Sekitar tahun 2007 yang lalu, aku ditugaskan ke Batam. Sebelum berangkat ke sana, aku cari informasi ke teman yang sudah pernah kesana sebelum-nya. Setelah mendapatkan informasi yang cukup aku pun siap berangkat ke Batam. Tak lupa teman mengingatkan aku akan salah seorang rekan yang bisa dihubungi saat disana. Teman juga mengingatkan untuk mencoba kuliner khas Batam, diantaranya minuman khas yaitu "Teh Obeng" alias TO.
Batam, ternyata agak berbeda dengan yang aku bayangkan, sepertinya pembangunan belum merata, di beberapa tempat khusus pusat aktivitas memang cukup maju, namun di pinggiran masih belum dikelola secara baik. Ada kawasan industri namun, tidak terlihat istimewa. Bayangan saat awal, Batam lebih terlihat seperti Singapura-nya Indonesia jadi "runtuh" begitu saja.
Topografi Batam turun naik, jalan-nya lebar2 dan salah satu keunikan Batam adalah mobil2nya yang sangat jarang dijumpai di belahan Indonesia lain-nya. Sepertinya bengkel di Batam pasti akan berbeda dengan kebanyakan bengkel di Indonesia, supir yang aku ajak bicara sih bilang kalau di sini Bengkel jarang memperbaiki, namun lebih ke ganti part secara gelondongan.
Berhubung menyukai sea food, rekanan bisnis mengajak aku ke sebuah pusat restoran sea food yang sudah merambah ke berbagai kota besar di Indonesia alias Sop Ikan Batam. Melihat kata2 T0 tercantum di daftar menu dan tanpa bermaksud menyia-nyiakan nasihat teman, aku langsung memesan-nya, sebagai minuman dengan pesan agar tidak pakai es.
Eh pelayan restoran dengan wajah protes mengatakan "Mana mungkin pak ! Itu tidak bisa lah" dengan dialek Sumatera Utara. Aku yang keheranan mencoba menjelaskan bahwa aku sedang radang tenggorokan, jadi tidak bisa minuman dingin. Namun si pelayan masih ngotot "Kalau tidak pakai es, bukan TO nama-nya pak !". Bingung dengan situsi tsb, aku bertanya "Emang TO itu apa sih ? Dan kenapa harus pakai es". Lantas si pelayan menjawab, karena TO itu artinya Es The Manis, walah pantesan ekspresi-nya sengit sekali.
Malam-nya, teman yang sudah lama tinggal di Batam datang dengan sedan Honda-nya dan kami segera menuju pondok sea food dipinggir laut, sambil cerita2 soal masa lalu ketika kami masih kuliah. Teman memesan Kerang Gonggong (strombus turturella), hemm apa lagi nih, bentuk-nya mirip siput kecil dengan bagian ekor mencuat sedikit. Nah bagaimana cara makan-nya ? Gunakan tusuk gigi untuk menusuk ujung lunak dari ekor-nya, lalu tarik dengan hati2, celupkan di saus, dan nyam nyam, hemm rasanya seperti udang namun kenyal seperti cumi.
Bagaimana sekarang Batam ? Sepertinya apa yang dicita2kan Habibie tidak berjalan dengan mulus, justru saat ini Batam banyak sekali dikunjungi para pencari kerja tanpa ketrampilan memadai. Teman juga cerita bahwa , lokalisasi marak disana, dengan menyasar para lelaki "hidung belang" dari Singapore. Bahkan para pekerja lokalisasi pun multi etnis, karena tuntutan budaya global di Singapore.
Sayang aku tak sempat wisata ke salah satu jembatan terkenal yang menghubungkan Batam, Rempang dan Galang yang arsitekturnya terlihat sebagai kembaran jembatan Pasupati di Bandung. Semoga Batam segera berbenah dan menjadi kawasan maju yang sebenar-benarnya.
No comments:
Post a Comment