tambahan, telur ayam setengah matang dari Kandang Ayam peliharaan Ibu dan dikocok dengan satu sendok madu. Aku tak pernah suka minum ini, baunya yang anyir menyebabkan aku ingin muntah, dan sampai dewasa aku tak pernah bener benar menyukai kuning telur dalam keadaan basah. Pada tahun2 tertentu, aku dan kedua kakak serta abangku bersekolah di sekolah yang sama, saat aku kelas satu, abangku kelas lima dan kakak perempuanku kelas enam.

Saat itu acara favorit ku dan saudara2 ku adalah mandi hujan, mengejar ngejar ayam Ibu dengan panah dari pohon kipas dan naik becak keliling kota. Saat bulan Ramadhan dan menjelang lebaran, sepupu2 ku dari keluarga ayah akan berdatangan untuk merayakan Lebaran bersama sama. Ayah akan membeli minuman soda berkerat kerat sehingga selama beberapa hari kami hanya meminum minuman tsb, khususnya 7up. Ayah juga menyalakan puluhan lilin di halaman, menggelar tikar dan mengajak kami tiduran sambil menatap bintang2 di langit. Atau ayah mengajak kami bernyanyi sambil beliau bermain gitar di bawah pohon yang selalu berbunga putih, yang kami namakan pohon putar2 karena jika bunga-nya jatuh maka akan berputar putar seperti helikopter sebelum menyentuh bumi.

Ayah beberapa kali juga mengajak kami ke lokasi wisata disekitar Sibolga seperti Bonandolok, salah satu bukit yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dengan pemandangan indah ke Sibolga dan teluk Tapian Nauli. Atau ke pantai Ujung yang dipenuhi dengan nyiur melandai serta pulau Poncan. Kadang kami sekedar berjalan jalan saja dengan Landrover, melintasi jalan dengan bukit bukit di sisi kiri, dan teluk yang dipenuhi Pohon Bakau di sisi kanan jalan. Kadang Ayah mengajak ke rumah Nenek di Padang Sidempuan, lalu Nenek biasanya akan menyembelih bebek peliharaannya di halaman belakang untuk menyambut kami dengan Gule Bebek.

Sebelum berangkat Haji, Nenek dari pihak Ayah yang biasa kami sebut Ompung Gendut untuk membedakannya dengan Nenek dari pihak Ibu (yang sangat kurus) juga sempat tinggal bersama kami selama beberapa lama, saat menjelang kepergian-nya aku menemani beliau mencari batu putih yang akan dia gunakan untuk melempar Jumrah. Itu saat terakhir aku melihat Nenek, setelah kami meninggalkan Sibolga menuju Denpasar, dan Nenek meninggal tak lama kemudian.

Pada hari2 tertentu, para petani Durian melewati rumah kami dengan puluhan durian bergelantungan di Sepeda ontel-nya. Sebelum sampai ke pasar, Ayah sudah menghentikannya dan mulai lah kami berpesta durian. Durian yang satu belum habis, yang lain sudah dibuka, setiap buah mengandung rasa yang berbeda, ada yang manis bagaikan es krim, ada yang kenyal dan harum, dan berbagai macam rasa yang sungguh2 sedap tak terkira.

Lima tahun di Sibolga, kami pun meninggalkan kota kecil penuh kenangan ini, di antar salah seorang teman ku bernama Pitman, dari atas kendaraan Landrover menuju Medan perlahan lahan aku melihat rumah kami semakin kecil dan semakin jauh, untuk menggunakan Garuda menuju Denpasar. Saat blog ini ditulis, aku masih belum sempat kembali ke Sibolga, tetapi meski demikian kota ini tetap ada di dalam hati ku selama-lamanya.




Perkelahian pertama

Rasanya hampir setiap anak lelaki pernah berkelahi dengan anak lelaki lain-nya dalam kehidupan, begitu juga aku yang masuk sekolah dasar dalam usia 5 tahun, sehingga sering sekali di intimidasi teman sekelas yang jauh lebih besar. Akan tetapi berbeda dengan perkelahian masa kini yang dilakukan dengan beramai ramai dan menggunakan berbagai senjata, saat itu perkelahian selalu satu lawan satu, dan dilakukan ketika kata2 tidak lagi dapat menyelesaikan masalah yang ada. Dan secara otomatis semua anak lelaki di kelas, biasanya akan terbagi menjadi dua kubu, serta begitu kelas usai, maka setiap pendukung akan membantu para petarung membawakan tas jagoan-nya masing masing menuju lokasi yang disepakati setelah sebelumnya memastikan tidak ada satu guru pun yang mengetahui.

Di kota kecil seperti Sibolga, anak2 dengan orang tua yang memiliki jabatan umumnya selalu memiliki kelas dan keistimewaan-nya sendiri. Pada masa itu anak pimpinan Bank, anak Jaksa, anak Kepala Polisi, atau anak Kepala Kantor Pos sebagaimana aku memiliki kasta-nya sendiri. Di kelas ku kebetulan ada anak Jaksa yang dengan sendirinya menganggap aku sebagai saingan di kelas. Usianya yang lebih tua dua tahun serta gaya-nya yang mengintimidasi menjadi masalah besar yang harus aku hadapi dalam keseharian. Orang tua sering sekali menganggap masalah anak adalah masalah kecil, tetapi sebaliknya dengan anak, bagi mereka ini bukan lah masalah kecil, melainkan masalah besar yang seringkali harus mereka selesaikan sendirian.

Karena usia yang lebih muda maka secara fisik dan prestasi aku relatif tertinggal, maka intimidasi ini menjadi sesuatu yang sudah tidak tertahankan. Di suatu sore, aku menyampaikan masalah ini pada sepupu jauh Ayah yang tinggal di rumah kami selama beberapa waktu, karena ada urusan yang harus diselesaikan. Kami biasa menyebutnya Uwa Hasibuan. Wajahnya berkerut mendengar curhatku sore itu, lalu dengan wajah serius dia menyampaikan suatu strategi yang dapat aku lakukan keesokan harinya. Percaya diri dengan strategi itu rasanya malam itu menjadi malam yang begitu panjang, untuk dapat segera bersekolah keesokan harinya, dan menjalankan apa2 yang sudah disampaikan Uwa Hasibuan.

Seperti biasa, Andritan begitu nama “musuh” ku mulai kembali melecehkan dan mengejek aku, tetapi berbeda dengan hari hari sebelumnya, aku membalas setiap ejekan yang dia lontarkan dengan percaya diri, lalu ketika suhu pertengkaran kami sudah semakin meningkat, maka aku berdiri dengan sikap menentang dan disusul oleh Andritan. Saat guru masih belum melihat, dan Andritan sama sekali tidak siap, aku mengambil inisiatif pertama dengan memukul wajahnya sekeras yang aku bisa, tepat di hidung-nya, dan saat dia hendak membalas, Guru sudah melihat duluan sehingga aku terselamatkan. Dengan puas dan wajah penuh kemenangan aku melihat darah menetes netes di meja dan baju putih sekolahnya. Luar biasa memang strategi Uwa Hasibuan, persis seperti serangan ala Hitler dengan “Blitzkrieg” alias serangan kilatnya ketika menghajar sebagian besar Eropa hanya dalam beberapa minggu.

Namun sayang-nya serangan itu ternyata tidaklah tidak cukup, Andritan segera menggalang event perkelahian sepulang sekolah, dan aku menunggu saat bersejarah itu dengan perasaan tidak menentu, maklum jika “Blitzkrieg” tidak berhasil, maka dengan perasaan cemas aku menunggu detik2 perkelahian yang lebih dahsyat dengan kepercayaan diri yang sudah semakin menipis. Saat pulang sekolah pendukung-ku membawakan tas, dan aku pun dengan langkah yang semakin ragu menuju lokasi yang ditentukan, yaitu Kantor Kejaksaan yang pada jam seperti itu biasanya sudah sangat sepi. Lantas setelah sampai kami pun menggulung lengan baju kami dan saling menatap dengan tajam, sambil mengira ngira titik kelemahan lawan, serta dari sorot mata-nya sayang-nya tak kulihat sama sekali dampak dari “Blitzkrieg” tadi pagi kecuali baju putihnya yang bernoda darah kering.

Tidak aneh kalau Jiu Jutsu lebih mendalami teknik kuncian dengan alasan sebagian besar perkelahian satu lawan satu tidak dapat menggunakan tendangan dan pukulan, karena begitu jarak perkelahian mendekat, maka pergumulan yang lah yang akhirnya menentukan siapa yang menang. Begitulah perkelahian kami, tak jelas siapa yang akhirnya memulai, akan tetapi tiba2 kami sudah bergumul di tanah coklat berdebu, ketika aku sudah semakin tersudut untung saja bagiku mendadak beberapa orang tua dan anak2 yang lebih besar segera memisahkan kami. Jika terlambat rasanya aku akan benar2 menghadapi masalah sulit. Untung bagi ku tetapi tidak bagi Andritan, sepertinya dia masih belum puas membalas perlakuan ku tadi. Dengan segera kami menghentikan pertarungan dan membersihkan baju masing2, lalu aku pulang dengan perasaan tidak menentu. Akan tetapi sejak hari itu Andritan memperlakukan aku dengan lebih hormat.

Jadi begitulah kami anak2 lelaki dengan tradisi perkelahiannya menjaga martabat kami, serta belajar berjuang untuk menjadi seorang lelaki dewasa, dalam menjaga kehormatan keluarga-nya kelak.

Tante Zubaedah Berpulang

Rasanya masih jelas saat itu, di depan rumah peninggalan belanda yang kami diami di Sibolga, banyak orang berkerumun menyaksikan sosok burung hantu yang sedang bertengger di salah satu pucuk pohon besar dan jangkung di siang hari. Tentu saja bukan pemandangan yang biasa melihat burung pemalu ini muncul di siang hari. Salah seorang penduduk membidik burung tsb dengan senapan angin-nya tanpa belas kasihan, dan setelah tembakan pertama, si burung hantu, tersentak, serta darah-nya menetes netes ke kerumunan orang dibawah termasuk mengenai baju yang ku kenakan, sebelum akhirnya jatuh terbanting ke bawah.

Pagi sebelum-nya sekumpulan gagak berputar putar sambil berkaok kaok persis di atap rumah kami, sekan akan mengabarkan datang-nya malaikat kematian. Tak terasa sudah beberapa minggu Tante Zubaedah berada di rumah kami dalam keadaan sakit. Dia dibaringkan disalah satu kamar dalam keadaan lemah, jiwanya yang lembut tak kuat menghadapi kenyataan dikhianati sang kekasih, yang akhirnya mengalah terhadap desakan keluarga untuk memilih wanita lain setelah memberikan janji setia pada Tante Zubaedah. Akhirnya Tante Zubaedah harus mengalah pada malaikat maut yang menjemputnya sekaligus menggenapi dua kematian di usia muda di keluarga Ibu menyusul kakak perempuan Ibu ku yang meninggal sebelumnya. Cerita ini mirip dengan “Raumanen”-nya Marianne Katoppo, meski dengan beberapa bagian dan akhir cerita yang tidak begitu sama persis.

Ibu ku tujuh bersaudara, dengan tiga lelaki dan empat perempuan, dan Ibu merupakan anak ke tiga, dengan dua adik lelaki dan dua adik perempuan. Salah satu adik perempuan Ibu sekaligus nomor lima bernama Zubaedah, biasa kami panggil tante adalah sosok yang sangat lembut dan keibuan. Ketika kuliah di Yogya dia berkenalan dengan seorang pemuda. Dan kembali ke Sumatera dengan ijazah dan luka di hati yang tak pernah bisa sembuh. Sejak itu Tante Zubaedah sakit, dan akhirnya berpulang meninggalkan kami semua, tanpa sempat menikah setelah meraih gelar sarjana. Malam sebelumnya, Ayah memutuskan untuk pergi ke Padang Sidempuan menempuh jalan berkelok kelok dan sempit melewati gelapnya hutan sejauh 80 kilometer, bersama salah satu kerabat untuk mengabarkan kondisi Tante Zubaedah yang semakin gawat ke kedua mertua-nya dengan menggunakan sepeda motor. Akan tetapi Ayah mengalami kecelakaan dan menabrak tebing, sehingga mengalami dislokasi bahu.

Menjenguk ayah yang berbaring di rumah sakit dengan sekujur tubuh luka dengan tangan diperban dan meninggal nya Tante tak lama kemudian menjadi salah satu masa paling kelam dalam kehidupan keluarga kami. Isyarat dari burung hantu, dan isyarat dari burung gagak, lalu disusul wafatnya Tante Zuabedah, dan kecelakaan yang menimpa Ayah, menjadi salah satu cerita yang membekas dalam diriku selama-nya, Betapa dekatnya kita ke kematian, dan betapa rapuhnya kehidupan.

Tuesday, October 18, 2011

Hijrah #2


Dalam buka Ranah Tiga Warna-nya Ahmad Fuadi, ybs mengutip syair Imam Syafi’I yang berbunyi “Merantaulah maka kau akan mendapatkan pengganti kerabat dan kawan”. Saat kondisi sudah terasa stagnan, sangat penting menjaga semangat dan motivasi dengan berhijrah. Akan tetapi perasaan akan kehilangan kerabat dan kawan, sering sekali menjadi faktor penghalang.


Hal yang sama juga terjadi pada ku ketika memutuskan untuk pertama kali pindah bekerja ke Jakarta. Perasaan akan kehilangan sahabat semasa sepuluh tahun di Pusat Komputer, dan memulai hidup baru di tempat asing dan dengan orang orang yang sebelumnya tak pernah dikenal pula. Tetapi sebagaimana disampaikan Allah SWT dalam firmannya dalam Surat Al Hujuraat 13 bahwa “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” sudah merupakan jaminan bahwa ada hal positif yang akan kita dapat di lingkungan baru. Penggunaan kata “Hai Manusia” dan berbeda dengan kebanyakan ayat yang dimulai dengan kata “Hai Manusia Yang Beriman” menunjukkan universalitas dari Ayat ini sehingga berkonotasi berlaku bagi seluruh umat manusia, baik yang beriman maupun yang tidak.


Tak terasa hanya dalam setahun pertama di Jakarta, maka apa yang disampaikan Imam Syafi’I terbukti, sahabat baru didapat dan hubungan dengan sahabat lama tetap dipertahankan, begitu juga yang terjadi ketika kembali hijrah ke kantor ketiga dan akhirnya yang keempat. Dan dalam setiap lingkungan serta situasi baru, kita kembali belajar hal2 baru. Dan sepertinya sudah merupakan sifat alami manusia untuk lebih “siaga” di lingkungan baru, sehingga memaksa kit amenampilkan kemampuan terbaik.


Di kantor kedua aku belajar bagaimana bersikap proaktif, bagaimana memimpin team dengan jumlah ratusan orang, bagaimana me”manage” konflik, bagaimana membuat blue print, bagaimana mendokumentasikan proyek, bagaimana membuat business development plan serta kesempatan belajar Data Warehouse di Singapore. Di kantor ketiga aku belajar bagaimana presentasi efektif, bagaimana mendesain materi presentasi dengan lebih menarik via animasi, bagaimana konsep pertukaran dokumen digital secara ISO, belajar di Hanoi - Vietnam sebagai wakil swasta dalam ASEAN Single Windows Forum. Di kantor keempat aku belajar IT Services Management, Service Level Agreement, berhadapan dengan customer dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi lagi, mempresentasikan laporan keuangan, belajar deployment methodology, dan kesempatan jalan jalan ke Sydney sebagai reward karena masuk ke kelompok Top Achiever.


Jadi berhijrahlah, maka sahabat, kerabat, ilmu dan kesempatan akan terus bertambah, dan kualitas kita sebagai manusia juga akan terus InsyaAllah meningkat.






Friday, October 14, 2011

Negeri 5 Menara - Ahmad Fuadi

Seandainya bisa kembali ke masa lalu dan dapat menjadi murid di Pondok Madani, apakah kira2 saya akan sanggup menghadapi dan mengalami hal2 seru seperti yang dialami oleh tokoh Alif ? saya tidak yakin karena sama seperti tokoh Alif, saya tidak suka hafalan dan tidak begitu berbakat dalam bahasa asing, meski demikian buku ini sangat menarik dibaca. 

Penggambaran-nya detail dan kiasan-kiasan yang digunakan cukup menarik. Misal adegan bis yang menanjak meninggalkan Danau Maninjau diibaratkan penulis bagai sebuah mobil yang merayapi dinding kuali raksasa dalam perjalanan 3 hari 3 malam menuju Jawa. Atau untuk menggambarkan betapa supir sudah mulai bingung menghibur penumpang bis yang menempuh perjalanan siang malam dari Bayur (Sumatera Selatan) ke Ponorogo (Jawa Timur) , penulis menyebutkan-nya dengan cara entah sudah berapa kali pak supir menyuruh Rambo kembali berperang.



Pada buku ini dikisahkan persahabatan enam orang sahabat, dengan daerah asal Maninjau, Medan, Surabaya, Sumenep, Bandung dan Gowa. Tentu saja seperti yang saya jelaskan di atas, tokoh utama diperankan Alif. Mirip dengan karya Andrea Hirata, sebagian besar yang ditulis di buku ini merupakan pengalaman pribadi pengarang-nya yang memang alumni Pondok Pesantren Modern Gontor.

Banyak hal menarik dalam buku ini, seperti saat2 ketika musim liburan setiap anak bisa pulang ke rumah masing2, akan tetapi tidak demikian dengan Alif, yang karena keterbatasan dana justru tidak bisa pulang, dan harus mengalami suasana luar biasa sepi mencekam. Di bagian ini mengingatkan saya akan karya Leila S. Chudori tentang kehidupan asrama, yang merupakan bonus majalah remaja Hai di tahun 80-an. Hal lainnya yang menarik adalah ketika ada perlombaan, spanduk secara tidak sadar Alif dan team-nya mengimplementasikan Blue Ocean, karena ketika yang lain menggunakan bahasa Inggris, Alif dan team-nya justru sengaja menggunakan bahasa Prancis dengan "Nous Sommes la grande famille de la classe 1 B, Pondok Madani, Indonesie" dan akhirnya memenangkan perlombaan.  

Pada akhirnya setelah perjuangan yang sulit, Alif mendapatkan hikmah tersendiri dengan menjadi murid di sekolah yang pada masa kini dianggap "tidak populer" . Sedangkan kehidupan mengajarkan kita kalau kesuksesan tersebut sebenarnya lebih banyak karena kualitas pribadi misalnya kemandirian yang justru secara pesantren akan lebih mudah dibentuk dibanding sekolah formal. Hal ini juga yang ditekankan oleh buku ini, bahwa bakat bakat terbaik tidak harus selalu mengikuti jalan Habibie tetapi juga bisa mengikuti jalan Buya Hamka.

Motto yang dijadikan dalam buku ini sangatkah mengena "Man Jadda Wa Jada" yang artinya siapa yang sungguh sungguh akan berhasil. Hal semacam inilah yang sejak awal dikenalkan oleh pesantren Madani dalam kisah ini, sehingga setiap siswa-nya menjadikan ini sebagai pegangan. Kenapa diberi judul Negeri 5 Menara, karena di kompleks pesantren tersebut, tempat favorit Alif dan teman-temannya berada di bawah menara, yang setiap istirahat mereka jadikan sebagai tempat diskusi, mengkhayal dan lain lain. Sungguh buku yang inspiratif dan kembali membakar semangat kita untuk selalu bersungguh-sungguh.

Tuesday, October 04, 2011

Anak ibulah yang menjuruskan dirinya sendiri dan bukan kami.

Saat seleksi masuk SMA, saya sempat memilih salah satu SMA favorit di Bandung, akan tetapi karena sekolah ini dikenal agak hedonis, maka keluarga saya menganjurkan untuk memilih SMA di daerah Stasiun Kereta Api, yang meski tidak masuk 2 besar tetapi masih masuk 5 besar SMA terbaik di Bandung. Pada masa itu, setiap peserta harus langsung melakukan seleksi di SMA tujuan. Dan tidak disangka sangka saya mendapatkan nilai yang cukup baik, bahkan jauh diatas passing grade.

Situasi ini membuat saya lengah, dan kebiasaan serta pola belajar saat SMP masih terus berlanjut di SMA, yaitu hanya belajar keras menjelang ujian, hanya fokus pada pelajaran pilihan, lebih suka menggambar komik di bangku belakang dan intensif mendengarkan musik progressive setiap hari. Akibatnya bisa ditebak saat penjurusan di semester dua, nilai Kimia saya jeblok, karena selain cara mengajar gurunya yang tidak enak, eksperimen bukan dengan situasi sebenarnya di lab, tidak nyaman dengan keharusan menghapal sistem periodik unsur2 dan saya sendiri entah kenapa tidak suka akan pelajaran yang satu ini.

Akhirnya tibalah hari dimana penjurusan dilakukan, Ibu saya yang memang ekstra bangga dengan anaknya dengan percaya diri, berbicara dengan Ibu2 lainnya. Ketika akhirnya nama saya diumumkan masuk ke IPS, Ibu menjadi shock berat. Apalagi dia selalu menginginkan anaknya mengikuti jejak paman (adik Ibu) yang meraih gelar doktor di bidang engineering. Sepanjang jalan Ibu mengomel dan menunjukkan ekpresi kecewa atas hasil yang saya raih. Dan tanpa menunggu nunggu lebih lama keesokan harinya Ibu langsung menghadap Ibu Kepala Sekolah, serta memohon dengan sangat meninjau kembali penjurusan anaknya yang menurutnya sama sekali tidak berbakat di IPS, bahwa anaknya akan mengikuti jejak paman-nya yang ahli di bidang sains.


Ibu Kepala Sekolah mendengarkan kata2 yang disampaikan Ibu saya dengan sabar, dan lalu menyanggah bahwa peninjauan itu tak dapat dilakukan dan berkata “Anak ibulah yang menjuruskan dirinya sendiri dan bukan kami”. Ibu sangat shock mendengar kalimat tsb, karena mekanisme pertahanan Ibu yang biasanya cukup tangguh berdebat langsung hancur dengan statemen tsb. Tetapi Ibu Kepala Sekolah masih membuka peluang, dengan menyarankan saya untuk belajar sendiri selama satu semester, termasuk Kimia (di semester dua, malah harus mendalami Kimia Karbon), lalu diberi kesempatan untuk tes kenaikan kelas pelajaran IPA seperti Kimia, Fisika, Biologi dan Matematika.

Tak terasa, satu semester saya harus belajar pelajaran IPA sekaligus IPS, siang belajar Hitung Dagang, dan malam hari sendirian belajar Kimia Karbon, siang belajar Geografi dan malam-nya sendirian belajar teori Fisika Lensa Cembung dan Cekung. Ketika ujian akhir kenaikan kelas selesai, maka saya pun mengikuti ujian kedua untuk kenaikan kelas IPA, dan alhamdulillah saya berhasil masuk kembali ke kelas IPA dengan sub jurusan Bahasa Jerman. Jadi kesimpulannya janganlah lelah berusaha, dan hasilnya serahkan pada Allah sang Maha Menentukan.

Monday, October 03, 2011

Berdoalah dengan sungguh sungguh.

Menjelang usia 26 tahun, aku mulai berpikir perlunya seorang pendamping. Akan tetapi aku termasuk tipe lelaki yang tidak tertarik dengan pacaran, sehingga perlu dari nol untuk mencari sosok yang tepat. Sampai akhirnya salah seorang murid di Pusat Komputer (di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung) dimana aku bekerja dijodohkan oleh rekan2 di kantor. Sebenarnya aku tidak ada perasaan khusus pada wanita yang dimaksud, akan tetapi aku selalu berpikir bahwa yang nama-nya cinta seharusnya dapat diprogram (bisa jadi karena latar belakang-ku yang  kuliah di jurusan pemrograman) maka aku coba untuk melamar ybs secara langsung.

Singkat kata akhirnya aku memberanikan diri untuk melamar ybs, hal ini aku lakukan dengan asumsi pertama ybs selama ini cukup memberi perhatian khusus pada-ku, misalnya datang di malam hari ke kantor sambil membawa jajanan seperti bubur kacang hijau ataupun colenak, kedua, bagi ku cinta tidaklah penting , karena “bisa diprogram” dan ketiga ybs punya background pendidikan yang memadai. Dan tibalah saat dimana aku menyampaikan lamaran, sayang-nya saat itu ybs tidak dapat memberikan jawaban, dan minta ditunda paling tidak tiga bulan untuk berpikir, meski mengucapkan terima kasih atas perhatian yang aku berikan.

Tiga bulan penantian rasanya begitu lama, dan aku gunakan untuk memupuk eh maksudnya lebih tepat memrogram rasa cinta pada ybs, meski aku lebih senang sebenarnya kalau ybs langsung saja memberikan jawaban saat itu juga, bahkan termasuk jika ybs ingin menolak. Situasi menggantung seperti ini cukup berat bagi-ku secara psikologis, dan akhirnya tibalah waktu tsb, dan ironisnya aku baru tahu ybs sudah ditempatkan dalam program PTT DepKes ke salah satu propinsi di Sumatera. Tanpa tahu persis dimana ybs tinggal selama di sana, aku memutuskan, menitipkan mobil pada rekan sekantor, langsung menuju kota dimaksud dengan menggunakan bis malam.

Jantung ku berdebar debar saat roda2 bis berderak di jembatan penghubung antara kapal Ferry Bakauheni dengan daratan Sumatera, daratan dimana leluhur ku berasal. Akhirnya tibalah aku di kota tersebut, dan setelah mencari hotel untuk menginap dua malam kedepan setelah sarapan maka aku lantas mengontak DepKes mengenai program PTT untuk mencari tahu dimana ybs berada. Dengan kendaraan sewaan aku akhirnya berhasil menjumpai ybs di rumah induk semang-nya, dan ybs sangat kaget serta meminta waktu untuk dapat bertemu malam-nya agar dapat menjelaskan situasi yang terjadi. Saat malam tiba kami mengunjungi salah satu restoran yang menjual makanan daerah terkenal, dan dengan hati2 dia minta maaf dan belakangan saya baru tahu bahwa kepada sahabat ku-lah cintanya tertambat. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong mendengar pengakuannya, apalagi karena aku tahu persis kalau sahabat yang dimaksud adalah salah satu pria dengan kategori “don juan” (aku sering mangamati bahwa wanita sering sekali tertarik dengan pria yang diantara pria sendiri justru tidak dianggap atau justru “don juan” seperti Tommy Lee dari Motley Crue, atau Julio Iglesias yang sudah jelas2 playboy misalnya he he).

Malam itu rasanya jadi malam terpanjang dalam hidup-ku, penantian selama tiga bulan, perjalanan ke kota ini, konflik sebelum berangkat dengan ibu (yang tidak setuju dengan pilihan hidup saya), serta sekitnya penolakan, semua itu rasanya menghantui dan menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Akhirnya ku-putuskan untuk tahajud pada malam itu juga, dengan mata berkaca-kaca aku memanjatkan doa agar sosoknya diganti Allah dengan yang jauh lebih baik. Tiga bulan setelahnya aku dipertemukan oleh salah seorang murid-ku yang lain dengan sepupu jauhnya. 



Saat ini tak terasa kami sudah dikaruniai sepasang anak yang manis2 dan semoga kelak mereka menjadi anak2 yang berguna bagi sesama-nya. Ternyata doa yang dipanjatkan dengan sungguh sungguh akan langsung mendapatkan jawaban dari Sang Maha Besar. Sebagaimana surat An–Naml ayat 62 yang artinya "Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi? Apakah ada tuhan lain selain Allah? Sedikit sekali kamu yang memperhatikannya."