Sejak kecil saya sangat menyukai kisah pertempuran Laut Arafuru, khususnya kisah kepahlawanan Komodor Jos Soedarso. Seingat saya bahkan PT Pos Indonesia pernah mengeluarkan seri perangko kepahlawanan beliau, yang kadang saya lihat dan nikmati pada surat untuk ayah ataupun ibu yang diterima di rumah. Ketika beberapa minggu lalu jalan2 ke toko buku Gramedia, mata saya tertumbuk pada buku Julius Pour, maka tanpa berpikir panjang langsung saya jadikan buku sekitar 280 an halaman ini sebagai salah satu koleksi buku saya.
Buku ini menarik, dan mengungkapkan hal2 dibelakang peristiwa tersebut, termasuk fase persiapan, kenapa AURI tidak bisa membantu, dan hal yang tidak terduga yaitu kondisi psikologis Jos Soedarso. Khusus yang terakhir ternyata Jos Sudarso baru saja kehilangan bayi pertama, yang sebelumnya sakit dan melakukan perjalanan darat yang relatif jauh atas perintah Jos Soedarso kepada istrinya. Perasaan bersalah yang dialami beliau serta ditambah dengan beban dan tuduhan Bung Karno yang meragukan kompetensi-nya membuat beliau nekat untuk bergabung dengan armada yang dipimpin Soedomo. Dalam perjalanan tersebut beliau juga membawa bendera merah putih yang ingin dia tancapkan di bumi Irian sebagai bukti bahwa Jos Soedarso bukanlah seorang pengecut.
Posisi Soedomo sendiri juga unik, meski ybs merupakan komandan untuk operasi ini, akan tetapi Jos Soedarso adalah atasan-nya. Untung saja Jos Soedarso, tetap meminta Soedomo tetap memperlakukan Jos Soedarso sebagai anak buah, karena komandan operasi secara lapangan harus tetap dianggap sebagai orang nomor satu yang harus diikuti perintah-nya.
Mengenai peristiwa tenggelamnya KRI Matjan Tutul, juga menimbulkan kontroversi, akan tetapi secara umum analisa yang paling mengena adalah kondisi psikologis Jos Soedarso membuat ybs berani menjadi martir demi menyelamatkan KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang. Dengan tetap mengarahkan kemudi menuju kumpulan HRMS Eversten, HRMS Kortenaer dan HRMS Utrecht, KRI Matjan Tutul seakan menjadi tumbal bagi yang lain. Situasi ini dipersulit juga karena Belanda juga mengerahkan pesawat Nepptune dan Firefly. Sayang-nya meski kapal2 KRI buatan Jerman ini sebenarnya standar-nya dilengkapi masing2 empat torpedo dan mesin mercedes benz yang mumpuni , tidak ada satupun yang berhasil diluncurkan, karena torpedo-nya sendiri sengaja tidak dibawa untuk menambah kapasitas daya tampung prajurit yang akan di daratkan di pantai Kaimana sebagai bagian dari operasi infiltrasi. Sehingga akhirnya Matjan Tutul berserta 25 awak kapalnya terkubur di dasar laut. Para prajurit infiltran dan AD yang kebetulan ada di bagian atas sempat meluncurkan perahu karet untuk menyelamatkan diri, meski akhirnya ditangkap oleh tentara Belanda.
Uniknya meski misi ini dinilai gagal dan bocor ke tangan musuh, dampak politisnya sangat tinggi dan membuat Belanda terpojok, dan akhirnya lewat operasi Mandala, Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dimana saat itu karena bukan merupakan operasi infiltrasi, maka persenjataan Indonesia benar2 dilengkapi dengan persenjataan penuh, termasuk lusinan kapal perang ALRI yang dikomandani oleh Soedomo. Buku ini ditutup dengan akhir hidup yang tragis dari beberapa pahlawan perang Arafuru, semoga negara lebih memberikan perhatian pada para pahlawan ini.
Buku ini menarik, dan mengungkapkan hal2 dibelakang peristiwa tersebut, termasuk fase persiapan, kenapa AURI tidak bisa membantu, dan hal yang tidak terduga yaitu kondisi psikologis Jos Soedarso. Khusus yang terakhir ternyata Jos Sudarso baru saja kehilangan bayi pertama, yang sebelumnya sakit dan melakukan perjalanan darat yang relatif jauh atas perintah Jos Soedarso kepada istrinya. Perasaan bersalah yang dialami beliau serta ditambah dengan beban dan tuduhan Bung Karno yang meragukan kompetensi-nya membuat beliau nekat untuk bergabung dengan armada yang dipimpin Soedomo. Dalam perjalanan tersebut beliau juga membawa bendera merah putih yang ingin dia tancapkan di bumi Irian sebagai bukti bahwa Jos Soedarso bukanlah seorang pengecut.
Posisi Soedomo sendiri juga unik, meski ybs merupakan komandan untuk operasi ini, akan tetapi Jos Soedarso adalah atasan-nya. Untung saja Jos Soedarso, tetap meminta Soedomo tetap memperlakukan Jos Soedarso sebagai anak buah, karena komandan operasi secara lapangan harus tetap dianggap sebagai orang nomor satu yang harus diikuti perintah-nya.
Mengenai peristiwa tenggelamnya KRI Matjan Tutul, juga menimbulkan kontroversi, akan tetapi secara umum analisa yang paling mengena adalah kondisi psikologis Jos Soedarso membuat ybs berani menjadi martir demi menyelamatkan KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang. Dengan tetap mengarahkan kemudi menuju kumpulan HRMS Eversten, HRMS Kortenaer dan HRMS Utrecht, KRI Matjan Tutul seakan menjadi tumbal bagi yang lain. Situasi ini dipersulit juga karena Belanda juga mengerahkan pesawat Nepptune dan Firefly. Sayang-nya meski kapal2 KRI buatan Jerman ini sebenarnya standar-nya dilengkapi masing2 empat torpedo dan mesin mercedes benz yang mumpuni , tidak ada satupun yang berhasil diluncurkan, karena torpedo-nya sendiri sengaja tidak dibawa untuk menambah kapasitas daya tampung prajurit yang akan di daratkan di pantai Kaimana sebagai bagian dari operasi infiltrasi. Sehingga akhirnya Matjan Tutul berserta 25 awak kapalnya terkubur di dasar laut. Para prajurit infiltran dan AD yang kebetulan ada di bagian atas sempat meluncurkan perahu karet untuk menyelamatkan diri, meski akhirnya ditangkap oleh tentara Belanda.
Uniknya meski misi ini dinilai gagal dan bocor ke tangan musuh, dampak politisnya sangat tinggi dan membuat Belanda terpojok, dan akhirnya lewat operasi Mandala, Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dimana saat itu karena bukan merupakan operasi infiltrasi, maka persenjataan Indonesia benar2 dilengkapi dengan persenjataan penuh, termasuk lusinan kapal perang ALRI yang dikomandani oleh Soedomo. Buku ini ditutup dengan akhir hidup yang tragis dari beberapa pahlawan perang Arafuru, semoga negara lebih memberikan perhatian pada para pahlawan ini.
5 comments:
mungkin setelah membaca sedikit dari kilasan sejarah dari bapak, memang agak membingungkan pak domo yang kala itu menjadi yunior tapi jadi komandan operasi sedangkan Pak Jos Sudarso malah menjadi bawahan .... lha waktu KRI macan tutul menghalau Kapal Belanda itu atas perintah pak Domo atau inisiatif Komodor Yos Sudarso ? dan didalam KRI sendiri (termasuk macan tutul) kan memiliki Komandan KRI yang memiliki kuasa penuh atas kapal apakah saat itu Pak Yos Sudarso menjadi Dan KRI macan tutul ? sehingga berani menghalau kapal2 belanda ?
Logikanya sih kalau p'Domo mundur maka anak buah-nya secara operasi lapangan dan bukan secara struktural (dibaca : Yos Sudarso) harusnya ikut mundur, tetapi yang terjadi Yos Sudarso justru malah maju, meski secara persenjataan tidak memungkinkan karena memang operasi infiltrasi. Apapun Komodor Yos Sudarso akhirnya membuktikan kalau dia bukanlah seperti yang dituduhkan Soekarno, meski harus berkorban nyawa.
Ayah saya saat peristiwa itu di KRI Macan Kumbang. Masih mengingat peristiwa itu dengan sangat jelas
Sangat mengenaskan kegagalan operasi penyusupan ke wilayah Irian Barat yang dikuasi Belanda
Sangat mengenaskan tenggelamnya KRI Macan Tutul bersama dengan Komodor Yos Sudarso
Post a Comment