Melihat cover buku ini di meja rekan kerja harus diakui cukup menggoda, apalagi saya sejak kecil sangat suka membaca biografi tokoh terkenal untuk dipelajari, syukur2 ada yang bisa menjadi inspirasi bagi perjalanan kita di dunia yang sangat singkat ini. Tetapi sebelumnya saya minta maaf dulu pada rekan kerja saya, kalau2 kebetulan dia membaca blog ini, karena saya belum sempat izin meminjam buku-nya sehubungan ybs sedang mengambil cuti cukup panjang he he.
Ada satu puisi di buku ini, yang berkesan, dan tentu saja akan lebih baik jika ditempatkan di halaman pembuka, baiknya saya kutip saja, dengan sedikit modifikasi
Layang layang memang dapat terbang setinggi dan selama mungkin di langit,
akan tetapi ke bumi jua lah sang layang layang akan kembali dan tak berdaya pada akhirnya.
Kita dapat saja berpesta hari ini, dengan cara semeriah dan sehebat hebatnya,
akan tetapi pada akhirnya setiap pesta hanyalah teringat sebagai kenangan dan bagian dari masa lalu.
Buku ini memiliki materi yang sangat menarik, dari kisah nyata, bahkan juga dengan pengantar yang juga merupakan kerabat dari Oei Hui Lan sehingga menambah bobot-nya sebagai sebuah sejarah. Sayangnya meski memiliki kesempatan untuk menjadi buku yang hebat, cara bercerita yang dipilih Agnes, terasa kurang mengalir, dan serta secara sastra kurang hidup. Menurut hemat saya, jika diberikan sentuhan sastra, serta imajinasi mengenai emosi Oei Hui Lan lebih diperkaya, dan riset mengenai situasi masa tersebut, misalnya mengenai detail kapal yang digunakan, atau ditambahkan peta dunia penjelajahan Oei Hui Lan atau situasi Semarang saat itu serta foto2 rumah Oei Tiong Ham saat ini misalnya, maka ini buku ini bukan tidak mungkin dapat setara dengan karya “Bumi Manusia” nya Pramudya Ananta Toer.
Siapa Oei Hui Lan ?, ya beliau adalah putri dari Oei Tiong Ham, yang berasal dari Tong An di Fujian, China. Pada awalnya tinggal di Semarang, dan lalu menetap di Singapura. Pada awalnya Kian Gwan ayah Oei Tiong Ham bergerak dalam bisnis jual beli karet, kapuk, gambir dan tapioka. Lalu oleh Oei Tiong Ham dikembangkan ke jasa pengiriman, kayu bahkan sampai opium. Oei Tiong Ham, akhirnya menjadi orang terkaya di Asia Tenggara.
Cukup mengagetkan mengetahui bagaimana kaya-nya Oei Tiong Ham, sampai2 memiliki rumah utama yang terdiri dari 200 kamar, 50 pembantu, puluhan koki, kebun binatang pribadi (bahkan dengan koleksi khusus seperti jerapah), kolam dan 11 pelayan untuk setiap anak dari istri pertama. Selain itu beliau juga memiliki sejumlah properti di seluruh dunia, sejumlah pabrik, bank, broker yang berkantor di London, armada kapal, dengan cabang bisnis yang menyebar hingga Bangkok, Singapura, Hongkong, Shanghai, London dan bahkan New York. Kehidupan keluarga-nya juga tak kalah mengagetkan, bayangkan beliau juga memiliki belasan gundik dan lebih dari 40 anak. Banyak yang tidak tahu, kalau saat ini Kian Gwan (yakni perusahaan milik Oei Tiong Ham dulu) beralih nama menjadi PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Namun sebagaimana puisi diatas, apakah Oei Hui Lan bahagia dengan kekayaan yang dimiliki ? Betul bahwa ayahnya memiliki segalanya untuk apapun yang dia perlukan dan dia bisa hidup bagian dunia mana mana saja yang ia ingin miliki. Begitu juga dengan pergaulan dengan kalangan atas mulai dari putri kerajaan Monaco, atau pejabat tinggi seperti Sun Yat Sen, senator Amerika dari klan Kennedy.
Bahkan meski menikah dengan pejabat tinggi Republik Rakyat Cina yang menjadi utusan penting Cina di Amerika akan tetapi tidak membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Begitu juga kekayaan yang ia miliki tak dapat dibawa hingga ia mati. Oei Hui Lan sendiri harus menerima kenyataan sang suami kembali menikah sehingga mengakhiri hidupnya seorang diri dengan melihat bagaimana kekayaan ayah-nya satu persatu lepas, keluarga besarnya pecah belah karena berebut harta. Kemudian pukulan bertubi tubi seperti kematian ayahnya yang misterius, ibunya dan kemudian kakak-nya. Jadi buku ini kembali mengingatkan bahwa bagaimanapun kematian adalah kepastian, dan tidak penting seberapa banyak yang kita miliki, karena pada akhirnya semua itu akan kita tinggalkan.
Ada satu puisi di buku ini, yang berkesan, dan tentu saja akan lebih baik jika ditempatkan di halaman pembuka, baiknya saya kutip saja, dengan sedikit modifikasi
Layang layang memang dapat terbang setinggi dan selama mungkin di langit,
akan tetapi ke bumi jua lah sang layang layang akan kembali dan tak berdaya pada akhirnya.
Kita dapat saja berpesta hari ini, dengan cara semeriah dan sehebat hebatnya,
akan tetapi pada akhirnya setiap pesta hanyalah teringat sebagai kenangan dan bagian dari masa lalu.
Buku ini memiliki materi yang sangat menarik, dari kisah nyata, bahkan juga dengan pengantar yang juga merupakan kerabat dari Oei Hui Lan sehingga menambah bobot-nya sebagai sebuah sejarah. Sayangnya meski memiliki kesempatan untuk menjadi buku yang hebat, cara bercerita yang dipilih Agnes, terasa kurang mengalir, dan serta secara sastra kurang hidup. Menurut hemat saya, jika diberikan sentuhan sastra, serta imajinasi mengenai emosi Oei Hui Lan lebih diperkaya, dan riset mengenai situasi masa tersebut, misalnya mengenai detail kapal yang digunakan, atau ditambahkan peta dunia penjelajahan Oei Hui Lan atau situasi Semarang saat itu serta foto2 rumah Oei Tiong Ham saat ini misalnya, maka ini buku ini bukan tidak mungkin dapat setara dengan karya “Bumi Manusia” nya Pramudya Ananta Toer.
Siapa Oei Hui Lan ?, ya beliau adalah putri dari Oei Tiong Ham, yang berasal dari Tong An di Fujian, China. Pada awalnya tinggal di Semarang, dan lalu menetap di Singapura. Pada awalnya Kian Gwan ayah Oei Tiong Ham bergerak dalam bisnis jual beli karet, kapuk, gambir dan tapioka. Lalu oleh Oei Tiong Ham dikembangkan ke jasa pengiriman, kayu bahkan sampai opium. Oei Tiong Ham, akhirnya menjadi orang terkaya di Asia Tenggara.
Cukup mengagetkan mengetahui bagaimana kaya-nya Oei Tiong Ham, sampai2 memiliki rumah utama yang terdiri dari 200 kamar, 50 pembantu, puluhan koki, kebun binatang pribadi (bahkan dengan koleksi khusus seperti jerapah), kolam dan 11 pelayan untuk setiap anak dari istri pertama. Selain itu beliau juga memiliki sejumlah properti di seluruh dunia, sejumlah pabrik, bank, broker yang berkantor di London, armada kapal, dengan cabang bisnis yang menyebar hingga Bangkok, Singapura, Hongkong, Shanghai, London dan bahkan New York. Kehidupan keluarga-nya juga tak kalah mengagetkan, bayangkan beliau juga memiliki belasan gundik dan lebih dari 40 anak. Banyak yang tidak tahu, kalau saat ini Kian Gwan (yakni perusahaan milik Oei Tiong Ham dulu) beralih nama menjadi PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Namun sebagaimana puisi diatas, apakah Oei Hui Lan bahagia dengan kekayaan yang dimiliki ? Betul bahwa ayahnya memiliki segalanya untuk apapun yang dia perlukan dan dia bisa hidup bagian dunia mana mana saja yang ia ingin miliki. Begitu juga dengan pergaulan dengan kalangan atas mulai dari putri kerajaan Monaco, atau pejabat tinggi seperti Sun Yat Sen, senator Amerika dari klan Kennedy.
Bahkan meski menikah dengan pejabat tinggi Republik Rakyat Cina yang menjadi utusan penting Cina di Amerika akan tetapi tidak membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Begitu juga kekayaan yang ia miliki tak dapat dibawa hingga ia mati. Oei Hui Lan sendiri harus menerima kenyataan sang suami kembali menikah sehingga mengakhiri hidupnya seorang diri dengan melihat bagaimana kekayaan ayah-nya satu persatu lepas, keluarga besarnya pecah belah karena berebut harta. Kemudian pukulan bertubi tubi seperti kematian ayahnya yang misterius, ibunya dan kemudian kakak-nya. Jadi buku ini kembali mengingatkan bahwa bagaimanapun kematian adalah kepastian, dan tidak penting seberapa banyak yang kita miliki, karena pada akhirnya semua itu akan kita tinggalkan.
1 comment:
saya rekan kerjanya yang cuti ituh.. sipemilik buku *nda penting yah*
Post a Comment