Bagian ketiga
dari trilogi alias JB (Jantera Bianglala) ini ternyata tetap konsisten memberikan
kejutan di akhir cerita, Jika dalam RDP (Ronggeng Dukuh Paruk), kejutannya adalah
Rasus meninggalkan begitu saja Srintil, maka dalam LKDH (Lintang Kemukus Dini
Hari) pembaca dibuat kaget dengan nasib tragis Srintil yang terpaksa masuk
penjara selama dua tahun, karena terjebak dalam pengaruh Bakar, oknum PKI yang
menjadikan perkumpulan ronggeng Dukuh Paruk sebagai alat propaganda-nya.
Bagaimana dengan
nasib Dukuh Paruk, tak kurang sialnya dengan nasib Srintil, Dukuh Paruk nyaris
musnah dibakar massa dalam huru hara 1965. Meski lebih cepat keluar dari
penjara, nyaris semua tokoh penting di lingkaran satu Srintil ikut terseret,
meski mereka sendiri tak jelas benar dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Apa sih arti jantera
?, sesuai kamus besar Bahasa Indonesia, arti jantera adalah kincir yang dapat digerakkan
angin atau air. Kenapa dirangkai dengan kata bianglala alias pelangi ?, mungkin
hanya Ahmad Tohari yang bisa menjelaskan ?, yang jelas kincir raksasa memang
sering diibaratkan sebagai pelangi. Apakah ini mengibaratkan hidup Srintil yang
dipermainkan nasib, lahir dari kedua orang tua perajin tempe bongkrek yang justru
akhirnya merengut nyawa mereka berdua, lalu tenar dan menaiki bianglala serta terbang
tinggi sebagai ronggeng ternama untuk kemudian dihempaskan nasib, kembali jatuh
dalam kubangan.
Dalam LKDH, tokoh
Rasus yang menghilang, ini muncul lagi dalam JB, namun hanya di awal dan akhir
cerita, dan kejutannya adalah ketika akhirnya Rasus memutuskan untuk kembali, namun
terlambat, karena Srintil telah mengidap depresi akibat perbuatan Bajus, sang kontraktor
brengsek yang mengorbankan-nya ke mafia proyek. Akhir cerita yang menyedihkan, sebagaimana kenyataan
hidup sendiri yang tak selalu berakhir bahagia, demikian lah trilogi ini
diakhiri dengan tragis.
Kemampuan Ahmad
Tohari dalam melukis alam dengan kata dalam JB, seperti nyaris menghilang,
mungkin dibanding RDP dan LKDH, JB mencapai level yang lebih rendah, meski
masih tetap menarik sekaligus menuntaskan akhir dari trilogi dengan bernas. Dan
meski tanpa lukisan, Ahmad Tohari tetap berhasil mengaduk ngaduk emosi pembaca,
dengan “menyiksa” Srintil secara habis-habisan.
Akhir kata, maka
para pembaca, pun menyesali kenapa, tokoh Rasus yang digambarkan berubah
menjadi lebih dekat dengan Tuhan, memiliki profesi sebagai tentara yang
dihormati, dan mampu melepaskan diri dari bayang-bayang suram Dukuh Paruk,
justru lebih dari sekali mengabaikan cinta Srintil. Bukannya merangkul Srintil ke
dalam kehidupan yang penuh cahaya untuk menghindar dari kelamnya Dukuh Paruk
yang cabul dan penuh dengan kebodohan, Rasus seakan akan menyongsong masa
depannya yang kemilau namun dengan membiarkan Srintil terpuruk di belakangnya. Meski
menyakitkan, namun memang akhir cerita seperti itulah yang lebih dipilih Ahmad
Tohari, dan mungkin karena akhir cerita layaknya Raumanen, karya Marianne Katoppo,
trilogi ini dengan akhir tragis ini, meraih posisi terhormat dalam kesusastraan
Indonesia.
Saya tutup review
ini dengan salah satu paragraf menjelang akhir buku “Aku diam dan menunduk. Ada
angin beliung berpusar keras dalam kepalaku. Dan beliung itu berubah menjadi
badai yang amat dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong dalam
kamar yang persis kerangkeng. Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah
yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat itu keberadaanku adalah nurani
tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk. Aku adalah hati ibu yang remuk karena
mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih
dahsyat daripada maut.”