Thursday, July 25, 2013

The Year of Living Dangerously - Christopher Koch


Setelah The Forgotten Massacre, aneh-nya target saya berikut-nya entah kenapa mengarah ke karya Christopher Koch ini, mungkin intuisi bawah sadar saya untuk melacak second opinion, khususnya mengenai peristiwa di 1965 yang tidak tergambarkan secara baik dalam karya Jorgensen tsb. Dan kali ini lebih dalam, dan tidak sekedar dari sudut pandang ABK, maka tokoh dalam buku ini justru berprofesi sebagai wartawan. Dengan demikian catatan yang ditulis seharusnya lebih kaya dengan data. Judul buku ini sebenar-nya mengacu pada istilah yang sering digunakan Soekarno pada masa itu yakni Vivere Pericoloso, bahasa Italia yang artinya "Hidup yang berbahaya".

Siapa Koch ? dia lahir dan besar di Tasmania, Australia. Bekerja sebagai produser siaran di ABC. Pernah tinggal dan bekerja di London serta beberapa negara lain. Sejak 1972 dia menjadi penulis dan mendapatkan banyak pujian internasional dan karya-nya diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Selain penghargaan Officer of The Order of Australia, Koch juga menerima beberapa penghargaan lain-nya.  Buku ini merupakan novel terbaik tentang Indonesia versi Amazon.com, dan sempat dilarang terbit pada zaman orde baru. Pada 1982 sempat difilmkan dengan dibintang Mel Gibson, Linda Hunt dan Sigourney Weaver. Film ini mengalami nasib sama, yakni dilarang diputar di Indonesia.




Hal yang unik dalam buku ini antara lain, dari kacamata Koch penggambaran Jakarta, ditulis justru dengan penekanan pada bau, mungkin seperti kebanyakan orang yang pergi ke pecinan dan mencium bau dupa, maka Jakarta, bagi orang asing adalah bau asap tembakau dan bau asap sate. Untuk lalu lintas Koch menyebutkan dominasi klakson disertai jeritan/teriakan dan bel sepeda. Dua ciri lalu lintas yang pertama masih eksis hingga kini.

Soekarno dalam buku ini, digambarkan dengan sangat menarik, selain mengangkat kembali ungkapan Duta Besar Amerika yang menyerupakan Soekarno sebagai Clark Gable Asia, beliau juga dianggap sebagai sosok yang susah ditebak dengan senyuman khas anak2 yang mampu meluluhkan wanita. Selain itu tentu saja soal "kegilaan" Soekarno pada berbagai monumen untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat dunia baru dan mengalahkan Paris namun aneh-nya beliau lebih suka menghabiskan week end di Bogor dan mengakui Bandung adalah kota yang lebih baik.

Kehidupan wartawan asing, dalam buku ini juga dikisahkan, dan sedikit membuat risih, ada yang suka memotret aurat perempuan pribumi yang mandi disungai, ada pengguna pekerja seks lokal yang sering ke kuburan untuk memuaskan hasrat-nya dan bahkan ada pedofili sekaligus homoseksual. Bahkan buku ini menguingkapkan Asia Tenggara ditahbiskan sebagai timur tengah-nya kaum gay Australia. Untung-nya tidak semuanya seperti itu misalnya pemeran tokoh utama seperti Billy Kwan, Guy Hamilton maupun tokoh aku yang sering di panggil dengan Cookie (apakah ini representasi dari Koch sendiri ?).

Buku ini sangat enak dibaca, khususnya karakter Billy Kwan, pengagum Soekarno (meski akhirnya berbalik menjadi sosok yang sangat kecewa pada Soekarno) keturunan China berkewarganegaraan Australia ini memiliki pengetahuan layak-nya ensiklopedi yang mengkompensasi kekurangan fisik-nya yang cuma bertinggi 135 cm. Hubungan persahabatan-nya dengan Hamilton sekaligus cinta segitiga yang melibatkan Jill Bryant, menarik sekali diikuti.


Meski seorang wartawan, namun keterampilan-nya “memotret” suasana dengan gaya sastra sangat menarik, perhatikan kalimat Koch ini “Ketika kami melangkah menembus rumput tinggi ke pintu-nya, matahari sedang terbenam. Burung2 kecil dan kelelawar berkelebatan di  langit kehijauan. Cabang cabang tinggi pohon Beringin membuat pola seperti urat nadi. Di kejauhan, di seberang dinding taman, awan awan merah muda menggumpal disentuh lava kekemasan menyala di pinggiran-nya”. Penggambaran model ini bukan cuma digunakan Koch dalam menggambarkan suasana, namun juga penampilan seseorang seperti penggambaran-nya akan fisik Vera Chostiakov, staf kedubes Rusia di Jakarta yang dicurigai handak memeras informasi dari Hamilton.

Koch mengingatkan saya akan Ketut Tantri, dalam buku-nya Revolt in Paradise, saat mobil Ford Hamilton dan Kumar melintasi pedesaan, gunung2 api yang tinggi, besar dan angkuh di kejauhan, lembah dan bukit  dimana mana, sawah hijau membentang, wanita2 desa yang menaiki sepeda dengan anggun, saat menuju Puncak untuk berlibur.

Kenapa Cookie dapat menulis tentang cerita Hamilton, dan membandingkan-nya dengan ensiklopedi Billy Kwan, akhirnya terbuka menjelang cerita berakhir, dengan kematian Billy Kwan yang tragis sekaligus misterius. Tindakan Cookie dengan segera untuk mengamankan arsip Kwan, mendahului badan intelejen lah yang akhirnya membantu Cookie menyusun puzzle dari semua cerita ini,khususnya menyangkut Billy Kwan, Jilly Bryant dan Guy Hamilton.

Kita bisa turut membayangkan situasi apa yang dirasakan Hamilton. Saat ikut menyaksikan pidato Soekarno, kamis malam 30 September 1965, Kumar asisten lokal Hamilton yang selama ini terlihat sopan mendadak bicara "Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada anda,  bos. Jika Presiden meninggal dunia, Anda harus kembali ke Australia. Jangan buang waktu, segera tinggalkan negara ini. Jika tidak Anda akan dibunuh. Anda ada pada daftar kematian kami". Kalimat itu sekaligus memperjelas isu yang selama ini didengar Hamilton, bahwa Kumar adalah bagian dari PKI.Saya jadi ingat cerita Ibu, dimasa itu setiap orang saling memata-mata-i, dan kita tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan.

Koch juga ahli dalam menulis dialog2 cerdas, berbau psikologis dan disertai catatan kaki keterangan tambahan yang membantu pembaca memahami-nya dengan lebih lengkap. Membaca buku ini rasa-nya seakan akan menggambarkan realitas sebenarnya (atau memang jangan2 iya ?). Karakter tokoh yang detail, deskripsi  yang cermat dan analitis menyebabkan buku setebal nyaris 500 halaman ini sangat enak dibaca. Review ini saya tutup dengan puisi kesukaan Billy Kwan, yang dia kutip dari Po Chu I sbb;

Mereka membawa kita ke tanah terlantar di luar kota.
Dimana kabut sungai jatuh lebih deras daripada hujan.
Dan api di bukit menjulang lebih tinggi daripada bintang2.
Seketika aku terkenang bendungan tua di Istana.
Ketika aku dan kau berderap menuju Taman Ungu.
Saat kita menggiring kuda2 kita mendaki jalan Ekor Naga.
Kita berpaling dan memandang kehijauan Bukit-bukit Selatan.
Semenjak kita berpisah, kita telah sama sama menua; Dan pikiran kita direcoki banyak kecemasan; Namun bahkan sekarang aku membayangkan telingaku penuh dengan suara giok bergemerincing di tali kekangmu.


No comments: