Monday, June 13, 2016

Jalan Tak Ada Ujung - Mochtar Lubis

Apakah yang kita harus punyai, agar kita bebas dari ketakutan ? 
Jules Romains 

Salah satu karya Mochtar Lubis yang berkesan bagi saya, adalah Manusia Indonesia, karya yang bisa dibilang relatif nyinyir terhadap kebanyakan karakter manusia di Indonesia. Memang tidak nyaman membacanya, namun sedikit banyak tulisan ini mengandung kebenaran. Di bagian akhir edisi revisi kita juga menemukan bagaimana Mochtar Lubis adu argumen dengan Sarlito Wirawan Sarwono, salah satu pakar psikolog nasional. 

Mochtar Lubis, lahir 7 Maret 1922, salah satu tokoh kritis yang bukan cuma dikenal sebagai sastrawan, melainkan juga jurnalis senior. Salah satu karya beliau yang fenomenal adalah Harian Indonesia Raya selain Majalah Sastra Horison. Saya ingat bagaimana Ayah almarhum mengkliping harian ini berjilid-jilid dan disususun rapi dalam perpustakaan keluarga kami di rumah. Sayang saat pindah rumah dari Sibolga ke Denpasar, banyak dari koleksi Ayah akhirnya hilang tak berbekas. 




Sebagaimana tulisan di Manusia Indonesia ini, begitu juga karya sastra "Jalan Tidak Ada Ujung" selanjutnya kita singkat dengan JTUA. Jangan harap anda menemukan tokoh pahlawan disini, sosok Guru Isa terkesan peragu, sekaligus penakut,  tokoh Hazil, sang pahlawan revolusi namun berselingkuh dengan tokoh Fatimah, istri Guru Isa. Lalu sekumpulan anak muda pembunuh sadis yang bersembunyi dibalik julukan "Pemuda Pejuang Kemerdekaan". Suasana keseluruhan novel ini memang muram dan bagaimana dunia dilihat dari kacamata sosok berkarakter penakut sekaligus pencemas. 

Kisah JTUA sendiri bermula di tahun 1946, ketika usai proklamasi, Belanda dengan menumpang Sekutu kembali berusaha menduduki Indonesia. Serdadu bayaran India termasuk Gurkha sedikit disinggung oleh Mochtar Lubis, yang mengingatkan kita bahwa dimasa itu, selain Jepang cukup banyak pihak yang terlibat dalam era Perang Dunia II. 

Sayang penggambaran mengenai situasi saat itu tidak banyak dibahas, karena Mochtar Lubis sepertinya lebih tertarik membahas situasi psikologis Guru Isa, menghadapi ketidakpastian situasi, pendapatan yang tidak menentu dari sekolah tempatnya mengajar, ketidakmampuannya menjalankan fungsi suami secara normal, keterlibatannya dalam memasok senjata gelap bagi pejuang revolusi, penghianatan istri dan sahabatnya, dan malam-malam nan penuh dengan bising suara tembakan. 

Bagi saya tokoh Guru Isa ini memang menggemaskan, seakan tidak berdaya menghadapi situasi yang dia hadapi, dan dipermainkan nasib dari halaman ke halaman. Walau demikian, cerita ini berakhir dengan "kemenangan" Guru Isa menemukan bahwa Hazil, si peselingkuh ternyata sosok pengecut yang akhirnya membuka topeng dirinya saat menyerah dan membuka rahasia yang menyebabkan mereka berdua ditangkap dan disiksa Belanda. Demikianlah, novel sastra yang ditulis tahun 1952 dan mendapatkan hadiah sastra dari BMKN, akhirnya selesai. 

Saya tutup review ini dengan satu paragraph menarik dari buku ini, sbb;

“Saya sudah tahu –semenjak semula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan,maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan”


No comments: