Setelah kapal
berlabuh di pelabuhan Tomok, kami berjalan kaki kearah kiri. Di sepanjang jalan
nampak banyak warung setempat menjual babi dengan asap pemanggangan bertiup
kemana-mana. Di Tapanuli Utara biasanya ada dua masakan kontroversial bagi
penganut Islam, yang pertama disebut dengan B1 alias Biang yang berarti Anjing,
lalu B2 alias Babi. Kami juga menemukan pemandangan yang sama saat melewati Siantar dan nantinya ketika melewati wilayah Karo saat pulang, dimana daging Babi dijual di pinggir jalan raya, lengkap dengan kepalanya yang terpenggal seakan menyapa pengguna lalu-lintas. Si Bungsu awalnya sempat shock melihatnya, maklum saja yang pernah dia alami saat di Macau lebih elegan, alias semuanya sudah dijual dalam bentuk dendeng.
Bang Ernov lalu berhenti disebuah warung makan muslim yang kalau tidak salah bernama Berkah. Berbeda dengan travel di Banda Aceh, Aulia Tour Travel menanggung seluruh makan kami selama perjalanan kecuali oleh-oleh atau makanan tambahan atas permintaan kami sendiri. Masakan di Warung Berkah mirip dengan masakan Padang, tidak istimewa namun bisa mengembalikan kami ke kondisi siap tempur.
Bang Ernov lalu berhenti disebuah warung makan muslim yang kalau tidak salah bernama Berkah. Berbeda dengan travel di Banda Aceh, Aulia Tour Travel menanggung seluruh makan kami selama perjalanan kecuali oleh-oleh atau makanan tambahan atas permintaan kami sendiri. Masakan di Warung Berkah mirip dengan masakan Padang, tidak istimewa namun bisa mengembalikan kami ke kondisi siap tempur.
Kami menaiki
tangga ke Makam Batu Tua Raja Sidabutar. Sebelum masuk seorang pria tua meminta
kami menggunakan selendang adat. Makam batu tanpa sambungan ini nampak tua
sekali, sayangnya saat mengabadikan dibagian latar terlihat spanduk ucapan
selamat Natal dan Tahun Baru berukuran besar, yang cukup mengganggu visualisasi
artistik saat mengabadikan makam. Di makam ini ada tiga kuburan Raja Sidabutar dan tiga
kuburan para keturunannya. Makam ini terdiri dari keluarga Raja Sidabutar, sejak
masih menganut aliran kepercayaan atau Parmalim hingga menganut agama Kristen (dibawa
oleh Nommensen tahun 1881). Perbedaan aliran ditandai dengan kain yang
diletakkan diatas makam.
Dari sini kami
lanjut masuk ke pasar yang menjual berbagai kerajinan, dan berbelok ke gang di
kanan tepatnya Desa Wisata Tomok Parsaoran, dan langsung masuk ke sebuah area
dengan empat buah rumah adat, dimana pada rumah adat terdekat terlihat Boneka
Kayu Sigale Gale yang dengan bantuan seorang guide menari tortor bersama para
pengunjung. Istri yang mengira boneka tersebut digerakkan tenaga gaib nampak
terlihat tegang, sampai akhirnya Si Bungsu sambil menahan tawa menyampaikan apa
yang dilihatnya di balik panggung Boneka Kayu, yakni seorang pria yang beraksi
layaknya dalang.
Boneka Kayu
Sigalegale menurut sejarah beberapa abad lalu, adalah simbol anak satu-satunya
Raja Rahat yang memerintah di Uluan saat jatuh sakit. Segala cara telah dicoba,
tetapi anaknya tetap tidak tertolong. Raja Rahat akhirnya memerintahkan pemahat
membuat patung kayu sebagai perwujudan anaknya yang disebut Sigalegale. Agar
bisa menari dan terlihat hidup dibuat jalinan tali temali dan kayu untuk menggerakkan
boneka tersebut.
Tadinya saya
mengira Boneka Kayu ini adalah satu-satunya di Samosir, belakangan penduduk
setempat mengatakan ada tiga Boneka Kayu Sigalegale. Tak jelas juga mana yang
asli, dan bisa jadi kedua boneka tambahan lebih untuk kepentingan komersil. Nampak
juga Monumen Kayu Tungtung setinggi kira-kira tujuh meteran yang digunakan
sebagai alat komunikasi bagi masyarakat setempat.
Lalu kami menuju
Batak Museum yang masih terletak di Tomok dan berisi benda-benda kuno yang
dipakai untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat Batak zaman dulu yang telah
berusia ratusan tahun. Mulai dari senjata, mata uang, berbagai perangkat rumah
tangga, dan lain-lain. Sayangnya ruangan tengah dalam rumah adat ini luar biasa
gelap, sehingga menyulitkan kami mendokumentasikan benda-benda di ruang ini. Ada
museum lain di Balige yang dibuat atas inisiatif T.B. Silalahi, namun kami
tidak menjadikan ini sebagai destinasi.
Saat pulang kami
mampir di Batu Kursi Persidangan, yang
digunakan oleh masyarakat adat untuk menentukan hukuman bagi pelanggar adat.
Batu kursi persidangan yang biasa dikunjungi adalah Batu Persidangan Siallagan,
namun kami tidak berkunjung ke Siallagan. Seluruh lokasi yang kami kunjungi hanya
disekitar Desa Wisata Tomok. Samosir yang memiliki luas kurang lebih seluas SIngapura yakni 630 km2 tidak mungkin
kami jelajahi dengan waktu yang sangat terbatas. Dari Pelabuhan Tomok kami
kembali ke Pelabuhan Ajibata, dalam perjalanan nampak seorang anak perempuan
membuang isi Popmie ke perairan danau sedangkan orangtuanya membiarkan begitu
saja. Penumpang di kiri, kanan dan belakang kami melolong menyanyikan berbagai
lagu yang diputar dengan volume kencang lewat sound system kapal, seakan akan
lagu-lagu itu sudah mereka pesan sebelumnya.
Bayangan kami
Atsari Hotel ini memiliki view ke Danau Toba, sayangnya kamar kami hanya
menghadap dinding pembatas dengan bangunan lain. Lalu jam 19:00 kami makan di
restoran Atsari yang memang sengaja diset secara khusus bagi kami berempat
dengan iringan musik live. Ini benar-benar pertunjukan private dan suguhan
spesial Aulia Tour Travel , meski menunya seperti kebanyakan hotel, alias relatif
biasa saja.
Setelah makan,
saya yang merasa belum mendapatkan obyek foto menarik, meminta Bang Ernov
melintasi bukit-bukit di sekitar Danau Toba, namun cahaya yang terlalu lemah,
kabel, pohon dan tiang menyulitkan kami mengambil foto indah. Belum lagi nyaris
sepanjang jalan di pinggir Danau Toba sudah penuh dengan warung-warung.
Malam harinya,
saya berdiskusi dengan istri mengenai petualangan kami kali ini yang terasa
seperti anti klimaks dibanding Banda Aceh dan Sabang, situs-situs di Samosir
yang tidak menarik, Danau Toba yang kotor, makanan yang kurang mengundang
selera, dan betapa kami diliputi keraguan soal halal dan haramnya kuliner di
sekitar Danau Toba.
No comments:
Post a Comment