Jika disebutkan siapa Stanley Kubrick, mungkin tidak banyak yang kenal, akan tetapi jika disebutkan Spielberg atau Peter Jackson, mungkin akan sangat banyak yang tahu. Akan tetapi tahukah kebanyakan fans Spielberg, bahwa Spielberg justru adalah fans-nya Stanley Kubrick ?
Jika masih belum jelas dengan siapa beliau, mari kita lihat beberapa list karya beliau seperti
Spartacus (dibintangi Kirk Douglas)
A Space Odyssey (Keir Dullea)
Full Metal Jacket (Vincent d'Onofrio)
Eyes Wide Shut (dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman)
Artificial Intelligence (Jude Law) * dilanjutkan oleh Spielberg
Lima film diatas kecuali A Space Odyssey sudah pernah saya tonton, dan bagi saya tak aneh kalau Spielberg mengagumi dia. Ibarat music progresif, Kubrick seperti-nya tidak perduli apakah orang mau suka atau tidak dengan film-nya. Bagi Kubrick film adalah media untuk mengekspresikan diri-nya, soal orang mau suka atau tidak itu urusan belakangan.
Dilahirkan di New York pada 26 Juli 1928 dan meninggal di Inggris pada 7 Maret 1999, beliau menancapkan tonggak pencapaian karya-nya yang unik, tidak mudah dilupakan dan mengangkat berbagai tema yang tidak biasa. Memulai minat-nya dalam bidang penyutradaan dengan fotografi (belajar dari ayahnya seorang dokter yang juga penggemar fotografi), Kubrick mengakhirinya dengan film2 monumental yang menjadi inspirasi banyak tokoh film setelahnya.
Meski sukses dengan film2 awalnya, karena merasa ide2-nya tidak sepenuhnya dapat dicurahkan, maka beliau memutuskan untuk tidak lagi membuat film kecuali dia dapat berperan secara penuh sebagai pemimpin proyek. Sejak saat itu film2 yang dibuat Kubrick semakin berbobot meski tak selalu sukses di pasar.
Topik2 yang dipilih Kubrick pun sangat beragam, seperti petualang luar angkasa , psikologi manusia saat perang, sekte terlarang, dll . Obsesi beliau pada teknologi juga termasuk dahsyat pada era-nya, terbukti dari didapatnya penghargaan special effect untuk film A Space Odyssey pada tahun 1968. Atau penggunaan lensa khusus Carl Zeiss pada salah satu film-nya yang memungkinkan penyutradaraan pada kondisi remang yang mengingatkan orang akan lukisan Sang Maestro Kegelapan Vincent Van Gogh.
Spielberg sendiri, sebagai penghargaan pada dedikasi Kubrick di dunia film, memutuskan untuk menyelesaikan Artificial Intelligence proyek Kubrick yang sempat tertunda karena memerlukan teknologi yang lebih maju untuk diwujudkan.
Blog, ini menggambarkan pendapat saya di bidang musik, film, komik, game dan buku. Semoga menjadi bacaan yang bermanfaat. Tulisan disini awalnya mayoritas merupakan opini pribadi saya dalam berbagai milis yang saya ikuti, meski semakin kesini saya mulai menambahkan hal2 baru dan tidak terkait milis yang saya ikuti. Untuk 2008, saya tambahkan beberapa "Poetry from My Past", semoga bermanfaat, di 2011 saya tambahkan "Inspirasi Hidup", 2012 saya tambahkan "Catatan Ibunda, Ayahanda dan Abang", thx
Monday, March 07, 2011
Djokolelono
Beberapa buku yang sangat berpengaruh bagi saya tak lain dan tak bukan adalah karya Djokolelono. Bagi saya beliau adalah Jules Verne-nya Indonesia sebagaimana "Koes Plus" terhadap "The Beatles". Karya beliau jauh melewati masa, dimana saat itu cerita2 yang lebih populer memilih topik yang berbeda.
