Di Bandara kami
dijemput mbak Reny Nasutri guide yang aslinya berasal dari Pulau Simeulue dan driver
Bang Faizal Nasution, orang Batak yang tidak bisa bahasa Batak karena sudah
sangat lama di Banda Aceh. Dalam perjalanan Bang Faizal cerita sempat kehilangan adik kandungnya saat
musibah tsunami tepat 12 tahun lalu.
Dari sini kami langsung ke Pelabuhan Ulee Lheue yang berjarak 20 km atau sekitar 40 menit, mengejar kapal Ferry Express skedul jam 09:30 menuju Pelabuhan Balohan di Pulau Weh. Kapal Ferry yang membutuhkan waktu 45 menit untuk jarak sekitar 30 km ke Pelabuhan Balohan ini hanya memiliki jadwal 2x sehari, dan Bang Faizal memutuskan melintasi pinggiran Banda Aceh untuk mempercepat waktu.
Dari sini kami langsung ke Pelabuhan Ulee Lheue yang berjarak 20 km atau sekitar 40 menit, mengejar kapal Ferry Express skedul jam 09:30 menuju Pelabuhan Balohan di Pulau Weh. Kapal Ferry yang membutuhkan waktu 45 menit untuk jarak sekitar 30 km ke Pelabuhan Balohan ini hanya memiliki jadwal 2x sehari, dan Bang Faizal memutuskan melintasi pinggiran Banda Aceh untuk mempercepat waktu.
Kami melewati pemakaman massal korban tsunami Siron tempat 46.718 korban tsunami dimakamkan, lalu jembatan besar untuk ke dan
dari Pelabuhan Ulee Lheue dimana menurut mbak Reny sempat menjadi tempat penampungan sementara
ribuan jenazah sebelum dibawa oleh eskavator raksasa ke Siron. Di tempat ini petugas masih
memberikan kesempatan pada penduduk untuk mencari jenazah sanak saudaranya,
terbayang tumpukan jenazah yang begitu banyak dan sanak saudara yang mencari
jenazah kerabatnya. Tak terasa bulu kuduk saya meremang mendengar cerita mbak
Reny.
Tiket Ferry Express
Bahari untuk VIP sekitar 105.000 IDR per orang, jika ingin menghemat bisa
menggunakan kapal biasa namun lebih lambat sekitar dua kalinya, Tetapi jika
ingin melihat lumba-lumba, disarankan untuk menggunakan kapal yang lebih
lambat ini. Meski tidak selalu, namun menurut guide kami, lumba-lumba senang mengikuti kapal menuju Pulu Weh.
Meski sudah
berusaha cepat dan tiba pada waktunya namun ferry tidak kunjung berangkat, usut
punya usut, ternyata sedang menunggu pejabat kepolisian yang terlambat tiba.
Begitulah di kota-kota kecil seperti ini, kadang skedul harus mengalah demi
kepentingan pejabat. Jadi ingat kisah menteri yang sempat ribut karena
ditinggalkan pesawat beberapa saat lalu.
Di ferry yang
sangat dingin dan membuat saya beberapa kali keluar ruangan karena tidak tahan,
diputar lagu-lagu karaoke dengan volume kencang, mulai dari Wali, Ungu, dan
bahkan Pance Pondaag. Tak terasa kamipun tiba di Pelabuhan Balohan, karena Bang
Romi yang ditunjuk menjadi guide kami sempat tidak terlihat, maka kami sempat
celingak celinguk beberapa saat dan langsung di”teror” sejumlah supir rental.
Namun syukurlah Bang Romi datang membantu mengangkut tas ke pinggir jalan dan
langsung mengambil Toyota Innova putih andalannya. Sambil menunggu Bang Romi
menjemput, mata saya melirik sekumpulan udang goreng berukuran besar dan
terlihat sangat lezat, di warung di depan jalan.
Kami segera menuju Kencana Cafe, karena perut yang sudah kelaparan saya langsung mengambil gulai udang, udang goreng, terong, tempe, dan cumi, masih ingin mengambil kakap merah goreng, eh istri mengingatkan saya untuk menjaga asupan. Dengan badan sebesar saat ini, tidak mudah memang menikmati kuliner dengan didampingi polisi eh maksud saya istri.
Untuk minuman khas Sabang disini disediakan dua macam, yakni Jus Timun Cincau dan Jus Pepaya Cincau. Masakan salah satu restoran ala warteg ternama di Sabang ini memang sedap, tak salah di depan kasir nampak foto Jokowi yang sempat makan disini tahun 2015 lalu bersama sang pemilik Kencana Cafe. Total biaya di Kencana Cafe menghabiskan sekitar 175.000 IDR, termasuk murah untuk makanan selezat itu.
No comments:
Post a Comment