Kejutan buat saya saat Megadeth sang raksasa thrash metal masih merilis album baru di 2016.
Harapan besar langsung terbit melihat masuknya Kiko Loureiro (sang
gitaris progressive metal asal Brazil alias Angra) dan Chris Adler (drummer
Lamb of God). Keduanya jelas sama sekali bukan tokoh sembarangan di ranah progressive
dan metal. Bagi saya boleh dibilang kelas Kiko nyaris mendekati level Petrucci,
sebagaimana karyanya dalam Sounds of Innocence, Fullblast, Universo Inverso,
dan No Gravity serta keterlibatan dia di Angra seharusnya menjadi jaminan bagi
album baru ini. Kehilangan Shawn Drover dan guitarist Chris Broderick justru
menjadi berkah tidak disangka-sangka bagi Megadeth. Mustaine sendiri pernah
mengatakan Broderick dan Drover merasa tidak nyaman, karena fans lebih
menginginkan Friedman dan Menza.
Saat persiapan
awal album ini sebenarnya ada kesan Mustaine ingin mengulangi kesuksesan era
Friedman, selain mengincar produser album di era tsb yakni Max Norman, juga
adanya indikasi Mustaine mengontak Menza dan Friedman yang kini berdomisili di
Jepang. Sayang tidak terjadi
kesepakatan, dan belakangan Menza malah meninggal karena serangan jantung.
Akhirnya dengan Kiko dan Adler, serta formasi lama Ellefson, album Dystopia
ini rilis juga.
Apa arti dystopia
? ini adalah lawan kata utopia yakni suatu tempat atau negara yang nyaris
sempurna yakni kata yang pertama kali diangkat dalam buku berjudul Utopia karya
Sir Thomas More, sebaliknya dystopia saat suatu tempat atau negara berada dalam
keadaan buruk. Lirik yang sinis seperti ini memang salah satu ciri khas
Mustaine, yang vokalnya juga terdengar kadang seperti orang mengomel. Album ini terdiri dari 11 track dengan durasi 46:51
1.The Threat Is Real (4:22) ***
2.Dystopia (5:00) *****
3.Fatal Illusion"
(4:16) ***
4.Death from Within (4:48) ****
5.Bullet to the Brain
(4:29) ****
6.Post American World (4:25) *****
7.Poisonous Shadows (6:02) ****
8.Conquer or Die! – Instrumental - (3:33)
*****
9.Lying in State (3:34) ***
10.The Emperor (3:54) *****
11.Foreign Policy - Fear cover (2:28)
Setelah
eksplorasi sebanyak 6 putaran, akhirnya saya harus menyimpulkan album ini tetap
menunjukkan kuatnya dominasi Mustaine, dan hanya sedikit menyisakan ruang bagi
Adler (yang masih bermain di ruang aman layaknya almarhum Nick Menza meski
dengan skill yang lebih tinggi). Begitu juga Kiko, harapan saya agar
album-album sekelas Rust In Peace ataupun Countdown To Extinction bisa muncul
kembali bisa dibilang sirna seketika. Untunglah track-track seperti Dystopia
masih mampu menghibur, dan permainan Adler yang super cepat sekaligus rapi
membuat setiap track mendapatkan frame yang terasa begitu pas.
Sampai dengan
2016, album ini merupakan album studio ke 15 dari Megadeth, jelas lebih
produktif dibanding Metallica 9 album ataupun Slayer 12 album. Kini terlihat
jelas, dari kelompok yang biasa dinamakan Trinity of Thrash Metal ini, Megadeth
lah yang paling produktif, sekaligus paling sering bongkar pasang pemain. Sedangkan
dari sisi syair, Mustaine terinsipirasi dari sejarah dipadukan dengan trend
teknologi saat ini.
Bagi saya
beberapa track yang berkesan, solo Kiko dalam Dystopia atau permainan super
cepat Adler dalam Fatal Ilussion. Secara keseluruhan track yang saya jagokan
adalah Dystopia, Post American World, Conquer od Die ! dan The Emperor. Jangan
lupa, Kiko pun pamer kemampuannya memainkan piano dalam Poisonous Shadow. Meski
metacritic hanya memberikan nilai 69/100, namun Allmusic memberikan nilai 4/5
sedangkan Metal Hammer memberikan nilai 9/10. Secara artwork, layaknya Eddie
dari Iron Maiden, Megadeth tetap setia dengan sosok tengkorak sejak album
pertama alias Vic Rattlehead yang akrab dengan quote “See no Evil, Hear no Evil,
Speak no Evil”.
Bagi genereasi penggemar metal 2010 an, nama Megadeth yang pamornya menjulang mendekati 1990 an, mungkin tidak terlalu tenar, sebaliknya dengan Lamb of God. Namun masuknya Adler, akan membuat mereka tahu bahwa Megadeth memang memiliki kelas tersendiri. Akhir kata, bagi saya album ini masih menjadi salah satu album terbaik Megadeth, memang sedikit dibawah keindahan Rust in Peace, namun secara teknis, presisi dan sound justru terasa lebih baik.
Bagi genereasi penggemar metal 2010 an, nama Megadeth yang pamornya menjulang mendekati 1990 an, mungkin tidak terlalu tenar, sebaliknya dengan Lamb of God. Namun masuknya Adler, akan membuat mereka tahu bahwa Megadeth memang memiliki kelas tersendiri. Akhir kata, bagi saya album ini masih menjadi salah satu album terbaik Megadeth, memang sedikit dibawah keindahan Rust in Peace, namun secara teknis, presisi dan sound justru terasa lebih baik.