Dalam buku Citizen Soldier karya Stephen E. Ambrose di 1998, alih-alih membuka berbagai buku sejarah untuk membuat kompilasi WWII, beliau malah memutuskan untuk melakukan ratusan wawancara saksi mata. Lantas pembaca dipersilahkan untuk menarik kesimpulan sendiri dari sekian banyak kesaksian tersebut.
Berawal dari postingan ku di group, mengenai kisah pernikahan ibu, giliran paman selayaknya saksi pernikahan ibu dan ayah, menambahkan kesaksiannya saat itu, sehingga memperluas persepsi mengenai jalannya pernikahan ibu dan almarhum ayah. Berikut ini tulisan paman, mengenai kejadian di tahun 1960 tersebut. Sekaligus melengkapi kisah ibu di link berikut;
http://hipohan.blogspot.co.id/2012/02/perkenalan-dengan-suami.html
http://hipohan.blogspot.co.id/2012/03/dilamar-parmuhunan.html
Aku merasa sedikit aneh ketika pria berkumis yang wajahnya bulat itu datang kerumah kami dan duduk begitu saja dikursi tamu kami. Kursi tamu itu terbuat dari kayu dengan lengan berbentuk kurva menyatu dengan kakinya dengan meja bundar yang selalu ditutupi taplak dan memiliki laci terbuka tempatku menaruh buku pelajaran.
Setiap kali lelaki itu datang selalu terjadi kesibukan pada keluarga kami yang tak bisa aku pahami. Perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu yang akan mengubah keluarga kami. Benar saja, beberapa minggu sesudah itu, datanglah serombongan orang berpakaian adat dan bunyi bunyian serta pencak silat diiringi barisan ramai orang-orang.
Tapi ternyata mereka tidak sampai ke halaman rumah kami karena aku dengar Ayah berkeras bahwa acara dan adat seperti itu tidak islami dan lebih mengarah pada ajaran agama lain sehingga menolak acara seperti itu berada di wilayah kekuasaannya.
Perlu dipahami antara Batak Angkola (penulis : asal ayahku) dan Batak Mandailing (penulis : asal ibuku) memang terdapat perbedaan yang tajam tentang hubungan sosial. Dengan kata lain dari awal terdapat hambatan kultural yang sulit dipahami generasi sekarang.
Namun bagiku sebagai seorang anak yang masih kecil tentu belum paham akan hal ini. Bagi ku ini adalah kejadian yang menarik dan secara tidak sadar aku mengikuti keramaian ini saat mereka berbalik dengan menyertakan kakak perempuan ku dalam rombongan dibagian depan.
Tentu saja aku hanya bisa mengikutinya dari belakang karena kesulitan menerobos masuk ke kerumunan barisan orang dewasa. Aku terus mengikuti barisan tersebut, tentu tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibuku yang masih melayani tamu tamu saat melepas kepergian kakak.
Sekitar beberapa ratus meter akhirnya rombongan berhenti di sebuah rumah bertingkat dua di simpang Jembatan Siborang yang memisahkan pusat kota dan kawasan kami. Satu satunya jembatan yang menghubungkan Sibolga dan Padang diatas Batang (sungai) Ayumi. Rumah itu bercat hijau dan di halamannya sudah didirikan teratak dimana kumpulan penabuh gendang adat tersebut telah mengatur posisi dan terus menabuh diiring onang onang dalam bahasa daerah.
Kawasan ini sudah dipenuhi gaba gaba (hiasan yang terbuat dari pelepah kelapa yang masih muda dan masih berwarna kuning sebagai perlambang keremajaan). Rasa keinginan tahuan ku memaksa kedua kaki ku yang kecil dan kurus memasuki rumah bertingkat itu tanpa diperhatikan penghuni dan para tamu.
Tapi kemudian entah dari mana dan oleh siapa pertama kalinya ada yang mengenal ku dan lalu dibawa ke tingkat atas. Awalnya aku begitu ketakutan, namun gadis gadis yang ada dirumah tersebut begitu ramahnya sehingga aku pun merasa nyaman meskipun aku tidak lagi menjumpai kakak perempuan ku disana.
Para gadis itu lalu memberitahu para tetua bahwa aku ada ditempat horja (pesta). Lalu mereka mengataan padaku, bahwa selaku pihak mora menurut adat Dalihan Na Tolu, aku tidak diperkenankan adat untuk berada ditempat itu sampai kakak ku berkunjung resmi kembali kerumah orang tuanya beberapa saat setelah acara pernikahan.
Lalu aku diantar kembali kerumah, dan beberapa hari kemudian aku tidak lagi berkunjung kerumah bertingkat itu, meskipun acara horja itu masih berlangsung dua hari kemudian. Sejak saat itu aku tidak lagi menjumpai kakak perempuan ku untuk waktu yang sangat lama. Bersama lelaki berkumis itu kakak telah berangkat ke Pulau Jawa yang konon sangat jauh, dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiranku.
Berawal dari postingan ku di group, mengenai kisah pernikahan ibu, giliran paman selayaknya saksi pernikahan ibu dan ayah, menambahkan kesaksiannya saat itu, sehingga memperluas persepsi mengenai jalannya pernikahan ibu dan almarhum ayah. Berikut ini tulisan paman, mengenai kejadian di tahun 1960 tersebut. Sekaligus melengkapi kisah ibu di link berikut;
http://hipohan.blogspot.co.id/2012/02/perkenalan-dengan-suami.html
http://hipohan.blogspot.co.id/2012/03/dilamar-parmuhunan.html
Aku merasa sedikit aneh ketika pria berkumis yang wajahnya bulat itu datang kerumah kami dan duduk begitu saja dikursi tamu kami. Kursi tamu itu terbuat dari kayu dengan lengan berbentuk kurva menyatu dengan kakinya dengan meja bundar yang selalu ditutupi taplak dan memiliki laci terbuka tempatku menaruh buku pelajaran.
Setiap kali lelaki itu datang selalu terjadi kesibukan pada keluarga kami yang tak bisa aku pahami. Perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu yang akan mengubah keluarga kami. Benar saja, beberapa minggu sesudah itu, datanglah serombongan orang berpakaian adat dan bunyi bunyian serta pencak silat diiringi barisan ramai orang-orang.
Tapi ternyata mereka tidak sampai ke halaman rumah kami karena aku dengar Ayah berkeras bahwa acara dan adat seperti itu tidak islami dan lebih mengarah pada ajaran agama lain sehingga menolak acara seperti itu berada di wilayah kekuasaannya.
Perlu dipahami antara Batak Angkola (penulis : asal ayahku) dan Batak Mandailing (penulis : asal ibuku) memang terdapat perbedaan yang tajam tentang hubungan sosial. Dengan kata lain dari awal terdapat hambatan kultural yang sulit dipahami generasi sekarang.
Namun bagiku sebagai seorang anak yang masih kecil tentu belum paham akan hal ini. Bagi ku ini adalah kejadian yang menarik dan secara tidak sadar aku mengikuti keramaian ini saat mereka berbalik dengan menyertakan kakak perempuan ku dalam rombongan dibagian depan.
Tentu saja aku hanya bisa mengikutinya dari belakang karena kesulitan menerobos masuk ke kerumunan barisan orang dewasa. Aku terus mengikuti barisan tersebut, tentu tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibuku yang masih melayani tamu tamu saat melepas kepergian kakak.
Sekitar beberapa ratus meter akhirnya rombongan berhenti di sebuah rumah bertingkat dua di simpang Jembatan Siborang yang memisahkan pusat kota dan kawasan kami. Satu satunya jembatan yang menghubungkan Sibolga dan Padang diatas Batang (sungai) Ayumi. Rumah itu bercat hijau dan di halamannya sudah didirikan teratak dimana kumpulan penabuh gendang adat tersebut telah mengatur posisi dan terus menabuh diiring onang onang dalam bahasa daerah.
Kawasan ini sudah dipenuhi gaba gaba (hiasan yang terbuat dari pelepah kelapa yang masih muda dan masih berwarna kuning sebagai perlambang keremajaan). Rasa keinginan tahuan ku memaksa kedua kaki ku yang kecil dan kurus memasuki rumah bertingkat itu tanpa diperhatikan penghuni dan para tamu.
Tapi kemudian entah dari mana dan oleh siapa pertama kalinya ada yang mengenal ku dan lalu dibawa ke tingkat atas. Awalnya aku begitu ketakutan, namun gadis gadis yang ada dirumah tersebut begitu ramahnya sehingga aku pun merasa nyaman meskipun aku tidak lagi menjumpai kakak perempuan ku disana.
Para gadis itu lalu memberitahu para tetua bahwa aku ada ditempat horja (pesta). Lalu mereka mengataan padaku, bahwa selaku pihak mora menurut adat Dalihan Na Tolu, aku tidak diperkenankan adat untuk berada ditempat itu sampai kakak ku berkunjung resmi kembali kerumah orang tuanya beberapa saat setelah acara pernikahan.
Lalu aku diantar kembali kerumah, dan beberapa hari kemudian aku tidak lagi berkunjung kerumah bertingkat itu, meskipun acara horja itu masih berlangsung dua hari kemudian. Sejak saat itu aku tidak lagi menjumpai kakak perempuan ku untuk waktu yang sangat lama. Bersama lelaki berkumis itu kakak telah berangkat ke Pulau Jawa yang konon sangat jauh, dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiranku.