Thursday, June 05, 2014

Kusmayanto Kadiman

Sebelum menjadi rektor ITB dan jauh sebelum menjadi Menteri Riset dan Teknologi di Kabinet Pembangunan SBY periode 2004 sd 2009, beliau merupakan atasan saya di Pusat Ilmu Komputer dan Sistem Informasi ITB (PIKSI ITB). Saat itu beliau kerap memanggil staf ke ruangan-nya dan jangan kaget, karena kaki beliau kadang diselonjorkan di meja, bukan karena kurang ajar, tetapi justru karena bagi beliau itu adalah satu bentuk keramahan tanpa jarak. Tentu saja sebagai staf mestinya kami pun memiliki hak yang sama untuk melakukan-nya dan kami yakin bahwa beliau pasti tidak akan mempersoalkannya, meski tidak ada yang berani melakukannya.

Pembawaanya yang santai dan penuh humor mengingatkan saya akan saat para instruktur di PIKSI ITB yang muda muda dan sudah terlihat cukup matang untuk menikah sering diledekin oleh beliau, dengan kalimat "Kalau hanya untuk pipis Tuhan tidak akan bikin sepanjang itu, tapi cukup segini" katanya kerap sambil menunjukkan satu ruas jari kelingking.

Pembawaannya yang familiar, juga sangat terlihat dalam proyek ITB saat kami melakukan pertemuan tingkat tinggi dengan manajemen PTPN XIII (Sekarang PTPN 8). Lobby yang dilakukan beliau berhasil "memaksakan" agar perangkat lunak yang kami bikin diujicoba agar dapat langsung dirasakan manfaatnya bagi perusahaan. Padahal tidak mudah bernegosiasi dengan Direktur PTPN XIII yang boleh dikatakan sudah nyaris manusia setengah dewa di lingkungan perkebunan. Berkat lobby-lobby itu kami akhirnya sukses mengimplementasikan perangkat lunak buatan kami dan bahkan akhirnya diimplementasikan juga di PTPN XII dan PTPN XI

Suatu hari, sebelum beliau diangkat menjadi rektor, saya sempat bertemu saat makan siang di kantin Labtek V. Beliau mengingatkan pada saya dan seorang teman agar memiliki cita-cita setinggi mungkin, karena kalau cuma yang rendah-rendah saja, nanti bingung kalau sudah tercapai. "Menjadi Doktor dan begitu tercapai lalu saya jadi nyaris kehilangan motivasi", jawab jebolan PhD dari Australia ini saat kami bertanya soal cita-citanya.

Beberapa saat setelah itu, beliau merevisi cita-citanya, dan akhirnya berhasil meraih kepercayaan sebagai Rektor ITB. Di era kepemimpinannya sebagai rektor, beliau berhasil "menggusur" para pedagang kaki lima di depan kampus ke tempat yang lebih pas.



Sukses sebagai rektor,  beliau diberi kepercayaan oleh SBY, sebagai Menristek. Sayang konfliknya dengan team Blue Energy yang memiliki akses khusus ke SBY, membuat hubungannya dengan SBY memburuk. Kusmayanto Kadiman secara terang-terangan mengeritik riset yang dilakukan Blue Energy termasuk via media. Setelah beliau tidak lagi menjabat sebagai Menteri, barulah terbuka betapa asal-asalan-nya penelitian yang dilakukan oleh team Blue Energy tsb, dan bahkan sempat kehilangan salah satu peneliti otodidaknya.

Tahun 2009 menjelang masa akhir jabatannya, saya bertemu beliau saat menemani istri mengikuti seminar kesehatan di Hotel Mulia Senayan. Saat itu sedang ada pameran Riset dan Teknologi di area parkir Senayan.  Tidak bertemu nyaris sepuluh tahun, ternyata tak membuatnya melupakan saya, beliau yang saat itu sedang wawancara  dengan salah satu TV Nasional tak segan2 menghentikan shooting, dan langsung menyalami saya dengan ramah dan bersahabat, di iringi pandangan kurang suka crew TV ke arah saya.

Saat kabinet pembangunan 2009 sd 2014 diumumkan nama beliau tidak lagi disebut-sebut, namun integritasnya sebagai ilmuawan tak membuat beliau menyesali perlakukan SBY padanya. Itulah Kusmayanto Kadiman yang saya kenal, sosok blak2an, apa adanya dan humoris, serta memberikan banyak pelajaran bagi saya.  Hari ini saya mendadak ingat beliau setelah membeli buku karyanya yang berjudul "Tanpa Gaptek dan Gupsos, Menuju Generasi Indonesia Bisa".


No comments: