Tuesday, July 26, 2016

Riwayat Baginda Karapatan Part #1 dari 8 : Masa kecil dan Membuka Sialaman


Tulisan ini dipicu oleh pembuatan group whatsapp keturunan Baginda Karapatan. Setelah menyusun kepingan puzzle riwayat sedikit demi sedikit dari semua keturunan beliau termasuk foto-foto masa lalu beliau, akhirnya tersusunlah gambaran yang lebih jelas mengenai beliau. Pada beberapa bagian mungkin ada hal yang menyinggung perasaan peran-peran tertentu, namun perlu dijelaskan penulis sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama, namun hanya mencoba menulis ulang sejarah agar menjadi tambahan pengetahuan bagi anak cucu. Semoga semua dosa leluhur kita diampuni, diterima amal baiknya dan ditempatkan pada tempat terbaik di sisiNya.

Saat kami masih tinggal di Sibolga, almarhum Ayah membuat papan nama logam yang saat itu memang menjadi trend. Tulisannya adalah Saiful P. Pohan’s. Ketika aku bertanya apa maksud huruf “s” setelah marga Pohan tersebut, Ayah mengatakan artinya adalah Simandjuntak. Artinya marga Ayah adalah Pohan Simandjuntak. Hikayat dimasa lalu yang diceritakan secara turun temurun ada seorang Raja, yakni Raja Simandjuntak yang memiliki dua istri, dari istri pertama beliau memiliki banyak anak, sedangkan istri kedua hanya empat. Keempat anak ini bernama Mardaup (lelaki), Bonabulu (lelaki, namun kadang disebut Hutabulu) dan Sitombuk, sedangkan anak terakhir seorang wanita, yang sampai tulisan ini dibuat belum ada informasi mengenai namanya.

Suatu hari terjadi perselisihan, dan terjadilah penculikan keturunan istri pertama Boru Hasibuan (Kelompok Parsuratan) terhadap Si Bungsu dari istri kedua Boru Sihotang. Malang tak dapat ditolak, Si Bungsu akhirnya tewas terbunuh, dan terciptalah permusuhan yang akhirnya diselesaikan secara adat. Ketika Raja Simandjuntak wafat beliau berwasiat agar antara kedua garis keturunan ini terlarang untuk berhubungan, lalu semua harta beliau dibagi.

Namun setelah pembagian, ada seekor kerbau betina yang masing-masing pihak berdebat cara membaginya, karena kebetulan Sang Kerbau sedang bunting dan mereka memilih untuk menunggu Sang Kerbau melahirkan.  Dengan setengah menghina keluarga istri pertama mengatakan bahwa bagian buntut kerbaulah  (Horbo Pudi) yang menjadi hak keluarga istri kedua (karena menganggap bagian buntut adalah tempat keluarnya kotoran), sedangkan bagian kepala (Horbo Jolo) menjadi hak keluarga istri kedua. Sebelum menyembelih Sang Kerbau, lahirlah anak kerbau yang ternyata keluar dari bagian belakang kerbau, sehingga otomatis diklaim oleh  keluarga istri kedua, dan semakin menambah panas perselisihan diantara keduanya.


Baginda Karapatan Pohan


Kapan semua ini bermula ?, jika setiap generasi memiliki kisaran usia 30 tahun, maka selang antara generasi saat ini atau generasi ke lima belas dengan generasi pertama adalah 450 tahun. Dengan demikian sejarah Simandjuntak berawal di tahun 1500-an. Namun hal ini bisa juga dicross-check dengan sejarah suku-suku bangsa di Indonesia atau misalnya penyebaran Islam di tanah Batak.  

Baginda Karapatan sendiri konon anak bungsu dua bersaudara keturunan ke 13 dari Raja Simandjuntak yang merupakan anak dari Jakumaren (keturunan ke 12) Nama lain Baginda Karapatan adalah  Panyahang, sedangkan abang beliau dikenal sebagai Baginda Parhimpunan (Lela). Adapun Jakumaren merupakan anak sulung dari 5 bersaudara, dengan adik-adik beliau antara lain, Jatimur,  Jalinda, Jarittop dan Sutan Kalijunjung.

Silsilah lengkapnya sbb;

1.Simandjuntak
2.Mardaup
3.Tuan Sibadogil/Onan Runggu
4.Namora Tinukkun
5.Mulia Tandang
6.Ompung Bulus
7.Datu Manggaga
8.Batara Uluan
9.Ompung Songit
10.Sotarupon
11.Ompung Poring
12.Jakumaren
13.Baginda Karapatan

Kapan sebenarnya beliau lahir, tidak ada yang persis tahu, namun jika Ayah adalah anak kelima dan lahir pada 1932, maka ada kemungkinan beliau lahir di tahun 1900 an. Zaman itu kelahiran biasanya dikaitkan dengan peristiwa besar yang mendahului kelahiran misalnya letusan gunung berapi, musibah seperti banjir bandang, atau peristiwa bersejarah sepertinya datangnya Jepang atau kembalinya Belanda. Menurut Ayah, semua tanggal kelahiran Ayah bersaudara, dituliskan di salah satu dinding rumah, yang kemudian ditinggal beliau di Sialaman.

Kenapa ada begitu banyak Raja dalam silsilah keluarga Batak, berbeda dengan Raja-Raja di Jawa yang terkesan hanya dimonopoli keturunan ningrat, dalam masyarakat Batak, merintis dan membuka hutan dan lalu membuat perkampungan, sudah bisa digelari sebagai Raja. Dimasa itu, jarak rumah yang satu ke yang lain cukup jauh karena halaman yang luas. Itu sebabnya antara rumah komunikasi sering dilakukan dengan cara berteriak, sekaligus menjawab kenapa suara orang Batak terkenal keras.


Rumah Peninggalan Beliau Saat Difoto Tahun 2012, 
terlihat sisi kiri bangunan sudah hilang. 
Konon kabarnya ini rumah pertama di Sialaman 
yang menggunakan adukan batu dan semen, 


Jadi demikianlah, sejak beliau membuka Sialaman, dengan demikan beliau juga mendapatkan gelar Raja. Di lokasi yang bisa ditempuh dengan jarak 47 km dari  Padang Sidempuan (dengan melewati Sipirok) ini lah kehidupan beliau dimulai. Meski buta huruf, namun jiwa beliau lebih pas sebagai pedagang, dan dengan armada pedati beliau mengangkut berbagai hasil bumi ke Padang Sidempuan serta Sipirok dan sebaliknya membawa berbagai kebutuhan penduduk Sialaman.  Selain berdagang, beliau juga membuat kolam ikan yang sangat luas untuk beternak ikan air tawar. Beliau juga membuat sekolah bagi anak-anak di Sialaman. Saat ini meski jalannya relatif kecil, namun bisa dilewati mobil dengan perjalanan kira-kira satu jam.

Sialaman terletak di dataran tinggi dan berhawa sejuk/dingin, karena terletak di lembah gunung Sibualbuali yang masih aktif. Bahasa Batak yang digunakan adalah bahasa Batak Angkola sebagaimana sebutan bagi masyarakat disini sebagai komunitas Batak Angkola, namun Masyarakat Sialaman masih mengerti bahasa Toba dan Mandailing.

Sumber daya alam di Sialaman, Sipirok dan sekitarnya bisa di katakan baik. Air pegunungan yang bersih dan sejuk mengalir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan tidak pernah habis. Gunung Sibualbuali yang masih aktif juga mengalirkan air panas alami yang dikenal dengan "aek milas" di Padang Bujur dan "aek milas" di Sosopan, sebagai objek wisata.

Saat ini Sialaman merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Indonesia. Desa ini dibentuk pada tahun 2008 dari penggabungan Desa Gunung Tinggi Sialaman, Labuhan Rasoki, Sialaman Julu, dan Sihulambu. Sialaman merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Kecamatan Sipirok dengan Kodepos 22742, yang luasnya kurang lebih 28,3 km2 dan dengan jumlah penduduk 385 jiwa pada 2012, dengan kepadatan 14 jiwa/km2.

Makanan khas yang terkenal dari daerah ini adalah Lomang (makanan yang dimasak dalam bambu panjang dari beras ketan dan santan) serta dimakan dengan gula atau dengan bumbu rendang. Makanan ini biasa di masak menjelang hari Raya Idul Fitri atau Lebaran atau biasa juga di jual di pasar besar. Makanan lainnya yaitu Panggelong dan Golang Golang yang terbuat dari tepung beras.

Makanan khas lainnya yang terkenal adalah Ikan Arsik (Ikan Mas yang di masak dengan cara arsik) yakni dengan menggunakan rempah rahasia Sinyarnyar. Ikan Arsik ini juga sering disuguhkan dalam acara adat. Karena daerah Sialaman berhawa dingin, maka makanan yang diminati kebanyakan masyarakatnya kebanyakan cukup pedas, seperti Sambal Gaor, keripik singkong yang di goreng kemudian di"gaor" (diaduk) dengan sambal cabe yang di masak terpisah (kadang ditambahkan Udang Rebon alias udang-udang kecil agar gurih).  Ada juga jenis keripik sambal lain yang di kenal dengan Sambal Taruma.

Makanan lain yang tak kalah menarik adalah Dodol atau Alame, terbuat dari tepung terigu dicampur gula plus santan. Dimasak sampai 8 sd 9 jam menggunakan wajan berukuran raksasa dengan tungku kayu bakar. Biasanya makanan ini dimasak saat Hari Raya Idul Fitri. Saking beratnya proses memasak dodol ini, maka diperlukan lebih dari satu keluarga yang membentuk panitia kecil terdiri dari dua sampai dengan tiga  keluarga untuk masak bersama.

Ada keluarga memasok kelapa sekaligus memarutnya jadi santan, keluarga lainnya menyumbang gula dan sisanya menyumbang tepung. Adonannya memang harus terus menerus diaduk dengan sendok berukuran panjang ekstra supaya kaki pengaduk tidak terkena panasnya api. Proses pengadukan dari sejak adonan encer sampai tanak dan kental menjadi dodol. Khusus yang ditugaskan mengaduk biasanya adalah muda mudi. 

Hampir setiap rumah daerah ini menjadikan peristiwa memasak dodol ini layaknya ritual pokok Hari Raya Idul Fitri. Sampai-sampai mereka kalau bertanya kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, menggunakan kalimat ganti "Andigan do hita mangalame ?" yang artinya kapan kita masak alame. Setelah masak, adonan dituangkan ke dalam bungkusan tikar pandan seukuran kamus Inggris - Indonesia karya Hassan Shadily. Lambat laun Alame makin mengeras dan semakin lezat lalu dihidangkan sebagai salah satu penganan Hari Raya Idul Fitri. Alame ini relatif tahan lama, kadang saat disimpan, memang muncul semacam jamur putih dibagian permukaan, namun dengan mengiris bagian yang berjamur, Alame tetap dapat dimakan. 

Ciri khas kerajinan asal daerah ini adalah Tenun Ulos dan Tenun Silungkang serta berbagai kerajinan yang terbuat dari manik-manik.

*Beberapa informasi dikutip dari Wikipedia
*Silsilah dan perkiraan awal generasi sesuai informasi dan analisa dari Anwar Syafri Pohan 
*Proses memasak Dodol Alame dari Rudi Ramon Pohan dengan sedikit catatan dari Soheh Pohan. 

No comments: