Monday, July 08, 2013

Running with Scissor - Augusten Burroughs

Saat jalan2 ke Palasari, salah satu sentra buku di Bandung yang terkenal dengan buku discount, buku bekas dan buku pelajaran, saya melihat sebuat toko buku diseberang-nya yang berukuran besar dan terlihat lebih seperti toko sekelas Toga Mas dibanding kebanyakan tetangga-nya di Palasari. Di bagian depan terlihat sebuah buku dengan cover sederhana, karya Augusten Burroughs. Langsung saja saya comot dan dibawa pulang.

Setelah saya "lalap", karya Augusten Burroughs ini benar2 mengagetkan, secara psikologis saya pribadi cukup terganggu membaca-nya, dan menimbulkan prasangka serius, bahwa Burroughs (mengingatkan saya akan kreator Tarzan) mengidap penyakit yang sama dengan tokoh2 yang dia ceritakan dalam buku ini.



Mengisahkan pengalaman pribadi yang aneh, selera humor dengan kecenderungan gelap, serta menunjukkan bakat menulis yang menarik, plus bahasa yang mengalir . Koleksi informasi dari masa lalu Augusten yang cukup detail dimungkinkan karena ybs memiliki kebiasaan menulis diary sejak kecil.
 

Berayahkan seorang profesor Matematika di Massachussets yang sering mabuk serta penderita arthritis akut yang tidak perduli dengan keluarga dan beribukan seorang penderita depresi akut. Serta tak ketinggalan seorang abang yang meski jenius dan sempat menjadi technical support KISS (Group Glam Rock di tahun 70-an) namun menderita autis dan kabur dari rumah sejak remaja. Obsesi ibu-nya menjadi penulis puisi terkenal serta menjadi selebriti plus  kesukaan-nya memakan lilin menambah kegilaan suasana dalam buku ini.  Masih belum cukup, ibunya pun seorang pencinta sesama jenis dan bahkan sempat dipergoki oleh Augusten, saat bermesraan dengan seorang tetangga yang ironis-nya justru anak pendeta.

Sejak kecil, Augusten dibesarkan dalam kondisi "perang" antara kedua orang tua-nya serta tidak jelasnya aturan termasuk kebebasan yang kebablasan termasuk dalam penggunaan obat2an. Di usia 12 tahun dia diserahkan ke seorang psikiater yang ternyata tidak kalah gilanya.
Di rumah psikiater yang juga menampung pasien, serta keluarga psikiater yang diperbolehkan mengekpresikan apapun termasuk amarah, Augusten mencoba bertahan. Namun dia sempat menjadi korban salah seorang pasien yang ternyata seorang pedophile, dan dilecehkan meski dibawah umur. 

Kegilaan keluarga professor bahkan sampai dengen kebebasan bagi anak2nya untuk berhubungan seksual dengan pasien-nya, membongkar atap rumah, atau bahkan mengamati dan mencatat bentuk kotoran (maaf) mereka dan dikeringkan dihalaman. Tingkah laku psikiater yang sebenarnya juga sakit ini mengingatkan saya akan Radovan Karadzic, psikiater yang terlibat genosida dengan membantai muslim Bosnia.

Buku yang meraih New York Times Best Seller  ini juga ditutup dengan epilog, kondisi tokoh2 di dalam buku dan dimana mereka sekarang.

 

No comments: