Monday, March 24, 2014

Pertemuan dengan Ratu Pantai Selatan


Saat masih kuliah sambil bekerja, saya dan rekan2 ditugaskan ke Cisompet, salah satu lokasi perkebunan di kawasan PTPN XIII (sekarang PTPN VIII Nusantara). Di lokasi ini lah PTPN XIII dimasa itu  menjalankan budidaya Kakao, Cengkeh, Kopi dan Teh.  Untuk ke sini kita melewati Garut dan pantai sepanjang jalur selatan, kadang pantainya terlihat kadang tertutup pepohonan. Setelah sekitar dua sd tiga jam menempuh jalan yang sangat jelek serta berbagai macam jembatan yang sering-seringnya dibuat dengan batang pohon kelapa, akhirnya Taft GT kami sampai ke Cisompet.

Untuk bekerja, mereka meminjamkan kami sebuah ruangan yang lantainya dibuat dari semen yang diperkeras, namun warna lantainya marun gelap dengan pola yang cenderung tidak rata. Saat malam menjelang, untuk mencegah kantuk rekan2 dari PTPN VIII bercerita kalau rumah tersebut dulu merupakan lokasi pembantaian kelompok yang diduga bagian dari organisasi terlarang. Menurut mereka pola  marun gelap itu merupakan bagian dari genangan darah yang sempat “membanjiri” tempat pembantaian tersebut. Mereka juga menyarankan kami agar tidak bekerja sendirian, karena konon kabarnya jeritan mahluk halus terkait korban pembantaian masih sering terdengar. Cerita seram tempat itu ternyata cukup menegakkan bulu roma kami yang terpaksa tetap bekerja malam untuk mengerjar target.

Pada malam kedua, mereka bertanya apakah kami mau ikut upacara di pinggir laut untuk menyambut kedatangan Ratu Pantai Selatan.  Pada hari2 tertentu di daerah ini memang dilakukan upacara terkait penghormatan terhadap Ratu Pantai Selatan. Sahabat saya yang menggeleng geleng tidak percaya, cuma di ditanggapi dengan senyuman oleh mereka. Dan lalu menawarkan untuk melihatnya sendiri jika tidak percaya. Sahabat saya mulai goyah, dan mereka semakin gencar meyakinkan kami kalau Ratu Pantai Selatan nantinya akan terlihat menuju daratan dengan kereta khusus beserta para pengawalnya. Melihat situasinya yang cukup sulit bagi rekan saya, maka saya coba menengahi, bahwa meski dia tidak yakin, namun secara  psikologis hal ini akan berdampak berat bagi dia dan dapat membuatnya krisis kepercayaan.

Saya lalu mengajak teman saya yang “terperangkap” undangan tersebut berbicara dari hati ke hati. Pada intinya saya menyarankan-nya untuk tidak ikut dalam upacara tersebut. Karena dengan ilmu agama pas2an yang dia miliki, maka dia potensil untuk ter”influence” dalam ritual yang bagi saya tak ubahnya interaksi dengan mahluk halus, sedangkan keyakinan saya mengajarkan hanya Allah-lah tempat meminta. Saya juga mengingatkan-nya bahwa memang pada ritual tertentu seperti saat saya tinggal di Bali, para dewa memang dapat dilihat bagi orang-orang tertentu dengan bantuan pendeta membuka indra yang mampu melihat penampakan, seperti misalnya Batara Guru dengan kendaraan Sapi-nya yang legendaris.

Jika kita tidak memiliki kualitas keimanan yang cukup, maka hal seperti ini jelas akan membuat kita goncang. Tanpa bermaksud menyerang keyakinan lain, bagi saya semua penampakan itu tak lain membuktikan kemampuan mahluk halus sebangsa jin untuk dapat mengubah dirinya dalam bentuk apapun agar dapat menyesatkan manusia.  Dan tugas kita lah mengenal Allah yang sebenar-benarnya Allah, agar jalan yang kita tempuh senantias lurus menuju kepadaNya. Menjelang dini hari sebelum detik2 penjemputan, teman saya akhirnya memutuskan tidak jadi mengikuti acara tersebut, dan meski kami kehilangan momen “dahsyat” menyaksikan munculnya Ratu Pantai Selatan, saya pribadi tidak pernah menyesal akan putusan yang sudah diambil.

1 comment:

Syaila Safina said...

Om, koq lama tidak update lagi,...