Awalnya saya menemukan banyak tulisan beliau yang dishare jaringan teman-teman saya di facebook. Lambat laun saya follow sendiri dan tertarik dengan tulisan
beliau yang jernih, logis,
pendek-pendek namun bernas. Sepertinya gaya penulisan to the point ini karena
beliau cukup lama menjadi koresponden media asing, dimana salah satunya
saat-saat Timor Timur memisahkan diri dari Republik Indonesia. Selain sebagai jurnalis Kafil Yamin juga dikenal
sebagai penulis buku, editor, mentor teknik penulisan, pegiat lingkungan dan
konservasi alam. Misalnya status Kafil Yamin saat mengomentari acara Kita
Indonesia, yang penuh sampah serta perusakan taman dengan
Aku
tidak termasuk dalam kata KITA-mu.
Dan
Indonesia terhina di-KITA-kan olehmu dengan cara begini, Ini bukan kebhinekaan.
Ini
keterbelakangan, kebiadaban.
Semakin kesini, Kafil Yamin terlihat semakin mengikuti kata
hatinya dalam menulis status,
bisa jadi karena di facebook
situasinya agak berbeda dengan menulis untuk media. Namun tulisannya meski
semakin terasa berpihak (pada kebenaran yang diyakini beliau),
tetap enak dibaca. Suatu hari, dengan difasilitasi seorang dokter yang berpraktek di Surabaya yakni
Nikmah Sagran, Kafil Yamin memutuskan menulis tentang 212.
Sebagai alumni 212, buat saya membeli karya ini, membantu
melihat peristiwa ini dari
perspektif Kafil Yamin. Beliau membuat kronologis dua demo sebelumnya, menulis
beberapa catatan saksi mata, dan yang paling mengasikkan adalah tulisan saat-saat KH Nonop dari Ciamis, memutuskan untuk tetap jalan meski aparat
pemerintahan keberatan, dan tidak ada satupun PO (perusahaan otobis) yang mau
membawa mereka kuatir oleh aparat. Inisatif KH Nonop Hanafi inilah yang
akhirnya memicu pergerakan masif yang menggerakkan hati masyarakat dari berbagai
daerah datang ke Jakarta dalam aksi damai yang mungkin tercatat dalam sejarah
sebagai salah satu aksi terbesar dunia. Lepas dari kontroversi jumlah massa
sebenarnya.
Bagi yang percaya
keajaiban, seperti awan yang melindungi rombongan mujahid Ciamis, makanan yang
tidak putus-putus, para pedagang kecil yang menggratiskan dagangannya justru
mendapatkan keuntungan yang berlipat, air hujan yang turun dan lalu berhenti
seakan akan hanya untuk memberi kesempatan jamaah untuk berwudhu, bau wangi
yang merebak, jamaah yang menjaga kebersihan, semua tanaman bahkan termasuk
rumput sekalipun, juga menjadi sebagian
dari kisah-kisah yang disampaikan Kafil Yamin.
Meski agak kurang
sreg dengan kata “Agung” dalam judulnya, membaca buku ini dengan hati, tak urung menyebabkan haru, berkali kali saya tercekat,
menghela nafas panjang dan berkaca-kaca. Kafil Yamin selain sebagai salah satu
peserta dalam 212, juga sengaja
berkunjung ke Ciamis dan mewawancarai langsung santri sekaligus mujahid,
sehingga membuat kisah ini semakin hidup. Meski cukup banyak error typho, namun
secara keseluruhan, buku ini menarik untuk ditelaah, dan layak dimiliki alumni
212 ataupun pihak-pihak yang saat 212 berhalangan hadir dan ingin merasakan
suasananya.
Cara mempertahankan,
melindungi, meruwat NKRI itu bukan terutama dengan konsolidasi partai,
menangkal gerakan ini-itu, melainkan dengan menegakkan keadilan di segala
bidang, saling menghargai, saling bisa menempatkan diri.
Kafil Yamin