Kali ini saya ingin membahas album Dream Theater yang rilis di 2013 ini sekaligus merupakan album studio ke 12 dari Dream Theater. Album ini memiliki 9 track dengan panjang total 68:06 menit. Kalau era Portnoy lama lagu kadang merupakan hidden message sepertinya kali ini saya tidak menemukan hal2 unik seperti itu lagi. Namun Album ini tetap unik karena self titled, hal yang biasanya hanya terjadi di album perdana, semoga bukan pertanda buruk bahwa ini merupakan album terakhir Dream Theater. Seorang teman mengatakan justru ini menunjukkan mereka lahir kembali setelah keluarnya Portnoy dan kembali ke khittah sebagai band progressive [metal].
1.False Awakening Suite (2:42)
I. Sleep Paralysis
II. Night Terrors
III. Lucid Dream
2. The Enemy Inside (6:17)
3. The Looking Glass (4:53)
4. Enigma Machine (6:03)
5. The Bigger Picture (7:41)
6. Behind the Veil (6:53)
7. Surrender to Reason (6:35)
8. Along for the Ride (4:45)
9. Illumination Theory (22:17)
I. Paradoxe de la Lumière Noire
II. Live, Die, Kill
III. The Embracing Circle
IV. The Pursuit of Truth
V. Surrender, Trust & Passion
Dibuka dengan track instrumental False Awakening (**) yang tidak sampai 3 menit mengingatkan saya akan Symphony-X. Kesan ini muncul karena sound sampling dari keyboard Rudess berbau koor ala gothic yang terkesan megah sekaligus kolosal. Track yang sangat cocok sebagai original score film.
Masuk track 2, telinga langsung digempur dengan track metal The Enemy Inside (****), dan raungan serta ejeg2 distorsi kasar yang dimainkan secara presisi oleh Petrucci dengan gitar Music Man andalan-nya. Track ini sudah langsung akrab, maklum termasuk yang sempat bocor duluan sebagai single dan sudah pernah saya dengar saat ramadhan beberapa bulan lalu.
Pada track 3 The Looking Glass (***), DT bermain dengan gaya progressive rock 80'an yang diusung Rush. Saya benar2 menikmati permainan Mangini yang bermain lepas dan variatif serta menunjukkan berkali kali skil double bas beruntun ala Paul Bostaph ex drummer Testament, yang membuktikan DT tidak salah pilih. Sound drum yang dipilih Mangini juga terasa pas, dan tidak nyaring seperti yang kadang digunakan Portnoy. Menit ke 3 alias di tengah track, Petrucci memainkan teknik solo dengan petikan halus ala Alan Holdsworth dengan nada yang asyik membius.
Jangan kaget kalau dalam album ini Myung sepertinya sudah "sadar" dan memilih sound serta gaya yang berbeda. Kali ini kita mendengar Myung yang menonjol dan memilih jalan yang berbeda dengan Robert Trujillo, basis Metallica yang terlihat oleh mata namun ternyata tidak terdengar oleh telinga.
Masuk track 4, Enigma Machine (****) mengingatkan saya akan Liquid Tension Experiment, kompleks, cepat, penuh dengan atraksi solo dan tentu saja tanpa vokal. Lagi2 Mangini pamer teknik disini, dan sepertinya akan membuat drummer band2 penggemar DT keseleo saat menirukan-nya. Track ini bagaikan single tercecer dari album ke tiga Liquid Tension Experiment. Dan dengan track 1, track ini melengkapi dua track instrumental dari total 9 track dalam album ini.
The Bigger Picture sebagai track ke 5 (****), dibuka dengan vokal sahdu La Brie. Membuat saya teringat saat ribuan "cahaya" gadget mengayun berirama di kegelapan saat mereka perform di MEIS dan Spirit Carries On mengalun indah. Ini bakal jadi track asik untuk kontemplasi setelah dihajar Enigma Machine. Menjelang menit keenam menyusul berakhirnya petikan harmonisasi ala Brian May, mendadak track ini sekan akan terpotong dan lalu secara mengagetkan masuk kembali sekaligus memberikan derita kenikmatan nan paripurna.
Lalu muncul keheningan, dan Rudess memainkan emosi pendengar dengan gaya psikedelik ala Pink Floyd. Dan ejeg2..!, mendadak seakan akan James Hetfield si raja riff bergabung dan memberikan hantaman di track 6 ini. Behind The Veil (****) mengembalikan DT ke jalur metal. La Brie menggeram sekaligus mengingatkan kita akan kesejatian DT, namun ternyata track ini kembali manis di menit ke 3. Hemm sekali lagi kita mendengar Myung yang berbeda dengan sound bass yang tebal sekaligus jernih.
Surrender To Reason (****) mengembalikan DT ke era rock 80'an, lagi2 gaya Rush sangat kental di pembukaan track 7 ini. Lalu dilanjutkan La Brie dengan gaya romantis sebagaimana track The Bigger Picture. Namun ternyata ketukan nya kembali bertambah cepat, tetapi secara keseluruhan ini tetap merupakan track romantis, ditambah solo2 Petrucci yang terkesan tak pernah kehilangan ide. Kali ini Rudess menggunakan sound moog yang membuat saya teringat Keith Emerson maupun almarhum Jon Lord.
Along For The Ride (****) lagi2 akan membuat fans DT khususnya wanita kesengsem. Track cantik ini menambah koleksi kumpulan lagu2 manis DT, seakan akan track bonus dari album legendaris yang berhasil mengkombinasikan komersialisme dengan idealisme alias Images and Word.
Sebagai puncak dari album ini, DT mempersembahkan salah satu track progressive terbaik ciptaan mereka dalam 22 menit sekian detik epik yang dahsyat. Tak jelas kenapa berjudul Illumination Theory (*****), yang lirik-nya terasa lebih mirip sindiran halus pada Illuminati.
Track ini menutup album ini sekaligus mengingatkan kita akan DT yang sebenar-nya. Semua band2 legenda idola DT seakan akan muncul disini, riff Metallica, dan juga riff ala Iron Maiden muncul bergantian. Petrucci sempat bermain ala gitaris musik klasik di menit ke 7 dan lalu dilanjutkan repertoar ala orkestra yang diusung Rudess dengan sangat indah sekaligus mengingatkan saya akan original score Band of Brothers karya Michael Kamen nan menyayat. Lalu lagi2 Myung kali ini dengan style ala Mark King menghantam senar dengan teknik betot dan cabikan. Setelah ini mereka bermain dengan style yang membuat anak saya si bungsu sempat komentar kok agak seperti Tool, hemm saya rasa ada benar-nya juga. Juga jangan kaget kalau La Brie di track ini seakan akan lupa umur kembali mencoba meneriakkan nada2 tinggi bagaikan album awal2 DT. Hemm bakal jadi kesulitan buat dia saat konser sepertinya. Bagi saya track terakhir ini sekelas dengan salah satu master piece mereka yakni Octavarium. Dan cantiknya setelah hening sejenak di menit ke 20, lalu mengalun lembut piano Rudess menutup track dahsyat ini, sekaligus mengingatkan saya akan album solo Rudess di 2009, yakni Notes On a Dream, yang berisi kumpulan lagu terbaik Dream Theater dibawakan dengan piano saja.
Akhir kata sebuah album yang memuaskan bagi saya secara pribadi meski butuh mendengar paling tidak 2x untuk menemukan keindahan-nya.
* Bagi yang penasaran dengan Band of Brothers dan original score-nya Michael Kamen silahkan lihat di http://hipohan.blogspot.com/2010/05/band-of-brothers.html
Blog, ini menggambarkan pendapat saya di bidang musik, film, komik, game dan buku. Semoga menjadi bacaan yang bermanfaat. Tulisan disini awalnya mayoritas merupakan opini pribadi saya dalam berbagai milis yang saya ikuti, meski semakin kesini saya mulai menambahkan hal2 baru dan tidak terkait milis yang saya ikuti. Untuk 2008, saya tambahkan beberapa "Poetry from My Past", semoga bermanfaat, di 2011 saya tambahkan "Inspirasi Hidup", 2012 saya tambahkan "Catatan Ibunda, Ayahanda dan Abang", thx
Wednesday, September 25, 2013
Sunday, September 22, 2013
Akar - Dee
"Tapi ia benar-benar cantik. Memandang-nya seperti minum susu : putih, sehat bergizi. Menatap rambut-nya seperti makan bubur ketan hitam : gelap, padat dan wangi". Demikian cara Dee menggambarkan sosok Star, wanita yang hadir dalam kehidupan Bodhi.
Kali lain Dee menulis bagaimana konser punk berlangsung "Belasan band naik turun panggung. Semua penyanyi tidak seperti bernyanyi, tapi menyalak. Suara gitar listrik meraung bising seperti jeritan atap seng diamuk angin". Hemm sangat inspiratif kan ? Benar-benar penulis sejati dan mengingatkan saya akan gaya Andre Hirata.
Saat menulis mengenai ladang mariyuana dan ganja di perbatasan Laos dan Thailand, Dee menulis begitu luasnya ladang tersebut, dengan pekerja berbaju oranye yang bekerja bagai Sisifus dalam legenda Yunani. Saat mencapai ujung, yang dipetik pertama kali sudah berbunga lagi. Dee menggunakan perumpamaan sekumpulan serbuk nutrisari terserak di meja bilyar, hemm lagi2 pameran kecerdasan berbahasa. Saya jadi ingat salah satu tulisan abang menggambarkan deras-nya hujan bagai pipis raksasa yang tumpah dari langit.
Cara penggambaran lokasi2 dalam buku ini juga begitu detail, misalnya saat Gio ke Bolivia atau saat Bodhi ke Thailand dan Laos. Memberi kesan kuat kalau Dee banyak tahu soal2 seperti itu. Bukan cuma secara geografis, budaya, transportasi, atau kuliner, Dee juga berusaha menggunakan bahasa setempat. Latar keyakinan Budha yang banyak disinggung, juga menunjukkan minat Dee pada keyakinan ini.
Tema utama-nya adalah mengenai sosok Bodhi, manusia tanpa asal usul jelas, yang layak-nya orang suci memulai hidup-nya saat dibuang ketika bayi dan dibesarkan seorang bhiksu. Memilih untuk terjun langsung dalam kehidupan nyata membuat Bodhi meninggalkan kuil dan menemukan dunia yang benar-benar berbeda.
Kalau di buku pertama Dee menunjukkan pemahaman-nya terhadap astronomi, dalam buku ini Dee menunjukkan wawasan-nya soal beladiri, ilmu per-tatto-an, ritual Buddha, punk scene dan seperti biasa soal musik seperti track Alan Parsons Project yang berbau Illuminati alias Eye In The Sky.
Istri saya yang cukup kaget membaca buku ini setelah membandingkan dengan karya Dee lain-nya malah menduga ada masalah psikis dalam sosok Dee, yang tingkat keeksentrikan penulisan-nya sudah berada di perbatasan normal dan tak normal. Terlihat memang dengan benang merah dibuku ini yang sepertinya cukup sulit ditemukan, dan lebih mirip pergolakan psikologis sosok Dee dibanding perjalanan sosok Bodhi. Namun saya kira Dee tidak sendirian, Danarto adalah contoh lain-nya dan berasal dari generasi yang lebih awal.
Lepas dari keajaiban buku ini dan buku sebelum-nya lah yang membuat saya merasa pencapaian di Perahu Kertas justru ibarat terjun bebas secara kualitas. Namun mungkin tidaklah elok membanding-bandingkan karya Dee, apalagi meski secara publikasi Perahu Kertas bisa dibilang terbaru, namun karya ini bisa dianggap sebagai karya2 awal Dee.
Budaya lokal yang memenuhi buku ini juga sepertinya akan membuat publikasi secara internasional menjadi sulit, jika tak pandai memilih kata, keunikan pemilihan kata dalam karya Dee ini bisa hilang. Akhir kata buku yang layak dibaca, dan menjadi kontemplasi gurih di antara rutinitas.
Kali lain Dee menulis bagaimana konser punk berlangsung "Belasan band naik turun panggung. Semua penyanyi tidak seperti bernyanyi, tapi menyalak. Suara gitar listrik meraung bising seperti jeritan atap seng diamuk angin". Hemm sangat inspiratif kan ? Benar-benar penulis sejati dan mengingatkan saya akan gaya Andre Hirata.
Saat menulis mengenai ladang mariyuana dan ganja di perbatasan Laos dan Thailand, Dee menulis begitu luasnya ladang tersebut, dengan pekerja berbaju oranye yang bekerja bagai Sisifus dalam legenda Yunani. Saat mencapai ujung, yang dipetik pertama kali sudah berbunga lagi. Dee menggunakan perumpamaan sekumpulan serbuk nutrisari terserak di meja bilyar, hemm lagi2 pameran kecerdasan berbahasa. Saya jadi ingat salah satu tulisan abang menggambarkan deras-nya hujan bagai pipis raksasa yang tumpah dari langit.
Cara penggambaran lokasi2 dalam buku ini juga begitu detail, misalnya saat Gio ke Bolivia atau saat Bodhi ke Thailand dan Laos. Memberi kesan kuat kalau Dee banyak tahu soal2 seperti itu. Bukan cuma secara geografis, budaya, transportasi, atau kuliner, Dee juga berusaha menggunakan bahasa setempat. Latar keyakinan Budha yang banyak disinggung, juga menunjukkan minat Dee pada keyakinan ini.
Tema utama-nya adalah mengenai sosok Bodhi, manusia tanpa asal usul jelas, yang layak-nya orang suci memulai hidup-nya saat dibuang ketika bayi dan dibesarkan seorang bhiksu. Memilih untuk terjun langsung dalam kehidupan nyata membuat Bodhi meninggalkan kuil dan menemukan dunia yang benar-benar berbeda.
Kalau di buku pertama Dee menunjukkan pemahaman-nya terhadap astronomi, dalam buku ini Dee menunjukkan wawasan-nya soal beladiri, ilmu per-tatto-an, ritual Buddha, punk scene dan seperti biasa soal musik seperti track Alan Parsons Project yang berbau Illuminati alias Eye In The Sky.
Istri saya yang cukup kaget membaca buku ini setelah membandingkan dengan karya Dee lain-nya malah menduga ada masalah psikis dalam sosok Dee, yang tingkat keeksentrikan penulisan-nya sudah berada di perbatasan normal dan tak normal. Terlihat memang dengan benang merah dibuku ini yang sepertinya cukup sulit ditemukan, dan lebih mirip pergolakan psikologis sosok Dee dibanding perjalanan sosok Bodhi. Namun saya kira Dee tidak sendirian, Danarto adalah contoh lain-nya dan berasal dari generasi yang lebih awal.
Lepas dari keajaiban buku ini dan buku sebelum-nya lah yang membuat saya merasa pencapaian di Perahu Kertas justru ibarat terjun bebas secara kualitas. Namun mungkin tidaklah elok membanding-bandingkan karya Dee, apalagi meski secara publikasi Perahu Kertas bisa dibilang terbaru, namun karya ini bisa dianggap sebagai karya2 awal Dee.
Budaya lokal yang memenuhi buku ini juga sepertinya akan membuat publikasi secara internasional menjadi sulit, jika tak pandai memilih kata, keunikan pemilihan kata dalam karya Dee ini bisa hilang. Akhir kata buku yang layak dibaca, dan menjadi kontemplasi gurih di antara rutinitas.
Wednesday, September 18, 2013
Prioritas Hidup
Dalam salah satu pelatihan yang saya ikuti, dibahas salah satu kasus yang menjadi standar untuk survival Angkatan Udara Amerika. Peserta dibagi menjadi beberapa group lalu diberikan kartu plastik bergambar yang mewakili item sebenarnya yakni sbb;
Ceritanya adalah, saya dan beberapa teman mengalami kecelakaan pesawat di Gurun Sonora setelah sejauh 104 km menyimpang dari rute awal. Untung tak satupun diantara rombongan yang luka, meski pilot dan kopilot ternyata tewas. Namun sebelum tewas, pilot sempat mengatakan suhu di gurun sangat tinggi sehingga tidak mungkin bertahan dengan suhu seperti itu. Komunitas terdekat di daerah itu berada pada posisi 112 km dari lokasi kecelakaan, yakni kamp sebuah perusahaan tambang.
Pertanyaan-nya adalah, apakah rombongan akan menuju tambang untuk mencari bantuan atau tetap menunggu di lokasi ?. Lalu peserta diminta berdiskusi dengan anggota rombongan untuk membuat urutan berdasarkan prioritas terpenting dalam kondisi tersebut. Karena saya dan team memilih ke habitat terdekat, maka otomatis saya memilih kompas magnet, air, jaket, kotak P3K, dan senter. Namun ternyata saya memutuskan hal yang salah dan juga memilih barang yang salah. Saya dan team berpikir kami tidak memerlukan pistol karena tidak bermaksud mencelakakan siapapun, juga tidak memerlukan cermin karena dalam rombongan tidak ada yang merasa harus tampil keren, serta tak mungkin membawa parasut, karena memang-nya mau terjun dari mana ?
Dalam buku Nando Parrado yang bisa dilihat di http://hipohan.blogspot.com/2010/09/miracle-in-andez-nya-nando-parrado.html mereka bisa bertahan hidup karena memakan korban yang sudah meninggal dan akhirnya selamat justru karena meninggalkan reruntuhan pesawat. Setelah menunggu berhari-hari tak pernah ada penyelamatan, sehingga dua diantara mereka terpaksa memisahkan diri dari rombongan dan selamat karena menemukan habitat penduduk di lokasi terdekat. Itu sebabnya saya berpikir lebih baik meninggalkan peswat dibanding menunggu.
Ternyata berbeda dengan jawaban versi manual, kondisi di gurun, seharusnya memaksa kita untuk tetap di tempat (selama masih memiliki persediaan air). Jadi tidak usah cari resiko dengan membuang-buang stamina berjalan ke lokasi yang sulit dicari apalagi kalau diantara rombongan tidak ada yang memiliki kemampuan navigasi. Dengan demikian item2 terpenting salah satunya justru adalah cermin karena pantulan-nya dapat terlihat dari jauh, lalu pistol karena suara-nya juga dapat terdengar dari jauh, jas hujan karena menjaga tubuh tetap lembab dalam kondisi terik dan parasut sebagai kemah perlindungan sekaligus menjadi tanda bagi kelompok penyelamat serta tak lupa air untuk menyambung hidup.
Hemm benar2 jawaban yang tak terduga, dan mengingatkan kita kembali bahwa apa2 yang penting dalam hidup tergantung sepenuhnya pada tujuan kita, karena itu pastikan kembali tujuan hidup dan dan jalani sesuai prioritas terpenting dalam hidup kita. Kadang kita berpikir tabungan penting untuk hari tua, namun ternyata harta yang disumbangkan di jalan-Nya untuk membantu sesama lah yang kekal sebagai ganjaran amal baik kita kelak.
- Pistol Kaliber 45 dalam keadaan terisi.
- Buku mengenai hewan2 yang bisa dimakan di gurun.
- Sebotol tablet garam.
- Beberapa botol air.
- Parasut merah dan putih.
- Kotak peralatan P3K seperti kompres, gunting, obat2 sederhana dan kain kasa.
- Peta udara sekitar lokasi.
- Senter
- Pisau
- Jas hujan
- Jaket
- Sepasang kacamata
- Cermin hias
- Kompas magnet
Ceritanya adalah, saya dan beberapa teman mengalami kecelakaan pesawat di Gurun Sonora setelah sejauh 104 km menyimpang dari rute awal. Untung tak satupun diantara rombongan yang luka, meski pilot dan kopilot ternyata tewas. Namun sebelum tewas, pilot sempat mengatakan suhu di gurun sangat tinggi sehingga tidak mungkin bertahan dengan suhu seperti itu. Komunitas terdekat di daerah itu berada pada posisi 112 km dari lokasi kecelakaan, yakni kamp sebuah perusahaan tambang.
Pertanyaan-nya adalah, apakah rombongan akan menuju tambang untuk mencari bantuan atau tetap menunggu di lokasi ?. Lalu peserta diminta berdiskusi dengan anggota rombongan untuk membuat urutan berdasarkan prioritas terpenting dalam kondisi tersebut. Karena saya dan team memilih ke habitat terdekat, maka otomatis saya memilih kompas magnet, air, jaket, kotak P3K, dan senter. Namun ternyata saya memutuskan hal yang salah dan juga memilih barang yang salah. Saya dan team berpikir kami tidak memerlukan pistol karena tidak bermaksud mencelakakan siapapun, juga tidak memerlukan cermin karena dalam rombongan tidak ada yang merasa harus tampil keren, serta tak mungkin membawa parasut, karena memang-nya mau terjun dari mana ?
Dalam buku Nando Parrado yang bisa dilihat di http://hipohan.blogspot.com/2010/09/miracle-in-andez-nya-nando-parrado.html mereka bisa bertahan hidup karena memakan korban yang sudah meninggal dan akhirnya selamat justru karena meninggalkan reruntuhan pesawat. Setelah menunggu berhari-hari tak pernah ada penyelamatan, sehingga dua diantara mereka terpaksa memisahkan diri dari rombongan dan selamat karena menemukan habitat penduduk di lokasi terdekat. Itu sebabnya saya berpikir lebih baik meninggalkan peswat dibanding menunggu.
Ternyata berbeda dengan jawaban versi manual, kondisi di gurun, seharusnya memaksa kita untuk tetap di tempat (selama masih memiliki persediaan air). Jadi tidak usah cari resiko dengan membuang-buang stamina berjalan ke lokasi yang sulit dicari apalagi kalau diantara rombongan tidak ada yang memiliki kemampuan navigasi. Dengan demikian item2 terpenting salah satunya justru adalah cermin karena pantulan-nya dapat terlihat dari jauh, lalu pistol karena suara-nya juga dapat terdengar dari jauh, jas hujan karena menjaga tubuh tetap lembab dalam kondisi terik dan parasut sebagai kemah perlindungan sekaligus menjadi tanda bagi kelompok penyelamat serta tak lupa air untuk menyambung hidup.
Hemm benar2 jawaban yang tak terduga, dan mengingatkan kita kembali bahwa apa2 yang penting dalam hidup tergantung sepenuhnya pada tujuan kita, karena itu pastikan kembali tujuan hidup dan dan jalani sesuai prioritas terpenting dalam hidup kita. Kadang kita berpikir tabungan penting untuk hari tua, namun ternyata harta yang disumbangkan di jalan-Nya untuk membantu sesama lah yang kekal sebagai ganjaran amal baik kita kelak.
Tuesday, September 17, 2013
Instruksi Jelas Menghasilkan Karya Berkelas.
Beberapa hari yang lalu saya mengikuti pelatihan yang membahas integrated thinking, menariknya dalam pelatihan ini juga dimasukkan beberapa hal terkait kepemimpinan. Dibahas mengenai salah satu cara terbaik untuk mencapai hasil maksimal adalah bagaimana mengkomunikasikan tujuan organisasi pada subordinat. Untuk mempermudah pemahaman mengenai hal ini dilakukan beberapa kuis yang dua diantaranya sangat menarik dan membuat kita memahami bagaimana instruksi akan sangat mempengaruhi hasil akhir. Intinya bukan instruksi layak-nya “Do The Best !”yang harus digunakan namun juga kejelasan aturan main yang akan membuat subordinat dapat bekerja secara optimal.
Pada kuis pertama, setiap peserta dipersilahkan memggambar sekolah, beberapa menit kemudian muncul-lah gambar yang kesemuanya bernuansa bangunan sekolah dengan beberapa anak bermain di halaman. Lalu instruktur berkata, “lihat dengan instruksi yang tepat maka kreatifitas akan dilahirkan”. Lalu instruksi diubah, menjadi menggambar sekolah namun tidak boleh menggambarkan gedung-nya. Ajaib-nya maka saat itu juga kreativitas lahir, ada yang menggambar permainan basket, ada yang menggambar aktifitas di laboratorium, ada yang menggambar perpustakaan, dan banyak lain-nya.
Saat kami masih terhenyak dengan hasil yang didapat, instruktur cerita bahwa selama dia mengajar kadang dia menggunakan contoh yang berbeda, misalnya tugasnya adalah menggambar pemandangan. Ironisnya meski peserta berasal dari berbagai daerah yang berbeda, pemandangan yang digambar selalu sama, yakni dua buah gunung (yang lebih mirip piramid), jalan raya ditengah yang sering2 malah digambar dengan mistar, sawah yang batang padinya dilukis satu persatu, gumpalan awan, matahari lengkap dengan sinar2nya dan tidak ketinggalan kulit pisang..eh maksud saya burung2 yang terbang.
Lalu untuk memperjelas pemahaman instruktur membagi kami menjadi beberapa kelompok dan masing2 kelompok diberikan satu kotak kartu, setelah membaca instruksi maka setiap kelompok mulai bekerja, ada kelompok yang ekspresinya tawar (sebut saja kelompok “tawar”), ada yang diskusi serius dan saling berdebat (sebut saja kelompok “stress”), namun ada kelompok yang gembira dan bersemangat (sebut saja kelompok “senang”). Hemm kenapa ekpresi-nya berbeda ? kuncinya ada di instruksinya dan mari kita lihat hasilnya.
Nah apa instruksi-nya ? Kelompok “Stress” diinstruksikan membangun bangunan dengan aturan tinggi aturan luas, dan jarak antara kartu yang ketat, sehingga bangunan-nya justru tidak selesai, member tidak puas dengan performansi team.
Kelompok “Tawar” diberikan instruksi buatlah bangunan yang sederhana dan dibangun secepat mungkin, maka kelompok ini cuma membuat bangunan yang lebih mirip toilet, menyisakan banyak kartu tak terpakai lalu sibuk dengan mobile devices-nya sambil menunggu kelompok lain selesai.
Kelompok “Senang” bekerja dengan bersemangat dan menghasilkan bangunan terbaik dari semua kelompok yang ada, karena mereka diberikan instruksi buat lah bangunan seindah mungkin, dan dipersilahkan melakukan apapun pada kartu yang dimiliki. Kelompok “senang” bahkan menggunakan kotak kartu-nya sekalian sebagai asesoris atap bangunan.
Moral of the story-nya adalah memastikan instruksi yang anda berikan mampu mengubah atmosfir, mampu memotivasi, memberikan kesenangan dan kebanggaan bagi team yang akhirnya menghasilkan karya terbaik.
Pada kuis pertama, setiap peserta dipersilahkan memggambar sekolah, beberapa menit kemudian muncul-lah gambar yang kesemuanya bernuansa bangunan sekolah dengan beberapa anak bermain di halaman. Lalu instruktur berkata, “lihat dengan instruksi yang tepat maka kreatifitas akan dilahirkan”. Lalu instruksi diubah, menjadi menggambar sekolah namun tidak boleh menggambarkan gedung-nya. Ajaib-nya maka saat itu juga kreativitas lahir, ada yang menggambar permainan basket, ada yang menggambar aktifitas di laboratorium, ada yang menggambar perpustakaan, dan banyak lain-nya.
Saat kami masih terhenyak dengan hasil yang didapat, instruktur cerita bahwa selama dia mengajar kadang dia menggunakan contoh yang berbeda, misalnya tugasnya adalah menggambar pemandangan. Ironisnya meski peserta berasal dari berbagai daerah yang berbeda, pemandangan yang digambar selalu sama, yakni dua buah gunung (yang lebih mirip piramid), jalan raya ditengah yang sering2 malah digambar dengan mistar, sawah yang batang padinya dilukis satu persatu, gumpalan awan, matahari lengkap dengan sinar2nya dan tidak ketinggalan kulit pisang..eh maksud saya burung2 yang terbang.
Lalu untuk memperjelas pemahaman instruktur membagi kami menjadi beberapa kelompok dan masing2 kelompok diberikan satu kotak kartu, setelah membaca instruksi maka setiap kelompok mulai bekerja, ada kelompok yang ekspresinya tawar (sebut saja kelompok “tawar”), ada yang diskusi serius dan saling berdebat (sebut saja kelompok “stress”), namun ada kelompok yang gembira dan bersemangat (sebut saja kelompok “senang”). Hemm kenapa ekpresi-nya berbeda ? kuncinya ada di instruksinya dan mari kita lihat hasilnya.
Nah apa instruksi-nya ? Kelompok “Stress” diinstruksikan membangun bangunan dengan aturan tinggi aturan luas, dan jarak antara kartu yang ketat, sehingga bangunan-nya justru tidak selesai, member tidak puas dengan performansi team.
Kelompok “Tawar” diberikan instruksi buatlah bangunan yang sederhana dan dibangun secepat mungkin, maka kelompok ini cuma membuat bangunan yang lebih mirip toilet, menyisakan banyak kartu tak terpakai lalu sibuk dengan mobile devices-nya sambil menunggu kelompok lain selesai.
Kelompok “Senang” bekerja dengan bersemangat dan menghasilkan bangunan terbaik dari semua kelompok yang ada, karena mereka diberikan instruksi buat lah bangunan seindah mungkin, dan dipersilahkan melakukan apapun pada kartu yang dimiliki. Kelompok “senang” bahkan menggunakan kotak kartu-nya sekalian sebagai asesoris atap bangunan.
Moral of the story-nya adalah memastikan instruksi yang anda berikan mampu mengubah atmosfir, mampu memotivasi, memberikan kesenangan dan kebanggaan bagi team yang akhirnya menghasilkan karya terbaik.
Saturday, September 14, 2013
Indonesia X-Files - Abdul Mun'im Idries
Senang sekali ketika akhirnya menemukan buku ini di Gramedia TSM Bandung. Begitu sampai rumah langsung saya eksplorasi dengan antusias. Namun setelah selesai, sepertinya tidak sesuai dengan harapan saya.
Materi dalam buku ini hampir 30% nya terdiri dari definisi, pasal2, sehingga lebih mirip materi kuliah kedokteran forensik sekaligus kurang nyaman dibaca. Lalu kasus2 yang dibahas ada beberapa yang muncul di bab berbeda. Misalnya kasus Marsinah yang muncul di Bab 1 namun muncul lagi di Bab 6.
Dugaan saya bahwa semua kasus dalam buku ini berhubungan dengan hal2 yang ditangani langsung oleh Mun'im Idries pun sepertinya salah, karena beberapa kasus seperti kematian Soekarno, hanya berupa komentar beliau terhadap kejadian tsb. Jadi benang merah antar bab dalam buku ini nyaris tidak terlihat, namun terkesan menjadi ada, karena Mun'im Idries terlibat baik secara langsung maupun sebatas opini.
Kasus2 lain yang tak luput adalah, Zarina sang ratu ekstasi, tekanan Hercules dan gang-nya dalam salah satu pemeriksaan Muniim Idries , Faturrahman Al Ghozi, mayat terpotong 13, tragedi Betong Ateuh, penembak Zaenuddin, Robot Gedek, kematian Udin, De Guzman, Nasruddin, Tjeje, kasus Semanggi, dll. Dalam buku ini juga tidak disinggung komentar beliau mengenai tewas-nya Fransisca Yofie, karena mungkin sudah keburu diterbitkan.
Meski demikian bagi peminat hal2 yang berhubungan dengan dunia kriminal, buku ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis peluru termasuk arah putaran-nya, perbedaan peluru keluar dan masuk, memperkirakan jarak senjata dengan korban, kaliber, dibunuh lalu diledakkan atau malah terbunuh karena ledakan, dan lain2. Juga pemahaman mengenai kasus2 khusus seperti pedofilia disertai pembunuhan. Namun kasus2 perkosaan misalnya membedakan korban perkosaan atau malah hubungan suka sama suka misalnya, tidak dijelaskan secara rinci. Begitu juga soal pembunuhan dengan racun tidak dibahas, kecuali terkait pembunuhan Munir.
Kata sambutan dari OC Kaligis membantu kita memberikan gambaran mengenai karakter beliau, misalnya penggambaran sikap Mun'im Idries layak-nya Aristoteles mengomentari Plato "Amicus Plato, sed magis amica veritas" alias "Plato adalah sahabat saya, tapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran". Sikap Idries yang keras terlihat saat beliau diminta menangani kasus Munir, beliau menolak karena soal forensik dalam kasus itu, bagi-nya sudah selesai, sedangkan bagaimana kronologis dan siapa pembunuh bukan lah tugas forensik, melainkan tugas polisi. Kekerasan sikap Mun'im Idries ini juga tak lepas dari latar belakang keluarga militer, dimana ayah-nya dulu bahkan pernah menjadi komandan yang membawahi Soeharto.
Munir juga mengutip penjelasan dibalik perlunya forensik, karena banyak keluarga korban, menolak mayat keluarga-nya "diacak-acak". Penjelasan ini membuat kita akhirnya yakin penting-nya forensik, karena akan membantu tegak-nya keadilan bagi sang korban.
Materi dalam buku ini hampir 30% nya terdiri dari definisi, pasal2, sehingga lebih mirip materi kuliah kedokteran forensik sekaligus kurang nyaman dibaca. Lalu kasus2 yang dibahas ada beberapa yang muncul di bab berbeda. Misalnya kasus Marsinah yang muncul di Bab 1 namun muncul lagi di Bab 6.
Dugaan saya bahwa semua kasus dalam buku ini berhubungan dengan hal2 yang ditangani langsung oleh Mun'im Idries pun sepertinya salah, karena beberapa kasus seperti kematian Soekarno, hanya berupa komentar beliau terhadap kejadian tsb. Jadi benang merah antar bab dalam buku ini nyaris tidak terlihat, namun terkesan menjadi ada, karena Mun'im Idries terlibat baik secara langsung maupun sebatas opini.
Kasus2 lain yang tak luput adalah, Zarina sang ratu ekstasi, tekanan Hercules dan gang-nya dalam salah satu pemeriksaan Muniim Idries , Faturrahman Al Ghozi, mayat terpotong 13, tragedi Betong Ateuh, penembak Zaenuddin, Robot Gedek, kematian Udin, De Guzman, Nasruddin, Tjeje, kasus Semanggi, dll. Dalam buku ini juga tidak disinggung komentar beliau mengenai tewas-nya Fransisca Yofie, karena mungkin sudah keburu diterbitkan.
Meski demikian bagi peminat hal2 yang berhubungan dengan dunia kriminal, buku ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis peluru termasuk arah putaran-nya, perbedaan peluru keluar dan masuk, memperkirakan jarak senjata dengan korban, kaliber, dibunuh lalu diledakkan atau malah terbunuh karena ledakan, dan lain2. Juga pemahaman mengenai kasus2 khusus seperti pedofilia disertai pembunuhan. Namun kasus2 perkosaan misalnya membedakan korban perkosaan atau malah hubungan suka sama suka misalnya, tidak dijelaskan secara rinci. Begitu juga soal pembunuhan dengan racun tidak dibahas, kecuali terkait pembunuhan Munir.
Kata sambutan dari OC Kaligis membantu kita memberikan gambaran mengenai karakter beliau, misalnya penggambaran sikap Mun'im Idries layak-nya Aristoteles mengomentari Plato "Amicus Plato, sed magis amica veritas" alias "Plato adalah sahabat saya, tapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran". Sikap Idries yang keras terlihat saat beliau diminta menangani kasus Munir, beliau menolak karena soal forensik dalam kasus itu, bagi-nya sudah selesai, sedangkan bagaimana kronologis dan siapa pembunuh bukan lah tugas forensik, melainkan tugas polisi. Kekerasan sikap Mun'im Idries ini juga tak lepas dari latar belakang keluarga militer, dimana ayah-nya dulu bahkan pernah menjadi komandan yang membawahi Soeharto.
Munir juga mengutip penjelasan dibalik perlunya forensik, karena banyak keluarga korban, menolak mayat keluarga-nya "diacak-acak". Penjelasan ini membuat kita akhirnya yakin penting-nya forensik, karena akan membantu tegak-nya keadilan bagi sang korban.
Sunday, September 08, 2013
Buddha - Deepak Chopra
Berharap bisa membaca buku dengan kualitas selevel tulisan Sindhunata pengarang "Anak Bajang Menggiring Angin", ternyata tidak kesampaian. Sepertinya pergolakan perasaan Siddharta dalam tulisan Chopra kurang menggigit.
Namun demikian tetap menarik, mengikuti perjalanan Siddharta, Gautama dan lalu menjadi Buddha. Bagaimanapun pencerahan yang dialami biksu2 setelah-nya mampu membawa keyakinan ini melintas lokasi yang luas secara geografi, Tibet, Nepal, China, Jepang, Korea, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Malaysia dan bahkan Indonesia.
Setelah membaca tiga buku Ajahn Brahm, saya jadi tertarik membaca kisah Buddha, meski tadinya sempat lebih tertarik mengoleksi Osamu Tezuka, namun akhirnya pilihan saya jatuh pada karya Deepak Chopra ini.
Buku ini juga menyisakan tanda tanya dalam benak saya, mengenai hubungan Hindu dengan Buddha, dan kenapa saat ini di India agama Hindu masih menjadi mayoritas, meski India justru adalah negara tempat Buddha dilahirkan. Sebaliknya Buddha pada suatu masa diterima di daerah2 lain-nya di muka bumi, sementara Hindu hanya bisa menancapkan pengaruh sampai di Indonesia saja, dan lalu menyisakan Bali.
Meski samar terlihat juga pemberontakan Buddha pada tradisi kasta Hindu, dimana saat masih menjadi Siddharta, dia tertarik pada wanita desa biasa yakni Sujata dan sahabat dekatnya yang merupakan anak kepala istal kuda yakni Channa. Saat dimana kasta memegang peranan penting, jangankan menyentuh fisiknya, bahkan bayangan-nya sajapun merupakan hal yang harus dihindari kasta yang lebih rendah.
Siddharta akhirnya tercerahkan saat melihat suatu desa yang diisolasi ayah-nya terisi dengan kumpulan manusia malang yang mengisi periode diantara masa kelahiran dan kematian dengan penuh kesengsaraan. Sesuai dengan ramalan, saat Siddharta melihat kesengsaraan, maka istana tak lagi menjadi tempat yang menarik bagi-nya.
Hal unik lain-nya meski tidak menyinggung tokoh dewa dan interaksinya dengan Buddha, juga tidak dibahas secara jelas mengenai dzat ketuhanan dalam novel ini. Anehnya sosok yang mewakili dunia gelap yakni Mara justru muncul sebagai setan yang selalu menggoda dan kadang merasuk dalam diri manusia seperti Devadatta, pemerkosa sekaligus pembunuh Sujata.
Siapa Chopra ? Dia penulis sekitar 70 buku dimana 21 diantaranya meraih New York Times Bestsellers. Chopra juga merupakan pendiri Chopra Center bersama ahli syaraf David Simon yang menggunakan pendekatan ayurveda dimana metode ini meng-implementasikan pendekatan fisik dan psikis untuk mengobati selain juga bergerak di bidang pendidikan serta penelitian.
Namun Chopra juga dikenal sebagai sosok kontroversial khususnya kritik2nya dalam dunia medis dan sains. Metodenya kadang dianggap sebagai hal yang menjauhkan penderita dari pengobatan medis modern untuk penyakit2 tertentu yang normalnya bisa diselesaikan dengan cara biasa.
Namun demikian tetap menarik, mengikuti perjalanan Siddharta, Gautama dan lalu menjadi Buddha. Bagaimanapun pencerahan yang dialami biksu2 setelah-nya mampu membawa keyakinan ini melintas lokasi yang luas secara geografi, Tibet, Nepal, China, Jepang, Korea, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Malaysia dan bahkan Indonesia.
Setelah membaca tiga buku Ajahn Brahm, saya jadi tertarik membaca kisah Buddha, meski tadinya sempat lebih tertarik mengoleksi Osamu Tezuka, namun akhirnya pilihan saya jatuh pada karya Deepak Chopra ini.
Buku ini juga menyisakan tanda tanya dalam benak saya, mengenai hubungan Hindu dengan Buddha, dan kenapa saat ini di India agama Hindu masih menjadi mayoritas, meski India justru adalah negara tempat Buddha dilahirkan. Sebaliknya Buddha pada suatu masa diterima di daerah2 lain-nya di muka bumi, sementara Hindu hanya bisa menancapkan pengaruh sampai di Indonesia saja, dan lalu menyisakan Bali.
Meski samar terlihat juga pemberontakan Buddha pada tradisi kasta Hindu, dimana saat masih menjadi Siddharta, dia tertarik pada wanita desa biasa yakni Sujata dan sahabat dekatnya yang merupakan anak kepala istal kuda yakni Channa. Saat dimana kasta memegang peranan penting, jangankan menyentuh fisiknya, bahkan bayangan-nya sajapun merupakan hal yang harus dihindari kasta yang lebih rendah.
Siddharta akhirnya tercerahkan saat melihat suatu desa yang diisolasi ayah-nya terisi dengan kumpulan manusia malang yang mengisi periode diantara masa kelahiran dan kematian dengan penuh kesengsaraan. Sesuai dengan ramalan, saat Siddharta melihat kesengsaraan, maka istana tak lagi menjadi tempat yang menarik bagi-nya.
Hal unik lain-nya meski tidak menyinggung tokoh dewa dan interaksinya dengan Buddha, juga tidak dibahas secara jelas mengenai dzat ketuhanan dalam novel ini. Anehnya sosok yang mewakili dunia gelap yakni Mara justru muncul sebagai setan yang selalu menggoda dan kadang merasuk dalam diri manusia seperti Devadatta, pemerkosa sekaligus pembunuh Sujata.
Siapa Chopra ? Dia penulis sekitar 70 buku dimana 21 diantaranya meraih New York Times Bestsellers. Chopra juga merupakan pendiri Chopra Center bersama ahli syaraf David Simon yang menggunakan pendekatan ayurveda dimana metode ini meng-implementasikan pendekatan fisik dan psikis untuk mengobati selain juga bergerak di bidang pendidikan serta penelitian.
Namun Chopra juga dikenal sebagai sosok kontroversial khususnya kritik2nya dalam dunia medis dan sains. Metodenya kadang dianggap sebagai hal yang menjauhkan penderita dari pengobatan medis modern untuk penyakit2 tertentu yang normalnya bisa diselesaikan dengan cara biasa.
Wednesday, September 04, 2013
The Convert by Deborah Baker
Buku ini dibuat oleh Deborah Baker, mengenai sosok Margareth Marcus seorang wanita Yahudi warga negara Amerika yang memutuskan untuk mengubah kehidupan-nya dengan tinggal di Pakistan, memeluk agama yang berbeda, hidup dan akhirnya menikah dengan lelaki setempat.
Siapa Deborah ?, lahir di Charlottesville dan merupakan alumnus Virginia University. Deborah juga dikenal sebagai penulis beberapa buku dan karyanya sempat menjadi finalis PutlizerPrice. Deborah menikah dengan Amitav Ghosh, dan dengan dua anak-nya dia membagi bagi waktunya sebagai penulis dan bepergian diantara beberapa kota seperti Goa, Kalkutta, dan Brooklyn New-York. Karya nya mengenai Maryam Jameelah alias Margareth Marcus dipublikasikan di tahun 2012.
Deborah menulis, bahwa Margareth yang kemudian dikenal dengan nama baru-nya Maryam Jameelah (dan bukan Mulan Jameelah) adalah sosok yang sangat kritis, selalu bertanya tentang segala hal, penyuka diskusi dan menghabiskan banyak waktunya untuk menulis. Sikapnya kritis-nya (belakangan bahkan diiringi kondisi khusus saat tengah tidur seperti mengigau) ini membuat orang tua-nya sempat berkali kali mengirim-nya ke rumah sakit jiwa. Saat orang tua-nya memutuskan bepergian ke tempat jauh dan menjual semua yang mereka miliki membuat Margareth akhirnya menuntaskan impian-nya menuju Pakistan untuk tinggal dibawah perlindungan tokoh pemikir Pakistan Maulana Mawdudi.
Mawdudi yang pada awalnya terkesan dengan Margareth, cukup kaget karena sosok-nya sebagai penulis saat mereka sering berkorespondensi sangat berbeda dengan sosok sebagai Margareth yang dikenal secara langsung. Margareth sangat agresif dalam berdiskusi dan nyaris tak pernah lelah membuat Mawdudi yang memang sudah sepuh cukup kewalahan. Tak jelas benar mengenai kondisi psikologis Margareth, meski sempat dijelaskan saat kanak2 dia mengalami pelecehan seksual dari sekelompok anak. Kondisi ini dan hal2 lain seperti saat dia dilempari batu oleh sekumpulan anak lain sambil dimaki sebagai "pembunuh Yesus" karena keturunan Yahudi, sepertinya membentuk karakternya yang akhirnya mengkritisi segala hal di sekeliling-nya khususnya kebudayaan barat.
Saat di Pakistan, energi Margareth yang berlebih membuat dia menghasilkan sangat banyak buku (lebih dari 30) mengenai pemikiran Margareth. Buku karya-nya a.l. Islam and Western Society, Islam and Orientalis, Islam in Theory and Practice, dan Islam and the Muslim Woman Today. Buku ini juga dipublikasikan oleh suami-nya sehingga tetap dapat dinikmati oleh orang banyak.
Kenapa Margareth tidak tertarik pada Yahudi ? Pada awalnya setelah mengalami banyak pengalaman tidak mengenakkan, Margareth sempat sinis terhdap semua agama, dan menjadi atheis. Bagi Margareth agama Yahudi sangat kesukuan, sedangkan kebenaran harusnya menjadi hak semua orang dan tentu saja universal.
Margareth menulis kekecewaan-nya mengenai janji palsu peradaban barat, dari Yunani hingga Sigmund Freud. Margareth mengkritik Yunani yang mengatakan bahwa kehormatan manusia bukan pada agama melainkan perbuatan-nya, dan tidak adanya hubungan antara theologi dan moral. Renaissance di mata Margareth hanya beranggapan kreatifitas manusia yang mencipatakan surga dunia. Francis Bacon menganggap sains lah kunci kebahagiaan dan lebih penting dari dogma agama, sehingga penghapusan agama akan menghilangkan fanatisme, kesewenangan dan tirani. Lalu Marx yang menganggap surga kelas pekerja lah satu2nya jawaban pada ketidak adilan sosial. Dan yang paling parah di mata Margareth bagaimana Freud mengkambinghitamkan seksual sebagai asal muasal konflik, sehingga manusia harus dibebaskan dari larangan2. Puncak semua kekecewaan itu berakhir saat Margareth mempelajari Islam dan memutuskan untuk memeluknya di 1961. Buku karya Leopold Weiss alias Muhammad Asad seorang Yahudi yang akhirnya memeluk Islam berjudul The Road To Mecca termasuk yang menginspirasinya untuk mengikuti jejak yang sama.
Margareth juga mengkritisi pendudukan Palestina, yang bagi-nya tidak ada lagi beda-nya Israel dan Nazi Jerman. Margareth sangat kecewa dengan pembantaian di Deir Yassin yang dilakukan Israel pada penduduk Palestina, belum lagi pengusiran paksa yang dilakukan. Margareth menganalogikan-nya dengan perampok yang merampas rumah kita dan memaksa kita mengakui bahwa mereka secara sah berhak atas tanah dan rumah yang kita miliki. Namun karena dunia mengakui Israel, maka Arab terpaksa menerima-nya sebagai suatu ketentuan. Menurut Margareth jika hal ini diterima, maka Amerika harus mengembalikan Amerika pada Indian. Hal2 itulah yang akhirnya membuat Margareth tidak lagi menganggap dirinya sebagai bagian dari Yahudi.
Namun dia sempat lagi2 masuk rumah sakit jiwa karena perangai-nya yang sulit dan keras. Setelah dia menikah dengan Muhammad Yusuf Khan dan memiliki lima anak, situasinya berubah, dan sepertinya kehidupan rumah tangga, menarik Margareth ke dunia yang lebih realistis. Pada tanggal 31/10/2012 Margareth yang dilahirkan 23/5/1934 di New York akhir-nya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan pemikiran yang penting bagi umat.
Terus terang ini bukan buku yang mudah dibaca, kadang tercampur antara pendapat Deborah Baker dan catatan / surat2 Margareth, sehingga informasinya menjadi bias. Namun buku ini membuktikan bahwa setiap manusia berhak berpendapat dan memiliki sikap.
Siapa Deborah ?, lahir di Charlottesville dan merupakan alumnus Virginia University. Deborah juga dikenal sebagai penulis beberapa buku dan karyanya sempat menjadi finalis PutlizerPrice. Deborah menikah dengan Amitav Ghosh, dan dengan dua anak-nya dia membagi bagi waktunya sebagai penulis dan bepergian diantara beberapa kota seperti Goa, Kalkutta, dan Brooklyn New-York. Karya nya mengenai Maryam Jameelah alias Margareth Marcus dipublikasikan di tahun 2012.
Deborah menulis, bahwa Margareth yang kemudian dikenal dengan nama baru-nya Maryam Jameelah (dan bukan Mulan Jameelah) adalah sosok yang sangat kritis, selalu bertanya tentang segala hal, penyuka diskusi dan menghabiskan banyak waktunya untuk menulis. Sikapnya kritis-nya (belakangan bahkan diiringi kondisi khusus saat tengah tidur seperti mengigau) ini membuat orang tua-nya sempat berkali kali mengirim-nya ke rumah sakit jiwa. Saat orang tua-nya memutuskan bepergian ke tempat jauh dan menjual semua yang mereka miliki membuat Margareth akhirnya menuntaskan impian-nya menuju Pakistan untuk tinggal dibawah perlindungan tokoh pemikir Pakistan Maulana Mawdudi.
Mawdudi yang pada awalnya terkesan dengan Margareth, cukup kaget karena sosok-nya sebagai penulis saat mereka sering berkorespondensi sangat berbeda dengan sosok sebagai Margareth yang dikenal secara langsung. Margareth sangat agresif dalam berdiskusi dan nyaris tak pernah lelah membuat Mawdudi yang memang sudah sepuh cukup kewalahan. Tak jelas benar mengenai kondisi psikologis Margareth, meski sempat dijelaskan saat kanak2 dia mengalami pelecehan seksual dari sekelompok anak. Kondisi ini dan hal2 lain seperti saat dia dilempari batu oleh sekumpulan anak lain sambil dimaki sebagai "pembunuh Yesus" karena keturunan Yahudi, sepertinya membentuk karakternya yang akhirnya mengkritisi segala hal di sekeliling-nya khususnya kebudayaan barat.
Saat di Pakistan, energi Margareth yang berlebih membuat dia menghasilkan sangat banyak buku (lebih dari 30) mengenai pemikiran Margareth. Buku karya-nya a.l. Islam and Western Society, Islam and Orientalis, Islam in Theory and Practice, dan Islam and the Muslim Woman Today. Buku ini juga dipublikasikan oleh suami-nya sehingga tetap dapat dinikmati oleh orang banyak.
Kenapa Margareth tidak tertarik pada Yahudi ? Pada awalnya setelah mengalami banyak pengalaman tidak mengenakkan, Margareth sempat sinis terhdap semua agama, dan menjadi atheis. Bagi Margareth agama Yahudi sangat kesukuan, sedangkan kebenaran harusnya menjadi hak semua orang dan tentu saja universal.
Margareth menulis kekecewaan-nya mengenai janji palsu peradaban barat, dari Yunani hingga Sigmund Freud. Margareth mengkritik Yunani yang mengatakan bahwa kehormatan manusia bukan pada agama melainkan perbuatan-nya, dan tidak adanya hubungan antara theologi dan moral. Renaissance di mata Margareth hanya beranggapan kreatifitas manusia yang mencipatakan surga dunia. Francis Bacon menganggap sains lah kunci kebahagiaan dan lebih penting dari dogma agama, sehingga penghapusan agama akan menghilangkan fanatisme, kesewenangan dan tirani. Lalu Marx yang menganggap surga kelas pekerja lah satu2nya jawaban pada ketidak adilan sosial. Dan yang paling parah di mata Margareth bagaimana Freud mengkambinghitamkan seksual sebagai asal muasal konflik, sehingga manusia harus dibebaskan dari larangan2. Puncak semua kekecewaan itu berakhir saat Margareth mempelajari Islam dan memutuskan untuk memeluknya di 1961. Buku karya Leopold Weiss alias Muhammad Asad seorang Yahudi yang akhirnya memeluk Islam berjudul The Road To Mecca termasuk yang menginspirasinya untuk mengikuti jejak yang sama.
Margareth juga mengkritisi pendudukan Palestina, yang bagi-nya tidak ada lagi beda-nya Israel dan Nazi Jerman. Margareth sangat kecewa dengan pembantaian di Deir Yassin yang dilakukan Israel pada penduduk Palestina, belum lagi pengusiran paksa yang dilakukan. Margareth menganalogikan-nya dengan perampok yang merampas rumah kita dan memaksa kita mengakui bahwa mereka secara sah berhak atas tanah dan rumah yang kita miliki. Namun karena dunia mengakui Israel, maka Arab terpaksa menerima-nya sebagai suatu ketentuan. Menurut Margareth jika hal ini diterima, maka Amerika harus mengembalikan Amerika pada Indian. Hal2 itulah yang akhirnya membuat Margareth tidak lagi menganggap dirinya sebagai bagian dari Yahudi.
Namun dia sempat lagi2 masuk rumah sakit jiwa karena perangai-nya yang sulit dan keras. Setelah dia menikah dengan Muhammad Yusuf Khan dan memiliki lima anak, situasinya berubah, dan sepertinya kehidupan rumah tangga, menarik Margareth ke dunia yang lebih realistis. Pada tanggal 31/10/2012 Margareth yang dilahirkan 23/5/1934 di New York akhir-nya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan pemikiran yang penting bagi umat.
Terus terang ini bukan buku yang mudah dibaca, kadang tercampur antara pendapat Deborah Baker dan catatan / surat2 Margareth, sehingga informasinya menjadi bias. Namun buku ini membuktikan bahwa setiap manusia berhak berpendapat dan memiliki sikap.
Tuesday, September 03, 2013
Enam Teka-Teki Imam Al Ghazali
Dalam buku Dahlan Iskan karya Khrisna Pabichara, saya sempat membaca enam teka-teki Imam Al Ghazali (selanjutnya saya singkat IAG), sayang-nya yang ditulis dalam buku itu cuma tiga teka-teki. Lalu saya mencoba mencari tiga lain-nya dan akhirnya dapat-lah keenam teka-teki sekaligus nasihat tersebut secara lengkap, lalu saya coba mencari referensi dari Al Quran mengenai teka-teki yang dimaksud sbb;
1.Apakah yang paling ringan di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling ringan di dunia adalah meninggalkan sholat. Untuk jelasnya ingat QS Al Munafiqun 9 :
"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi".
Kata2 mengingat Allah dalam surat ini tentu saja bermakna shalat. Kita sering sekali lupa dan menunda nunda shalat, bahkan kita kerap abai dengan dua sholat pembuka dan penutup segala kegiatan, yakni shalat subuh sebagai pembuka dan shalat isa sebagai penutup.
2. Apakah yang paling berat di dunia ? itulah pertanyaan kedua imam Al Ghazali. Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling berat di dunia adalah amanah. Untuk jelasnya ingat surat Al Ahzab 72 :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
3. Apakah yang paling jauh dari diri kita di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling jauh di dunia adalah masa lalu. Dengan apa cara apapun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan syariat.
Seperti kata2 hadis HR Bukhari 6416 yang diriwayatkan oleh Umar RA sbb:
“Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu” .
4. Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini …? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling dekat di dunia ini adalah kematian. Untuk jelasnya ingat QS Ali Imran 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan".
5. Apakah yang paling besar di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling besar di dunia ini adalah nafsu ,maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Untuk jelasnya ingat QS Muhammad 16 :
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. ".
6. Apakah yang paling tajam di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling tajam di dunia ini adalah lidah. Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam atau kalaupun harus berbicara maka dengan kata2 yang baik dan menguasai ilmu tentang apa yang dibicarakan. Untuk jelasnya ingat QS Al Ahzab 70 :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.
1.Apakah yang paling ringan di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling ringan di dunia adalah meninggalkan sholat. Untuk jelasnya ingat QS Al Munafiqun 9 :
"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi".
Kata2 mengingat Allah dalam surat ini tentu saja bermakna shalat. Kita sering sekali lupa dan menunda nunda shalat, bahkan kita kerap abai dengan dua sholat pembuka dan penutup segala kegiatan, yakni shalat subuh sebagai pembuka dan shalat isa sebagai penutup.
2. Apakah yang paling berat di dunia ? itulah pertanyaan kedua imam Al Ghazali. Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling berat di dunia adalah amanah. Untuk jelasnya ingat surat Al Ahzab 72 :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
3. Apakah yang paling jauh dari diri kita di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling jauh di dunia adalah masa lalu. Dengan apa cara apapun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan syariat.
Seperti kata2 hadis HR Bukhari 6416 yang diriwayatkan oleh Umar RA sbb:
“Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu” .
4. Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini …? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling dekat di dunia ini adalah kematian. Untuk jelasnya ingat QS Ali Imran 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan".
5. Apakah yang paling besar di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling besar di dunia ini adalah nafsu ,maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Untuk jelasnya ingat QS Muhammad 16 :
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. ".
6. Apakah yang paling tajam di dunia ini ? Segala macam jawaban diberikan oleh murid2nya, namun kata Imam IAG semua itu benar tapi menurut-ku yang paling tajam di dunia ini adalah lidah. Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam atau kalaupun harus berbicara maka dengan kata2 yang baik dan menguasai ilmu tentang apa yang dibicarakan. Untuk jelasnya ingat QS Al Ahzab 70 :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.
Subscribe to:
Posts (Atom)