Bahkan seandainya beliau memiliki kemampuan Sinematografi, bisa jadi beliau akan menjadi Steven Spielberg ala Indonesia. Beliau dikenal sebagai pengarang buku antara periode tahun 70 sampai dengan 80 an. Beberapa buku yang sangat menginspirasi saya antara lain adalah sbb;
Genderang Perang dari Wamena (1970)
Terlontar ke Masa Silam (1971)
Getaran (1972)
Terdampar di Pulau Tjandu (1972)
Rahasia di Balik Lukisan (1973)
Kolaborasi beliau dengan A.Wakidjan, menambah seru dan misteriusnya karya2 beliau. Bagi saya A.Wakidjan merupakan satu kesatuan dengan karya2 tersebut. Khususnya pada "Terdampar di Pulau Tjandu". Pengetahuan beliau yang luas baik secara Sci-Fi, maupun geografis menambah serunya karya2 beliau. Sudah sangat pantas, jika karya2 beliau ini dibukukan ulang dengan tampilan, ejaan dan ilustrasi yang lebih menarik.
Dalam artikel di Tempo, salah satu wanita pengarang terkenal Indonesia yaitu Leila S. Chudori menuliskan tentang Djokolelono sebagai berikut;
---- awal kutipan
Selat Madura, 1971. Langit biru yang bersih itu mendadak hitam. Sebuah pesawat terbang kecil meledak dan merusak hamparan biru itu. Beberapa penumpang, termasuk Dwiyana, mahasiswa Ilmu Purbakala Universitas Brawijaya, melayang jatuh dan tak ditemukan tubuhnya. Tak ada yang tahu bahwa ledakan itu akibat sebuah helm yang ternyata berfungsi seperti mesin waktu.
Syahdan Dwiyana berhasil menyelamatkan diri dan terdampar di daratan asing pada 1292. Tiba-tiba saja ia dikelilingi segerombolan lelaki bertubuh besar, membawa tombak, dan bertanya dalam bahasa Jawa kuno, »Orang ajaib! Dari mana kau?”
Inilah awal dari petualangan kita bersama penulis Djokolelono melalui novel Terlontar ke Masa Silam (Pustaka Jaya, 1971). Dwiyana terlempar ke sebuah masa ketika Singasari tengah riuh-rendah dan Raden Wijaya belum menjadi Raja Majapahit. Di dalam novel setipis 51 halaman itu para pembaca mengikuti pengalaman seru Dwiyana sebagai manusia modern yang harus beradaptasi dan sibuk meyakinkan orang-orang pada abad ke-13 bahwa ia adalah manusia biasa; bukan dedemit, apalagi musuh.
Pertemuannya dengan Raden Wijaya dan para junjungan lain menjadi daya tarik utama. Dwiyana menampilkan pengetahuan kemampuan akademisnya tentang bagaimana sejarah mencatat peran Raden Wijaya dan kejayaan Majapahit. Tentu saja karena saat itu Wijaya tengah di penjara, dia—-dan segenap hamba sahayanya—menertawakan »nujum” Dwiyana. Bagaimana dalam keadaan terkurung Raden Wijaya diramalkan dianggap sebagai salah satu sosok sejarah terkemuka di kawasan ini? »Orang aneh” ini memang lucu.
Bagi Dwiyana, orang-orang di zaman Singasari itu juga lucu. Mereka tak hanya tampil seperti tokoh dalam wayang orang, tapi juga sebagai orang modern. Yana—panggilan Dwiyana—kerap bertanya kepada diri sendiri, apakah pasta gigi sudah tercipta pada zaman itu. Maklum, setiap kali mereka berteriak di hadapannya, aroma mulut mereka sungguh mengganggunya.
Djokolelono gemar bergurau. Tapi, yang lebih penting lagi, karyanya luar biasa fantastis. Ingatlah, di suatu masa, anak-anak Indonesia tumbuh bersama buku-buku karyanya. Mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada 1970-1980-an, yang hanya mengenal satu stasiun televisi (TVRI) serta saat DVD, game, telepon seluler, dan Internet nyaris belum ada, menganggap Djokolelono sebagai penyelamat kegelapan.
Masa kanak-kanak Indonesia menjadi penuh warna, fantasi, dan petualangan yang tak tertandingi dalam dunia nyata. Lahirnya novel anak-anak dengan penerbit Pustaka Jaya berjudul Genderang Perang dari Wamena (1970), Getaran (1972), Lawa dan Kusya (1976), Hancurnya Jembatan Beru (1977), serta serangkaian serial Astrid adalah kawan setia anak-anak di masanya.
Berbeda dengan generasi masa kini, yang jauh lebih vokal dan didorong untuk kritis, generasi pada masa itu adalah generasi yang lazim harus patuh kepada orang tua dan dilarang bertanya di kelas. Karena itu tokoh-tokoh Djokolelono lantas menjadi tokoh idola para pembacanya. Misalnya novel Genderang Perang dari Wamena, yang berkisah tentang dua sahabat bernama Adi dan Yunanto. Adi adalah putra seorang kurator museum yang baru saja pindah dari Belanda. Sebagai anak yang baru saja mengenal Jakarta, tentu saja perkawanannya dengan Yunanto adalah sesuatu yang menyenangkannya.
Di sebuah hari yang tumpah hujan, Adi dan Yunanto mengorek-ngorek gudang ayahnya yang berisi barang-barang antik. Mereka menemukan sebuah gendering perang kuno yang berasal dari Wamena. Ketika genderang itu dipukul, mendadak saja gudang itu dipenuhi oleh kabut. Adi dan Yunanto terlempar ke suatu masa dan sebuah tempat yang tak terbayangkan. Mereka di tengah hutan. Genderang yang mereka pukul itu tampaknya menjadi sumber sengketa. Mereka menyaksikan bagaimana kelompok ekspedisi Belanda dan orang-orang lokal bersitegang. Seru.
Anak-anak dalam cerita Djokolelono selalu digambarkan sebagai pahlawan, atau sebagai sosok yang lebih superior ketimbang orang dewasa. Dalam Astrid Dibajak, yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas, pahlawannya adalah si kecil Astrid.
Babak demi babak ditulis dengan bahasa yang sederhana dan kalimat yang ringkas. Djokolelono sadar betul pembacanya adalah anak-anak. Jika ada orang dewasa yang ikut tertarik membacanya, itu menjadi sebuah bonus. Daya tarik Djokolelono di masanya adalah karena dia satu-satunya penulis yang berhasil membuat buku sebagai sesuatu yang menghibur, menarik, penuh petualangan sekaligus pendidikan. Djokolelono tak pernah pedantik dan mengajar-ngajari pembaca. Tokohnya dengan sendirinya menjadi patokan moral yang pasti menjadi teladan anak-anak yang membacanya.
Lahirnya novel baru Djokolelono berjudul Anak Rembulan (Mizan Fantasi, 2011) adalah suatu perayaan kembalinya ia di antara kita dengan fantasinya yang luar biasa. Tentu saja tak mudah bagi dia untuk merenggut anak-anak masa kini dari keasyikan mereka bermain game, Internet, DVD, dan ponsel. Tapi mereka tetap harus mengetahui bahwa, di sebuah masa Indonesia pernah memiliki pendongeng ulung bernama Djokolelono.
---- akhir kutipan
Bahkan seandainya beliau memiliki kemampuan Sinematografi, bisa jadi beliau akan menjadi Steven Spielberg ala Indonesia. Beliau dikenal sebagai pengarang buku antara periode tahun 70 sampai dengan 80 an. Beberapa buku yang sangat menginspirasi saya antara lain adalah sbb;
Genderang Perang dari Wamena (1970)
Terlontar ke Masa Silam (1971)
Getaran (1972)
Terdampar di Pulau Tjandu (1972)
Rahasia di Balik Lukisan (1973)
Kolaborasi beliau dengan A.Wakidjan, menambah seru dan misteriusnya karya2 beliau. Bagi saya A.Wakidjan merupakan satu kesatuan dengan karya2 tersebut. Khususnya pada "Terdampar di Pulau Tjandu". Pengetahuan beliau yang luas baik secara Sci-Fi, maupun geografis menambah serunya karya2 beliau. Sudah sangat pantas, jika karya2 beliau ini dibukukan ulang dengan tampilan, ejaan dan ilustrasi yang lebih menarik.
Dalam artikel di Tempo, salah satu wanita pengarang terkenal Indonesia yaitu Leila S. Chudori menuliskan tentang Djokolelono sebagai berikut;
---- awal kutipan
Selat Madura, 1971. Langit biru yang bersih itu mendadak hitam. Sebuah pesawat terbang kecil meledak dan merusak hamparan biru itu. Beberapa penumpang, termasuk Dwiyana, mahasiswa Ilmu Purbakala Universitas Brawijaya, melayang jatuh dan tak ditemukan tubuhnya. Tak ada yang tahu bahwa ledakan itu akibat sebuah helm yang ternyata berfungsi seperti mesin waktu.
Syahdan Dwiyana berhasil menyelamatkan diri dan terdampar di daratan asing pada 1292. Tiba-tiba saja ia dikelilingi segerombolan lelaki bertubuh besar, membawa tombak, dan bertanya dalam bahasa Jawa kuno, »Orang ajaib! Dari mana kau?”
Inilah awal dari petualangan kita bersama penulis Djokolelono melalui novel Terlontar ke Masa Silam (Pustaka Jaya, 1971). Dwiyana terlempar ke sebuah masa ketika Singasari tengah riuh-rendah dan Raden Wijaya belum menjadi Raja Majapahit. Di dalam novel setipis 51 halaman itu para pembaca mengikuti pengalaman seru Dwiyana sebagai manusia modern yang harus beradaptasi dan sibuk meyakinkan orang-orang pada abad ke-13 bahwa ia adalah manusia biasa; bukan dedemit, apalagi musuh.
Pertemuannya dengan Raden Wijaya dan para junjungan lain menjadi daya tarik utama. Dwiyana menampilkan pengetahuan kemampuan akademisnya tentang bagaimana sejarah mencatat peran Raden Wijaya dan kejayaan Majapahit. Tentu saja karena saat itu Wijaya tengah di penjara, dia—-dan segenap hamba sahayanya—menertawakan »nujum” Dwiyana. Bagaimana dalam keadaan terkurung Raden Wijaya diramalkan dianggap sebagai salah satu sosok sejarah terkemuka di kawasan ini? »Orang aneh” ini memang lucu.
Bagi Dwiyana, orang-orang di zaman Singasari itu juga lucu. Mereka tak hanya tampil seperti tokoh dalam wayang orang, tapi juga sebagai orang modern. Yana—panggilan Dwiyana—kerap bertanya kepada diri sendiri, apakah pasta gigi sudah tercipta pada zaman itu. Maklum, setiap kali mereka berteriak di hadapannya, aroma mulut mereka sungguh mengganggunya.
Djokolelono gemar bergurau. Tapi, yang lebih penting lagi, karyanya luar biasa fantastis. Ingatlah, di suatu masa, anak-anak Indonesia tumbuh bersama buku-buku karyanya. Mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada 1970-1980-an, yang hanya mengenal satu stasiun televisi (TVRI) serta saat DVD, game, telepon seluler, dan Internet nyaris belum ada, menganggap Djokolelono sebagai penyelamat kegelapan.
Masa kanak-kanak Indonesia menjadi penuh warna, fantasi, dan petualangan yang tak tertandingi dalam dunia nyata. Lahirnya novel anak-anak dengan penerbit Pustaka Jaya berjudul Genderang Perang dari Wamena (1970), Getaran (1972), Lawa dan Kusya (1976), Hancurnya Jembatan Beru (1977), serta serangkaian serial Astrid adalah kawan setia anak-anak di masanya.
Berbeda dengan generasi masa kini, yang jauh lebih vokal dan didorong untuk kritis, generasi pada masa itu adalah generasi yang lazim harus patuh kepada orang tua dan dilarang bertanya di kelas. Karena itu tokoh-tokoh Djokolelono lantas menjadi tokoh idola para pembacanya. Misalnya novel Genderang Perang dari Wamena, yang berkisah tentang dua sahabat bernama Adi dan Yunanto. Adi adalah putra seorang kurator museum yang baru saja pindah dari Belanda. Sebagai anak yang baru saja mengenal Jakarta, tentu saja perkawanannya dengan Yunanto adalah sesuatu yang menyenangkannya.
Di sebuah hari yang tumpah hujan, Adi dan Yunanto mengorek-ngorek gudang ayahnya yang berisi barang-barang antik. Mereka menemukan sebuah gendering perang kuno yang berasal dari Wamena. Ketika genderang itu dipukul, mendadak saja gudang itu dipenuhi oleh kabut. Adi dan Yunanto terlempar ke suatu masa dan sebuah tempat yang tak terbayangkan. Mereka di tengah hutan. Genderang yang mereka pukul itu tampaknya menjadi sumber sengketa. Mereka menyaksikan bagaimana kelompok ekspedisi Belanda dan orang-orang lokal bersitegang. Seru.
Anak-anak dalam cerita Djokolelono selalu digambarkan sebagai pahlawan, atau sebagai sosok yang lebih superior ketimbang orang dewasa. Dalam Astrid Dibajak, yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas, pahlawannya adalah si kecil Astrid.
Babak demi babak ditulis dengan bahasa yang sederhana dan kalimat yang ringkas. Djokolelono sadar betul pembacanya adalah anak-anak. Jika ada orang dewasa yang ikut tertarik membacanya, itu menjadi sebuah bonus. Daya tarik Djokolelono di masanya adalah karena dia satu-satunya penulis yang berhasil membuat buku sebagai sesuatu yang menghibur, menarik, penuh petualangan sekaligus pendidikan. Djokolelono tak pernah pedantik dan mengajar-ngajari pembaca. Tokohnya dengan sendirinya menjadi patokan moral yang pasti menjadi teladan anak-anak yang membacanya.
Lahirnya novel baru Djokolelono berjudul Anak Rembulan (Mizan Fantasi, 2011) adalah suatu perayaan kembalinya ia di antara kita dengan fantasinya yang luar biasa. Tentu saja tak mudah bagi dia untuk merenggut anak-anak masa kini dari keasyikan mereka bermain game, Internet, DVD, dan ponsel. Tapi mereka tetap harus mengetahui bahwa, di sebuah masa Indonesia pernah memiliki pendongeng ulung bernama Djokolelono.
---- akhir kutipan
Apocalypto (2006) - Mel Gibson
Menyaksikan film besutan Mel Gibson ini membuat kita seperti dilontarkan kembali ke masa lalu, juga sekaligus mengingatkan saya akan komik Garth episode "The Mask of Atacama" karangan Steve Dowling dan Frank Bellamy (sebagai ilustrator-nya). Dalam sudut pandang Mel Gibson dalam film ini, kebudayaan Maya menjadi kebudayaan yang bengis dan membangun kejayaan dengan korban2 manusia dari suku2 lain yang dipersembahkan pada Sang Dewa.
Suku demi suku dijarah, dibunuh dan diculik untuk memenuhi dahaga dan kehausan akan tumpahnya darah mereka di altar persembahan. Cerita bermula dari dijarahnya suku seorang pemburu cinta damai bernama "Jaguar Paw" yaitu suku yang memilih menjadi kaum yang bersahabat dengan alam, meski terkesan muncul sebagai suku tertinggal (peradaban-nya) di banding suku Maya sebagai suku agresor dan berkebudayaan jauh lebih maju.
Saat itulah, setelah menyaksikan bagaimana ayah-nya dibunuh secara kejam, "Jaguar Paw" memutuskan untuk melarikan diri dan berusaha menyelamatkan anak dan istrinya (dalam keadaan hamil) yang sembunyi sekaligus terjebak dalam sumur alam. Sepanjang Film bercerita bagaimana perjuangan hebat "Jaguar Paw" berusaha melarikan diri, dan dijadikan sebagai buruan didalam hutan tropis yang sangat lebat. Jebakan kayu paku, sumpit dengan bisa katak beracun, tombak dan pisau batu, juga tak lupa dimunculkan sebagai kebudayaan para pemburu di hutan tropis. Begitu juga suasana hutan tropis seperti pohon2 besar, air terjun, lumpur hisap, macan kumbang dll.
Kolaborasi antara Mel Gibson, Farhad Safinia (screen writer) dan Richard D. Hansen (peneliti kebudayan Maya) ini bagi saya merupakan kolaborasi yang sukses. Meski terkesan agak sadis (sebagaimana film Mel Gibson yang lain, Braveheart) dan bukan benar2 menampilkan seuatu yang baru, film ini tetap layak tonton. Salah satu yang mengagumkan dalam film ini ada penggunaan wajah2 baru dan asing serta berkesan sangat sesuai dengan suasana yang mau ditampilkan dan dibangun. Secara fotografi juga, adanya tokoh kelas academy award seperti Dean Semler, sudah merupakan jaminan tersendiri.
Suku demi suku dijarah, dibunuh dan diculik untuk memenuhi dahaga dan kehausan akan tumpahnya darah mereka di altar persembahan. Cerita bermula dari dijarahnya suku seorang pemburu cinta damai bernama "Jaguar Paw" yaitu suku yang memilih menjadi kaum yang bersahabat dengan alam, meski terkesan muncul sebagai suku tertinggal (peradaban-nya) di banding suku Maya sebagai suku agresor dan berkebudayaan jauh lebih maju.
Saat itulah, setelah menyaksikan bagaimana ayah-nya dibunuh secara kejam, "Jaguar Paw" memutuskan untuk melarikan diri dan berusaha menyelamatkan anak dan istrinya (dalam keadaan hamil) yang sembunyi sekaligus terjebak dalam sumur alam. Sepanjang Film bercerita bagaimana perjuangan hebat "Jaguar Paw" berusaha melarikan diri, dan dijadikan sebagai buruan didalam hutan tropis yang sangat lebat. Jebakan kayu paku, sumpit dengan bisa katak beracun, tombak dan pisau batu, juga tak lupa dimunculkan sebagai kebudayaan para pemburu di hutan tropis. Begitu juga suasana hutan tropis seperti pohon2 besar, air terjun, lumpur hisap, macan kumbang dll.
Kolaborasi antara Mel Gibson, Farhad Safinia (screen writer) dan Richard D. Hansen (peneliti kebudayan Maya) ini bagi saya merupakan kolaborasi yang sukses. Meski terkesan agak sadis (sebagaimana film Mel Gibson yang lain, Braveheart) dan bukan benar2 menampilkan seuatu yang baru, film ini tetap layak tonton. Salah satu yang mengagumkan dalam film ini ada penggunaan wajah2 baru dan asing serta berkesan sangat sesuai dengan suasana yang mau ditampilkan dan dibangun. Secara fotografi juga, adanya tokoh kelas academy award seperti Dean Semler, sudah merupakan jaminan tersendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)