Sampai di
Pelabuhan Ulee Lheue, kami langsung dijemput Mbak Reny dan Bang Faizal,
destinasi pertama adalah Kapal PLTD Apung. Jarak kapal ini dengan pelabuhan
sekitar 5 km, yang sekaligus menggambarkan betapa dahsyatnya tsunami yang
menggeser posisi kapal sepanjang 63 meter dan berat 2.600 ton ini ke tempat sekarang
dan akhirnya diubah menjadi museum peringatan tsunami.
Di bagian depan
nampak sebuah monumen peringatan yang berisi nama-nama korban di di Desa Punge,
Blancut, Banda Aceh tersebut. Kapal ini konon tersapu gelombang setinggi 9
meter, dan menyisakan satu-satunya awak yang selamat. Saat kami kesana, lokasi
kapal nampak ramai dan terlihat pameran foto-foto seputar tsunami dalam rangka
peringatan 12 tahun tsunami yang akan diselenggarakan keesokan harinya, yakni
26 Desember. Menurut mbak Reny, di bagian bawah kapal diduga masih banyak
jenazah yang terkubur selamanya. Dibagian dalam kapal dilengkapi dengan
berbagai poster dan visualisasi grafik mengenai tsunami yang pernah terjadi.
Dari sini kami
langsung menuju Museum Tsunami yang rancangannya dibuat oleh Ridwan Kamil,
ternyata situasi disini malah lebih ramai. Ada acara orasi dan puisi dalam
rangka peringatan. Di bagian depan museum yang idenya mengambil bentuk kapal, nampak
helikopter yang tak sempat terbang lantas rusak tersapu tsunami.
Lorong masuk ke dalam museum disertai peringatan khususnya yang memiliki ketakutan pada tempat gelap. Si Bungsu langsung mengintil gemetaran di belakang saya, ketika kami memasuki lorong gelap (space of fear) dengan dua sisi dinding basah yang mengalirkan air. Setelahnya kami memasuki ruang kenangan (space of memory), dimana kita disediakan banyak display yang memutar gambar-gambar masa lalu. Selanjutnya di ruang sumur doa yang berisi nama-nama sebagian dari korban dengan bagian plafon dihiasi kaligrafi Allah (space of sorrow). Kemudian mengelilingi lorong cerobong yang berputar putar (space of confuse), dan akhirnya merasa lega di jembatan menuju masa depan (space of hope) dimana bagian langit-langitnya dihiasi 54 bendera dari negara-negara yang memberikan bantuan kemanusiaan di masa itu.
Lorong masuk ke dalam museum disertai peringatan khususnya yang memiliki ketakutan pada tempat gelap. Si Bungsu langsung mengintil gemetaran di belakang saya, ketika kami memasuki lorong gelap (space of fear) dengan dua sisi dinding basah yang mengalirkan air. Setelahnya kami memasuki ruang kenangan (space of memory), dimana kita disediakan banyak display yang memutar gambar-gambar masa lalu. Selanjutnya di ruang sumur doa yang berisi nama-nama sebagian dari korban dengan bagian plafon dihiasi kaligrafi Allah (space of sorrow). Kemudian mengelilingi lorong cerobong yang berputar putar (space of confuse), dan akhirnya merasa lega di jembatan menuju masa depan (space of hope) dimana bagian langit-langitnya dihiasi 54 bendera dari negara-negara yang memberikan bantuan kemanusiaan di masa itu.
Tak heran
rancangan ini menyabet penghargaan kelas dunia, sayangnya saat kami kesana
display mulai terlihat tidak cerah, beberapa alat peraga terlihat berdebu,
dinding mulai kusam. Sepertinya Pemerintah daerah harus segara berbenah melakukan
perbaikan di museum keren ini.
No comments:
Post a Comment