Friday, July 12, 2013

Rectoverso - Dee


Tidak ada yang luar biasa dengan 11 lagu dalam sebuah album, atau 11 cerpen dalam sebuah buku, namun menjadi luar biasa saat 11 lagu tersebut memiliki “belahan jiwa” dalam bentuk 11 cerpen, dan lebih luar biasa lagi saat mengetahui kedua kembaran tersebut dibuat oleh orang yang sama. Dee yang dulu membuat saya kagum dengan novel-nya “Supernova” yang berbicara mengenai banyak hal dan didominasi pengetahuan-nya diatas rata2 mengenai  ilmu alam meski lulusan Hubungan Internasional lagi2 membuat saya kagum dengan karya yang ini.

Pada awalnya buku ini sekaligus CD-nya saya berikan kepada istri sebagai hadiah ulang tahun, namun setelah itu buku ini menghilang cukup lama, dan ketemu di punggung kursi depan mobil yang biasa digunakan anak saya sekolah. Karena memang film-nya sedang dibuat, dan mulai sering dibicarakan, hal ini membuat saya tergerak untuk menyantap buku ini. Maklum sebenarnya setelah Supernova yang memang berkualitas, saya sebenarnya agak kecewa dengan “Perahu Kertas” yang super ngepop.





Dua dari dua cerpen di buku ini menggunakan bahasa inggris, sesuatu yang sepertinya juga merupakan kelebihan yang dimiliki Dee. Buku ini juga mencantumkan rekomendasi tokoh dunia tulis menulis, antara lain seperti Seno Gumira Ajidarma, dan Goenawan Muhammad (atau biasa disingkat GM) . Namun yang menarik komentar GM "matang tapi tetap dengan rasa yang murni, sederhana tapi menampilkan apa yang luar biasa dari permukaan yang biasa". Hemm kenapa ada kata “sederhana” dalam komentar GM ? Sepertinya penggunaan kata yang dipakai Dee, meski cantik secara metafora misalnya tp memang kosa kata yang digunakan adalah kosa kata harian yang biasa kita temukan di koran.

Daripada berlama-lama, mari kita lihat satu persatu karya Dee yang juga dihias dengan gambar2 indah ini dengan penilaiaian bintang “*” sampai dengan maksimal bintang  “*****”, sbb;

Cerita pertama “Curhat Buat Sahabat” (***) percakapan cerdas antar dua orang, mengingatkan kita bahwa sahabat yang sebenarnya ada, saat kita kesulitan. Dialog2nya mengingatkan saya akan gaya Paulo Coelho.

Cerita kedua “Malaikat Juga Tahu” (*****) ini mungkin salah satu yang terbaik, seorang pria dengan keterbelakangan mental, yang terpaksa dipisahkan dengan saudara-nya karena mencintai wanita yang sama disebuah rumah kos. Tak disebutkan apakah ini cerita nyata namun plot-nya benar2 menyentuh. Dalam cerita ini, Dee menulis "...menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terjadi pergantian anggota". Hemm saya jadi senyum sendiri, ingat bagaimana saya sendiri saat sekolah menengah dulu. Sayang-nya tokoh yang digambarkan mengingat itu justru memiliki gangguan mental.  Entah kenapa membaca ini saya jadi teringat satu film karya Hitchcock yang menggambarkan hubungan seorang Ibu dan anak lelaki-nya yang bermasalah secara mental, apakah anda ingat ?, film-nya berjudul Psycho.

Cerita ke tiga "Selamat Ulang Tahun" (*) adalah yang terpendek dan cuma dua halaman plus satu kalimat serta tidak menyisakan kesan2 apa2.

Cerita ke empat "Aku Ada" (**) lebih seperti puisi yang bermain dengan kata2.

Cerita ke lima "Hanya isyarat" (***) menarik, menggambarkan suasana emosi "secret admirer”, mirip dengan lagu Mocca, band yang digawangi adik-nya Dee sebagai vokalis merangkap flute Arina Ephipania. Cerita mengenai seseorang yang tak pernah tahu kalau ayam memiliki bagian2 lain selain punggung membuat saya terharu dan menjadi bahasa simbolis yang indah.

Cerita ke enam "Peluk" (**) menggambarkan perasaan seorang wanita yang sulit untuk diungkapkan, namun dia bertahan untuk menggenggam cinta-nya dengan pelukan. Meski tidak dijelaskan kok saya merasa ini adalah bagian dari kisah cinta Dee dengan Marcell. Entah kenapa sejak awal saya memang merasa mereka bukanlah pasangan yang cocok, Dee yang terkesan romantis dan pelamun dengan Marcell yang jauh dari kesan romantis dan anak gaul, laahhh kok jadi melantur review-nya.


Cerita ke tujuh "Grow a Day Older" (**)  juga tidak memberikan kesan apa2.

Cerita ke delapan, "Cicak" (*****) sangat menarik sekelas dengan cerita kedua, dan cara Dee menggambarkan percintaan sangat halus, penuh perasaan serta sangat berbau feminisme, berbeda jauh dengan Ayu Utami yang terasa vulgar. Dee juga menyimpan akhir yang kocak, dan mengingatkan kita akan lagu anak2.

Cerita ke sembilan "Firasat" (***) mengingatkan saya akan kata "Cepat pulang cepat kembali  jangan pergi lagi" yang digunakan Marcell mantan suami Dee. Ini salah satu yang terpanjang dan menarik, meski ending-nya tidak begitu sesuai, atau memang Dee memilih untuk selesai begitu saja.

Cerita kesepuluh "Tidur" (****) tentang seorang wanita yang lama meninggalkan keluarga untuk berkarir di negeri orang, namun menyadari hal itu tidak membahagiakan-nya, lalu memutuskan kembali untuk membayar semua penyesalan-nya. Saya sebenarnya berharap saat dia dengan diam2 masuk kerumah, menemukan wanita lain sebagai pengganti-nya, namun Dee sepertinya tidak tega membuat cerpen ini menjadi sad ending.

Cerita sebelas "Heaven's Light" (**) saya  tertarik sebuah  paragraph menarik tentang mimpi dengan akhir yang tak terduga, dan digambarkan dengan indah.

Akhir kata, di buku ini saya menemukan Dee yang berbeda dengan “Perahu Kertas” namun juga berbeda dengan Dee yang membuat “Supernova”. Dalam buku ini ada pergulatan personal yang menarik untuk disimak, buku yang sangat layak dibaca, menjadi masukan bagi kita untuk melihat diri kita sendiri dalam cermin pikiran, sekaligus direkomendasikan untuk dikoleksi. Lalu review ini saya tutup dengan kalimat puitis Dee dalam cerita kelima


Aku sampai di bagian
bahwa aku telah jatuh cinta
namun orang itu hanya dapat kugapai
sebatas punggungnya saja
seseorang yang hadir sekelebat
bagai bintang jatuh
yang lenyap keluar dari bingkai masa
sebelum tangan ini sanggup mengejar
seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat
sehalus udara, langit, awan atau hujan


1 comment:

rana musika said...

puisinya dee meltingggg