Perjalanan lanjut
kembali, lalu kami memasuki kawasan Taman Simalem Resort yang menurut Bang
Ernov sempat akan dibuat untuk menandingi Genting Highland, namun karena
masalah perizinan, akhirnya kawasan wisata ini menjadi sekedar lokasi wisata
saja, termasuk lapangan golf, restoran, lokasi pengamatan tertinggi Danau Toba
yang dikenal dengan nama Tongging Point serta satu bukit kecil dengan satu
pohon di area Tongging Point yang dikenal dengan nama One Tree Hill. Saat
menaiki undakan tanah, dan berhenti di pinggir jurang, nafas saya seakan
terhenti melihat landscape Danau Toba yang lebih indah lagi dari Air Terjun
Sipiso Piso. Benar-benar luar biasa bumi ciptaan Allah ini, sejujurnya ini
adalah benar-benar pemandangan terindah dalam hidup saya, mengalahkan keindahan
Bromo yang sebelumnya saya kira sebagai yang terindah.
Untuk mendapatkan ketajaman gambar, saya menggunakan teknik yang dishare Leo, salah satu rekan kantor dua tahun lalu, yakni bukaan sekecil mungkin, ISO sekecil mungkin, menggunakan manual fokus dan diset tak hingga, lalu diputar sedikit kearah berlawanan. Untuk shutter saya set di auto. Alhamdulillah hasilnya tidak mengecewakan, maklum momen berharga seperti ini kadang hanya 1x seumur hidup. Jika masih kuranng tajam, kita bisa set parameter clarity dan parameter sharpen via software foto digital seperti Lightroom.
Di sini kami
menuntaskan makan siang sambil melihat keindahan Danau Toba dari sisi lain.
Restoran di Taman Simalem Resort memiliki makanan yang enak dan berkualitas.
Nampak resort ini tengah dibenahi dan dipercantik dengan taman-taman, kolam dan
sarana wisata lainnya. Menurut Bang Ernov masuk kesini terhitung mahal, apalagi
kalau mau menginap di resortnya, namun Aulia Tour Travel memiliki kontrak
khusus yang memungkinkan kami dapat fasilitas khusus. Saya saling berpandangan
dengan istri, rangkaian acara di hari terakhir ini mampu menutup habis
kekecewaan kami sebelumnya.
Lalu kami menuju Gunung Sinabung, dan berhenti beberapa kilometer sebelumnya, karena menurut Bang Ernov situasinya masih sangat berbahaya dan susah diprediksi, saya mencari spot bagus untuk mengabadikan awan dan asap tebal di sekitar Gunung Sinabung yang berdiri bersisian dengan Gunung Sibayak.
Lalu kami menuju Gunung Sinabung, dan berhenti beberapa kilometer sebelumnya, karena menurut Bang Ernov situasinya masih sangat berbahaya dan susah diprediksi, saya mencari spot bagus untuk mengabadikan awan dan asap tebal di sekitar Gunung Sinabung yang berdiri bersisian dengan Gunung Sibayak.
Untuk mengurangi
kebosanan Bang Ernov cerita, dia dulu sempat masuk ITB jurusan Informatika tahun
1984, namun orang tuanya keberatan jika dia meneruskan kuliah di Bandung, dan
diminta meneruskan usaha keluarga di bidang pertanian. Pada awalnya usahanya berjalan lancar, saat itu pertanian keluarga bahkan memiliki truk besar Toyota "Buaya" demikian Bang Ernov menyebutnya.
Keempat adiknya akhirnya menjadi sarjana, salah satunya bahkan bekerja di IBM di luar Indonesia. Sementara Bang Ernov ditipu rekan bisnisnya di tahun 2008, sehingga terpaksa memulai hidup dengan menjadi supir travel. Bang Ernov juga mengenal beberapa rekan saya saat di masi bekerja di ITB seperti Pak Sudjati Rachmat dan Pak Adi Moeljanto. Dia bahkan sempat berdiskusi mengenai perbedaan beberapa bahasa pemrograman.
Keempat adiknya akhirnya menjadi sarjana, salah satunya bahkan bekerja di IBM di luar Indonesia. Sementara Bang Ernov ditipu rekan bisnisnya di tahun 2008, sehingga terpaksa memulai hidup dengan menjadi supir travel. Bang Ernov juga mengenal beberapa rekan saya saat di masi bekerja di ITB seperti Pak Sudjati Rachmat dan Pak Adi Moeljanto. Dia bahkan sempat berdiskusi mengenai perbedaan beberapa bahasa pemrograman.
Akhirnya
sampailah kami di Berastagi, sambil menunggu istri berbelanja oleh-oleh dan
souvenir saya, Si Sulung dan Bang Ernov menikmati air tebu dengan ditemani
kudapan Jagung Bakar Pedas yang sudah diiiris dan dihidangkan di piring.
Dari sini kami
lanjut ke Rumah Gugung Tirto Meciho, di area Museum Pusaka Karo, yakni sebuah
rumah adat Karo yang dihuni delapan keluarga sekaligus. Sayangnya saat itu
sedang berlangsung acara di depan gereja besar ditengah kompleks Museum,
sehingga situasi sepertinya kurang mendukung bagi kami untuk eksplorasi lebih
lanjut. Istri dan Si Bungsu yang
berjilbab nampak ganjil dan menjadi pusat perhatian ditengah komunitas Karo di
kompleks tersebut.
Kami beristirahat
sejenak di Masjid Al Kamal, di Sibolangit, dan setelah memasuki Medan, kami
makan malam dulu di Mie Aceh Titi Bobrok di Jalan Setia Budi. Sebelum kembali
ke Grand Angkasa, kami memutuskan mengunjungi adik almarhum ayah mertua yakni
Tante Aida (71 tahun) dan Oom Agus (75 tahun) yang dulu sempat menjadi pejabat
penting di BRI Medan, di sekitar km 12 kearah Binjai.
No comments:
Post a Comment