Lalu kami menuju Kapal
Nelayan di Lampulo yang berdasarkan keterangan di plakat berbunyi demikian “Kapal
ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga
tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya
musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian
itu”. Kalau ditarik garis lurus lokasi kapal dengan berat 20 ton ini, memang
dengan bibir pantai terdekat jaraknya cuma sekitar 1 km.
Mbak Reny
berkisah, salah seorang korban selamat sebenarnya sudah mendapatkan mimpi akan
mendapatkan pertolongan Allah melalui kapal ini, lalu beliau mengajak
tetangganya, sayang hanya sedikit yang percaya padanya. Kejutan bagi saya,
kalau kisah Nabi Nuh ternyata seakan akan bisa terjadi kembali lewat kapal
sepanjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini.
Sayangnya karena
tidak dalam ruangan tertutup, kondisi kapal sudah sedikit kusam, sepertinya
memerlukan perhatian pemerintah juga untuk melakukan rehabilitasi kapal ini
sebelum lapuk dimakan usia. Saat meninggalkan kapal saya berhenti sebentar di
pelabuhan tradisional untuk mengabadikan beberapa gambar.
Karena sudah
lapar, maka kami langsung menuju jalan Panglima Polem 83-84 di daerah Peunayong
untuk menikmati Mie Aceh Razali. Saya memesan Mie Kepiting dengan kepiting
berukuran cukup besar berkuah kental yang rasanya lebih enak di banding Mie
Aceh di Bandung. Sama seperti Kencana Cafe di Sabang, Mie Razali juga memajang foto Jokowi saat berkunjung ke Banda Aceh. Untuk minum kami
memesan Teh Tarik yang disiapkan langsung oleh “barista” Razali dengan cara
yang unik. Makan di Razali menghabiskan sekitar 269.000 IDR, seporsi Mie Kepiting Aceh kira2 40.000 IDR, sedangkan segelas Es Teh Tarik 12.000 IDR.
Berikutnya adalah
Pusaka Souvenir di jalan Sri Ratu Syafiatuddin untuk membeli beberapa
pernik-pernik dan makanan khas. Secara umum makanan tradisional Aceh mirip
dengan kota-kota lain, misalnya sale pisang, krupuk pisang, emping melinjo,
berbagai jenis kacang. Jika anda menginginkan yang unik, sepertinya memang cuma
Kopi Aceh, Rencong dan berbagai tas rajutan yang memenuhi syarat.
Karena sudah
memasuki waktu shalat, kami bersegera menuju Masjid Baiturrahman, Si Bungsu
yang bercelana panjang tidak diperkenankan masuk sebelum menggunakan sarung.
Sayang sekali masjid ini tengah direnovasi, saya yang berusaha mencari sudut terbaik,
ditegur pengawas bangunan karena terlalu dekat dengan area perbaikan. Lantai di
bagian depan diganti dengan marmer putih berukuran besar yang mengingatkan saya
akan marmer Masjidil Haram. Selain marmer ala Masjidil Haram, masjid ini juga
sedang melakukan penambahan beberapa payung raksasa seperti di Madinah.
Entah kenapa ada
cukup banyak pengemis di area nyaris sekitar empat hektar yang dapat menampung
sekitar 9.000 jamaah ini. Saya yang tertarik memotret salah satu wajah pengemis
yang kerutan wajahnya sangat ekspresif dan rasanya layak masuk kontes foto
dunia, sayang beliau segera kabur dan menolak untuk saya foto.
Cuaca yang
semakin panas membuat kami kehausan dan segera berkunjung ke Es Campur Afuk
jalan Pocut Baren di depan Methodist
Kampung Mulia. Minum Es ini rasanya menyegarkan, diracik sendiri oleh pemilik
resep, langsung membasahi tenggorokan kami yang kering.
No comments:
Post a Comment